Apa sebenarnya akar kekerasan kalangan terpelajar?

240 0

Melihat tayangan kekerasan yang dilakukan para pelajar di sebuah stasiun televisi membuat hati  tergelitik. Pasalnya, pelajar yang seharusnya belajar, kok perilakuya begitu jauh dari esensi dari seorang pelajar itu sendiri. Apalagi kekerasan itu dilakukan oleh siswa-siswa sebuah sekolah Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) atau oleh mahasiwa dari perguruan tinggi ternama. Hal ini jelas memalukan kalangan pendidik dan para orang tua murid. Pemerintahpun tidak tinggal diam untuk menelisik apa sesungguhnya yang terjadi dalam lembaga-lembaga pendidikan kita. Mengapa justru kekerasan begitu subur di kalangan siswa atau pelajar dan mahasiswa?

Baca juga : Pemerintah Harus Melindungi Minoritas Keagamaan di Yogya!

Fakta kekerasan seolah-olah menjadi cerita lazim di kalangan terpelajar. Dan kita tidak bisa menipu diri bahwa lingkar kekerasan itu telah terjadi sekian lama. Baik itu pada level sekolah menengah  maupun perguruan tinggi. Tentu saja hal ini menjadi paradoks. Di tengah usaha gencar berbagai kalangan pendidik dan pemerintah dan juga masyarakat untuk memajukan kualitas pendidikan, justru kejadian-kejadian seperti ini menjadikan pendidikan kita mundur.

Kita boleh bangga dengan tingkat kelulusan yang mungkin agak memuaskan atau karena ada beberapa siswa/mahasiswa yang menjuarai olimpiade sains pada level internasional. Tetapi yang menjadi pertanyaan, apakah hal-hal itu menjadi indikator kemajuan pendidikan di Indonesia? Sebetulnya prestasi akademik atau kesuksesan dalam evaluasi akhir/ujian tidaklah menjadi suatu syarat utama keberhasilan sebuah lembaga pendidikan, melainkan bagaimana siswa menerapkan nilai-nilai kemanusiaan seperti tanggung jawab, respek pada perbedaan, kedisiplinan, kerja sama, dsb. Itu makanya, banyak kalangan menyuarakan untuk dikedepankannya pendidikan karakter.

Apa sebenarnya yang menjadi akar  kekerasan yang dilakukan kalangan terpelajar?

Kekerasan pelajar

Ribuan orang mengantar jenazah Budi Cahyono, menuju TPU di Jalan Jaksa Agung Suprapto Kota Sampang, Madura, Jumat (2/2/2018). (Polanusa/M Sodik)

Memang sulit mengurai benang merah persoalan ini hanya dalam satu matra saja. Perlu aneka pendekatan. Dan dalam pendekatan fenomenologi sosial, lingkar kekerasan ini menunjukan begitu buasnya perilaku masyarakat saat ini khususnya kalangan terpelajar. Perilaku buas itu dimunculkan lewat tingkah laku agresif. Akar kebuasan itu adalah sebuah kondisi alam bawah sadar, suatu naluriah menbunuh fundamental manusia untuk mnghancurkan mereka yang mengganggu stabilitas ego dan kelompoknya. Akumulasi kebuasan ego dan ditambah dengan kondisi sosio-psikologis masyarakat yang menyiapkan bedengan untuk prilaku itu menjadikan suatu mata rantai agresivitas bertumbuh subur.

Kekerasan menjadi suatu kerinduan naluriah kelompok. Kerinduan itu semacam menemukan maknanya ketika berhadapan dengan yang lain/liyan. Entahkah yang lain/liyan itu muncul sebagai yang lemah ataukah yang muncul sebagai yang kuat, yang mengguncang level dominasi ego dan kelompok. Sebelum ditundukan, maka harus menundukan. Menundukan untuk mendapat skala dominasi dan mengukuhkan identitas ego dan kelompok. Kalau kerinduan ini tertanam kuat dalam kalangan siswa maupun mahasiswa, sudah menjadi pasti bahwa, pendidikan nilai yang diusahakan dalam proses pendidikan menjadi seolah-olah dipaksakan. Sebetulnya yang perlu dilakukan adalah memotong mata rantai agresivitas dengan semacam “pencucian otak” ala “teroris” untuk membalik skema kekerasan menjadi skema kedamaian dan kemajuan bersama.

Bagaimanakah kalau mata rantai kekerasan menjadi sebuah permainan yang dimainkan oleh manusia pemain, homo ludens. Artinya kekerasan dilakukan demi sebuah kesenangan, kemenangan dan kenikmatan. Dan apakah levelnya sudah separah itu dalam kalangan pelajar?

Menyimak pelbagai pemberitaan, justru kekerasan itu menjadi ajang judi dan permainan demi semua kesenangan kelompok masa agresif. Itu berarti kekerasan adalah sebuah permainan. Dan ketika ia menjadi permainan yang  diterima secara bersama, apalagi menjadi salah satu matra dari lapisan epistemik masyarakat, maka bukan tidak mungkin kekerasan akan menjadi budaya kelompok dalam kalangan pelajar.

Tugas proses pendidikan adalah memotong mata rantai agresivitas, baik itu pada level kasat mata (perilaku) maupun pada level lapisan kesadaran dan bawah sadar. Jalan terbaik adalah sebuah formasi berlanjut dari rumah sampai bangku sekolah. Sebab pendidikan tidak hanya terjadi di dalam gedung sekolah, tetapi terjadi di bilik-bilik keluarga. Sebab tanpa pembangunan fundamen keluarga yang kokoh pendidikan formal di sekolah atau perguruan tinggi akan kurang lengkap.

Baca juga : Kaum Muda Memang Bukan Generasi Penerus Bangsa

Memotong mata rantai agresivitas dalam dunia pendidikan, sebetulnya juga dengan membalik paradigma lazim bahwa; pendidikan bukan hanya penumpahan informasi kepada siswa atau mahasiswa,  melainkan formasi atau pembentukan diri. Oleh karena itu, pendidikan adalah on going formation, formasi yang terus berkesinambungan. Dan proses itu harus dimulai di rumah. Pengubahan lapisan epistemik yang memitoskan  kekerasan sebagai kebanggan ego dan kelompok harus dihancurkan. Jadi menjadi keliru jika ada pihak yang hanya menyalahkan pihak sekolah saja, karena mereka gagal menerapkan disiplin di kalangan siswa, padahal disiplin, karakter baik, tingkah laku positif harus sedini mungkin dimulai dari rumah. Dan tugas segenap komponen pendidikan adalah memutuskan mata rantai itu dengan pola edukasi berjenjang. Kalau perlu pemerintah menerapkan sejumlah pola edukasi keluarga atau pendampingan keluarga  sebagaimana lazim dilakukan kalangan agama. Pendampingan keluarga ini hanya menjadi satu instrumen untuk membentuk keluarga yang tangguh.

Mata rantai agresivitas yang menggeogoti dunia pendidikan semestinya mendapat perhatian penting seiring pada perhatian pada proses pendidikan dalam aspek fisik misalnya infrastruktur pendidikan, nilai maupun standar pendidikan. Dan alangkah baik untuk disadari bahwa naluri kebuasan manusia tidak hanya bisa dihilangkan dengan kotbah atau wejangan, melainkan dengan gebrakan baru, suatu skema pembalikan, sebab kekerasan hanya dapat dipotong hanya dengan formasi kedisiplinan dan pembentukan karakter yang “keras”pula.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Fian Roger

Pegiat Jurnalisme Warga di Ruteng, Flores. NTT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *