Apa yang Kita Pelajari dari Bedil, Kuman, dan Baja?

144 0

Guns, Germs, & Steel, dan beberapa karya lain, saya baca. Antusias yang telat, mengingat buku Jared Diamond ini sudah beredar sejak 2013. Di saat menekuni Linguistik dan kaitannya dengan Budaya, ketertarikan untuk mengeksplorasi tema evolusi muncul.

Ini sebenarnya sudah dimulai dari Yuval Noah Harari melalui ketiga bukunya. Terima kasih Covid-19 yang membuat waktu sedemikian berharga. Wabah memang membuat kita ingat pada kematian. Ditarik lebih luas ke atas, kematian adalah peristiwa keruntuhan. Catatan di bawah ini adalah ringkasan empat bab awal Guns, Germs, & Steel, dan sedikit tanggapan, yang sebenarnya lebih berbentuk tanda tanya.

Bedil, Kuman, dan Baja

Semuanya berubah semenjak pemburu-pengumpul mengenal bercocok tanam dan domestikasi hewan. Menetap di suatu tempat membuat para ibu leluasa untuk hamil dalam waktu yang berdekatan. Ini tidak terjadi dalam seorang ibu pemburu-pengumpul yang harus hidup berpindah-pindah sambil menggendong anak. Jared menulis, ibu dalam masyarakat yang menetap melahirkan anak dalam rentang waktu dua tahun. Sedangkan sang ibu yang tinggal berpindah-pindah mesti melahirkan dalam rentang waktu empat tahun. Ia harus memastikan bahwa anaknya bisa berjalan sendiri, agar memudahkannya dalam menjalankan hidup sebagai pemburu-pengumpul.

Dari masyarakat yang berkawanan sekian puluh, populasi manusia kemudian meningkat, ketika masyarakat memilih untuk hidup menetap, mulai menggarap lahan dan ternak, dan makanan bisa diproduksi dan kemudian disimpan. Banyaknya orang memunculkan spesialisasi kerja baru, karena urusan makanan telah “dipikirkan” petani dan peternak. Muncul profesi seperti guru, tabib, dan tukang yang memikirkan hal-hal lain untuk mengembangkan masyarakat. Banyaknya manusia yang harus diatur, muncul pemimpin Politik yang terpusat, serta pasukan penjaga stabilitas dalam teritori atau mengawasi musuh. Populasi yang besar akhirnya memunculkan stratifikasi.

Kreatifitas muncul karena ada banyak waktu luang untuk berpikir dan merenung, sebab masyarakat tidak perlu sibuk mengamati hewan liar untuk diburu sebagaimana dalam era sebelumnya. Distimulasi oleh tuntutan untuk beradaptasi, lahir teknologi yang semakin baru, seperti dari baja. Organisasi Politik berkembang ditopang oleh sistem tulisan untuk mengadministrasi masyarakat. Tulisan membuat informasi beredar dengan mudah, hingga catatan tentang musuh terekam dengan rapi dan diwariskan. Seiring dengan pertambahan populasi, butuh area yang lebih luas, sumber makanan yang lebih banyak, sehingga penaklukkan atas wilayah lain mendesak dilakukan.

Karena teknologi berkembang, bedil dan pedang baja dibuat, termasuk baju zirah, hingga kapal laut. Ekspansi ke wilayah yang terpisah oleh lautan jadi mudah. Ini yang menyebabkan kenapa orang Eropa bisa menaklukkan penduduk asli Amerika dan bukan sebaliknya. Di bawah ini ada catatan dari rekan Fransisco Pizarro, penakluk asal Spanyol, yang dengan 168 orang, berhasil menghadapi 80.000 orang Inka yang dipimpin Kaisarnya, Atahuallpa di kota Cajamarca, 16 November 1532. Belasan ribu orang Inka yang lari tunggang-langgang dibantai. Mulanya, Kaisar Inka berpikir bahwa kedatangan rombongan tersebut tidak membahayakan.

Menyambut tanpa senjata lengkap, Atahuallpa ditangkap, lalu kemudian dibunuh. Canggihnya, motivasi pembantaian itu mengutip nama Tuhan. Catatan penulis yang mendampingi Pizarro berkata, “Kehati-hatian, keberanian, disiplin Militer, jerih payah, pelajaran penuh bahaya, dan pertempuran orang Spanyol – pengikut Kaisar yang paling tak terkalahkan dari Kekaisaran Katolik Roma, Raja dan Tuan kami – akan membawa kegembiraan bagi mereka yang beriman dan ketakutan bagi orang Kafir. … Ini demi kemuliaan Allah, sebab mereka menaklukkan dan membawa kepada Iman Katolik kita yang suci kepada begitu banyak orang Kafir, berkat bimbingan-Nya yang suci.”

Jelas, perbedaan teknologi membuat kekuatan dua kubu tidak berimbang. Kehadiran kapal laut, pedang baja, dan bedil, serta baju zirah tentu tidak sebanding dengan pentungan, gada, kapal batu, ketapel, dan baju pelindung dari kain berlapis. Dengan teknologi, ditambah kemampuan mengembangkan spesies tertentu sebagai transportasi seperti kuda, lengkaplah kekuatan orang Eropa, berlari cepat sambil menghunus pedang pada tubuh orang Inka yang berlari dengan kakinya sendiri. Usai kontak dengan orang Eropa, suku asli mulai belajar budaya baru dan dengan teknologi yang sama melawan orang Eropa di waktu berikutnya dengan peperangan yang lebih sengit.

Lalu darimana penyakit epidemik muncul? Dari domestikasi tumbuhan dan hewan ditambah populasi pemukiman yang besar dan padat. Ketika orang Eropa datang, Atahuallpa kebetulan sedang berada di Cajamarca. Rupanya ia baru saja memimpin perang saudara di tengah epidemi cacar. Epidemi ini disebar oleh orang Indian di Amerika Selatan yang sebelumnya dibawa oleh orang Spanyol yang bermukim di Kolombia dan Panama. Kaisar Inka Huayna Capac, sebagian pembesar, dan penerusnya, Ninan Cuyuchi tewas oleh wabah. Karena ada kekosongan kekuasaan, terjadi perebutan antara Atahuallpa dan saudara tirinya, Huascar. Terbiasa dengan wabah sejak di Eropa, secara biologis penakluk Spanyol lebih bugar ketimbang orang Inka yang rentan.

Belajar Melampaui Krisis

Pola terluas sejarah dimulai dari berkembangnya pertanian dan peternakan, yang kemudian melahirkan berbagai macam penaklukkan, sehingga melahirkan negara sebagai unifikasi politik terakhir. Di massa epidemi Covid-19, kita belajar satu hal, bahwa perkembangan pertanian-peternakan membuat kita sampai pada posisi seperti sekarang. Posisi seperti itu kembali melahirkan epidemi karena eksploitasi sumber daya alam dengan teknologi yang lebih perkasa, yang kemudian berbuntut pada krisis ekonomi-politik yang melahirkan ancaman atas tubuh. Bagi yang gagal, mati dan yang beruntung, kelaparan. Di tengahnya ada orang kaya, namun hidup dengan cemas.

Domestikasi hewan dan tumbuhan melahirkan populasi, memunculkan stratifikasi politik, memungkinkan adanya spesialisasi kerja, menciptakan teknologi metalurgi, dan penaklukkan atas teritori atau alam. Jared menulis proses ini sebagai Pola-Pola Terluas Sejarah. Pertanyaannya sampai kapan  pola-pola ini terus kita replikasi ketika Bumi di sisi lain memiliki ambang batasnya? Arogansi manusia memang tidak bisa mengatakan “henti”, karena logika pertumbuhan membuat roda peradaban dengan bangunan ekonomi “modal” harus terus berputar untuk menghasilkan kue-kue pertumbuhan yang makin besar, namun tidak terbagi merata.

Produksi makanan akan selalu menjadi titik sentral dalam peradaban kita. Ia menentukan apa yang terjadi di masa lalu dan juga di masa depan. Otak dengan volume 1350 CC butuh kalori untuk memikirkan teknologi, entah untuk mengeruk bumi sedalam-dalamnya atau berekspansi di alam semesta. Namun, di massa pandemi ini, pangan kita sepenuhnya bergantung pada impor. Ketika kondisi mencekik, muncul usaha untuk mengefektifkan sawah. Padahal sebelumnya lahan digusur untuk bangunan pabrik. Namun, meratapi beras sebenarnya ironi, karena pangan kita sejatinya tidak melulu pada komoditas politik itu. Kita seolah menangis pada “wajah” yang salah.

Di era globalisasi dan pasar bebas, beras diimpor. Lahan yang ada di Indonesia dikeruk untuk investasi pemodal. Krisis lingkungan terjadi dan kita pun merenung, apakah pandemi Covid-19 sedang menghancurkan Bumi atau malah sebaliknya? Imajinasi saya, kelak ketika Bumi benar-benar hancur, anak cucu akan mengutuki kita, untuk apa menambang material buat bikin mobil Ferrari, eksploitasi minyak untuk kebutuhan jet pribadi, atau pentingnya televisi dan rumah bertembok semen? Pada masa itu, ketika Bumi benar-benar hancur, mereka akan takjub dan melihat betapa konyolnya kita dibandingkan leluhur pemburu-pengumpul nun jauh di masa lalu.

Atau situasi sama sekali berbeda, ketika Bulan sudah bisa ditambang untuk diambil energinya atau planet baru ditemukan untuk kemudian ditempati. Namun bukankah di masa itu, bukan manusia lagi yang hidup? Apa kamu yakin keturunanmu akan terlahir sebagai manusia super dan bersaing dengan keturunan Bil Gates? Kelompok ini bermain-main dalam labirin kesehatan di mana penyakit dan vaksin dipertukarkan demi profit. Di sisi lain, secara alamiah, alam tak mampu menahan penyakit untuk tidak keluar pada permukiman, sebab wilayahnya sudah dicabik-cabik oleh manusia.

Tetapi bagi yang sedikit melihat pada proyek ilmu pengetahuan, apa yang terlihat futuris ini tidak lama lagi akan terjadi. Maka, di massa di mana kita mesti membangun empati satu sama lain ini, kita merenungkan betapa pentingnya sikap untuk terlambat, alih-alih bergerak cepat, bersikap sosial, alih-alih hanya memikirkan diri. Namun, apa yang menjadi perekat kita sebagai bahasa bersama yang menyatukan. Berbagai macam -isme? Apakah secara genetis kita ini baik? Lalu bagaimana dengan fakta bahwa kita memiliki bawaan agresif?

Penaklukkan adalah kata kunci dari sejarah manusia. Produksi makanan dan teknologi adalah pendukungnya. Penaklukkan didukung oleh organisasi politik dan sistem ideologi, agar wajahnya kian “samar” dan bahkan digandrungi. Itu setidaknya yang saya pahami, saat sedang belajar merangkak di tengah belantara ilmu ini. Kita mereplikasi penaklukkan di masa lalu dan usai bumi habis ditakluk, ke mana lagi “moncong meriam” itu diarahkan? Pandemi yang hadir di tengah-tengah proses tersebut seharusnya membuat kita berpikir, alih-alih mengutuki keadaan. Bagi yang berpikir, ia sebenarnya tengah melampaui diskusi yang melampaui Covid-19 itu sendiri.

Apa yang perlu dibenah?

Penulis : Fandis Nggarang, tinggal di Jakarta Selatan

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *