INA, seorang ibu berpayudara jumbo dan menyusui 270 juta anak sekaligus. Hari ini, Ina galau akut. Dia masih terjaga saat anak-anaknya tidur pulas setelah kekeyangan minum susu dan masih harus menjaga mereka dari gigitan nyamuk.
Galau dalam bahasa gaul adalah situasi pikiran kacau tidak karuan. Terlalu banyak yang dipikirkan, terlalu ramai lalu-lalang berbagai hal di hati dan otak. Kegalauan Ina tidak diceritakannya sendiri, karena ia sudah lelah. Ina sudah terkuras habis.
Seorang pemudalah yang menceritakanya kegalauan Ina. Pemuda itu terlihat ceking, keriting dan berkulit gelap. Kayaknya Ia bukan siapa-siapa, karena google juga tidak mengenalnya. Pemuda ini hanya mengenal Ina dari tumpukan koran bekas peninggalan ayahnya yang kini jadi pekerja lahan sawit di Malaysia.
Cerita tentang Ina tidak ada di halaman depan koran. Juga tidak ada di kolom opini para profesor dan budayawan ternama. Kisah Ina ada di kolom kilas peristiwa, selembar di belakang iklan perumahan dengan cicilan hanya 40 juta per bulan. Hanya dua paragraf panjangnya.
Nampaknya pemuda ini kurang puas dengan berita koran tentang Ina. Dengan kepercayaan diri pas-pasan dia membagikan ceritanya dihadapan mahasiswa di sebuah kampus. Harapannya, cerita ini bisa hidup atau paling untung dianggap. Di kampus nasib cerita Ina ternyata sama kayak di koran-koran. Cerita tentang Ina ndelalah ga direken dan ga dianggep oleh kelompok yang baru sejam sebelumnya diberi gelar agent of change oleh Rektornya.
Para Agent of Change ini terlihat sibuk dengan gawai layar pijat, berfoto diri dan menunggahnya ke media sosial. Mereka kompak tersenyum sambil menunggu tanda jempol dan gambar hati pada foto diri dari teman yang duduk bersebelahan.
Pencerita tetaplah pencerita. Walau tidak dianggap, pemuda ini terus lanjut bercerita. Tapi kali ini suaranya mulai meninggi. Penontonnya malah tertawa cekikikan. Bukan menertawakan cerita Ina, mereka terlalu alim untuk itu. Mereka menertawakan hal lain. Di dekat pilar sekelompok penonoton sedang seru-serunya menertawakan meme tentang mantan presiden yang baru saja curhat.
Pencerita ini rupanya tidak sesabar pendongeng. Ia pun marah dan menuding beberapa penonton yang tadi terlihat tertawa. Dengan suara meninggi diperintahnya mereka untuk berdiri. Dua mahasiwa dan dua lagi mahasiswi berdiri kikuk ditengah tatapan penonton lain. Kebingungan jelas diraut muka mereka.
“Kenapa berdiri?” tanya Pencerita.
“Kan situ yang suruh kami berdiri ! ” sahut seorang diantara mereka dan yang lain mengangguk tanda sepakat.
“ Oh…” kata pencerita.
Lalu ia tertawa terpingkal-pingkal. Penontonnya terdiam, heran dan mungkin juga gemas padanya. Pencerita tidak menghentikan tawanya dan malah menjadi jadi. Sepi, semua diam. Keempat mahasiwa tadi masih juga berdiri mematung.
“Oh…jadi begitu rupanya. Diam, bicara, tertawa, berpikir dan berdiri kalianpun harus tunggu perintah dan ancaman” ujar Pencerita. Mukanya tampak bahagia. Ia tersenyum sebentar, lalu pergi begitu saja meninggalkan penonton.
Saya seorang dari penonton itu. Tulisan ini adalah olah ingat saya dari monolog berjudul “ Cerita tentang Ina”. Sebuah monolog yang dibawakan oleh Juffen Timur pada Malam Puncak Pekan Filsafat 2017 di Unika Widya Mandala Surabaya.
Tulisan ini hanya untuk menceritakan kembali Cerita tentang Ina dan juga Pemuda Pencerita-nya. Saya hanya mau berbagi cerita dan siapa tau ada yang mau baca dan menceritakannya lagi.
Tinggalkan Balasan