Communi(cati)on: Sebuah Momen Penyingkapan Eksklusifitas Pluralisme

128 0

 Di samping karena memang perbedaan paradigma agama yang cukup tak tepermanai, saya pikir eksklusivitas pluralisme tersebut juga dipicu oleh kesembronoan dalam memaknai yang-Lain.

 

Sambungan dari artikel :  Communi(cati)on: Menimbang Ulang Pluralisme Dan Temu-Wicara Antar-Agama

Mereka kerapkali berasumsi bahwa keberlainan itu bisa dengan mudah dijembatani lewat dialog, lewat saling tukar kabar atau bahkan saling berdebat laiknya dialog yang digelar oleh para scholar—sekumpulan orang yang dikenal gemar membekukan realitas dan menganyam jeruji klasifikasi itu. Tak selalu mudah memang hidup dan bersikap dalam keberlainan. Untuk itu, tampaknya kita perlu mengenal terlebih dahulu karakteristik yang-Lain.

Dari pembahasan yang lalu, dari penelanjangan absurditas pluralisme yang—di samping ingin mempertahankan perbedaan masing-masing—berambisi mencari common-ground atau fusi melalui dialog, kita telah tahu bahwa upaya semacam itu justru meluluhlantakkan perbedaan, keberlainan. Seperti dalam masalah format dialog, Gross bersiteguh pada bentuk dialog etis (karena memang beginilah paradigma Buddhisme), adapun kalangan Abrahamik bersikukuh bahwa dialog semacam itu akan lebih afdol seandainya juga mengambah wilayah teologis-metafisis (paradigma agama-agama Abrahamik). Di sini jalan tengah yang benar-benar tengah terang tak mungkin, karena menyangkut perbedaan radikal paradigma yang diacu. Sisi yang satu akan selalu mendominasi dan mereduksi sisi lainnya.

Dengan demikian, hal ini mengungkapkan bahwa yang-Lain tersebut akan senantiasa Lain. Ia akan selalu luput dari jerat penyamaan, tetap menampik ajakan untuk satu dan sama. Common-ground sebagaimana yang diangankan kaum pluralis hanyalah kata lain dari “kesamaan”—dan tentu saja, hal ini senantiasa berarti sama menurut dan dalam selera siapa.

Pertanyaan pun segera mengemuka di sini. Apabila perbedaan, keberlainan tersebut sebegitu radikalnya, bukankah satu-satunya opsi yang tersisa hanyalah relativisme? Saya kira tak sejauh itu. Kita tahu relativisme hanya bisa membuat perbedaan, keberlainan, saling membisu dan terisolir satu sama lain, dan saya pikir hal ini juga absurd. Bagaimanapun, yang-Lain tetap saling menyibak diri untuk berinteraksi dan mengajak dialog. Hanya saja, perkaranya tinggal dialog macam apa yang memungkinkan yang-Lain tersebut tetap menjadi dirinya sendiri dan tak sedikit pun terpilin ke dalam kesamaan yang dipaksa.

Bagi saya, dialog semacam ini hanya mungkin seandainya kita telah bersih dari legamnya jelaga nalar sarjana. Sebagaimana temu-wicara yang diformat para pluralis, kita tahu di situ terlalu banyak hal teknis yang kaku, bertele-tele, dan membelit—tak memberi sedikit pun ruang bagi improvisasi. Model-model dialog yang mereka rakit pun saya pikir terlalu aristrokatik, elit, dan akademik. Tengok saja Knitter dan Schmidt-Leukel, kedua orang ini malah memberi ruang bagi adanya perdebatan dan judgment soal klaim-klaim kebenaran religius. Bukankah hal ini terlalu akademik? Bukankah hakikat debat dan judgmental rationality, dalam konteks klaim-klaim kebenaran religius, hanyalah masalah kecakapan retorika dan logika? Bukankah dengan demikian kebenaran yang mungkin dipetik dari perdebatan semacam ini sekedar kebenaran retoris?

Tak syak lagi, nalar akademik sepertinya memang nalar yang sesak dengan kehendak-untuk-mengetahui. Dan di sini tentu kita sadar bahwa kehendak-untuk-mengetahui, seperti kata Nietzsche, adalah nama lain dari der Wille zur Macht. Berbeda dengan nalar, untuk meminjam istilah Michel de Certeau dalam The Practice of Everyday Life (1984), “orang biasa” (the ordinary man). Nalar semacam ini jelas tak mematok aturan ataupun batas yang tegas, perencanaan terperinci, dan tujuan yang pasti dalam berdialog tentang klaim-klaim kebenaran religius dengan yang-Lain. Tak teratur dan sedikit liar memang. Tapi saya pikir, dalam ketakteraturan dan keliaran itu, setidaknya ia tak punya sebersit pun niat untuk menundukkan: like a leaf falls and flies, the wind knows where it goes. Dan justru dalam proses semacam inilah terkadang kebersamaan dalam keberlainan yang tak disengaja tercipta secara tak terduga-duga.

Oleh :  Heru Harjo Hutomo, penulis, peneliti lepas dan perupa, penulis Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Brai, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011 .  Email : tebusauyun@gmail.com

Featured Image : https://ilovelife.co.id

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *