MENGUATNYA politisasi suku, agama dan ras (SARA) akhir-akhir ini tampak sebagai senjakala Pancasila; sebuah landasan kebangsaan yang merupakan solusi unik bagi keberagaman Indonesia.
Pancasila merupakan dasar mengada negara kebangsaan (nationale staat) yang beraneka wajah ini, dengan semboyan luhur “Bhineka Tunggal Ika,” ex pluribus unum, dari yang beraneka menjadi satu wajah Indonesia.
Tampak cara pandang rukun dan toleran menghadapi liang kubur kematian, ketika demi kekuasaan di DPR dan Eksekutif (Presiden, Gubernur/ walikota), sentimen-sentimen kesukuan, agama dan ras menjadi propaganda elit untuk menarik dukungan dan suara mayoritas dalam Pemilu. Politik bermain dengan propaganda teologi kematian, teologi pecah belah.
Sebagai negara kebangsaan, Pancasila yang mengandung lima prinsip pandangan hidup (Ketuhanan, kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan keadilan sosial) komunitas majemuk nusantara menjadi ideologi politik yang unik untuk menjamin keutuhan wilayah dan integrasi perasaan kebangsaan.
Sejarah panjang Pancasila berikut proses “mengada”nya dalam orde-orde kekuasaan di antaranya era Soekarno, Era Soeharto, era reformasi dan pasca-reformasi memang tidak terlepas dari pertentangan wacana politik yang tajam dalam lini massa keberagaman.
Sejarah mengingatkan, perdebatan ini mengisi masa-masa awal saat negara kebangsaan ini masih muda belia, merdeka dari masa kolonial Belanda dan Jepang. Perdebatan awal kaum nasionalis dan kaum agamawan menjadi kisah yang tidak bakal dilupakan generasi ini.
Kaum agamawan hadir lewat kelompok Masyumi (Majelis Syuro Muslim Indonesia) menginginkan landasan negara berdasar pada agama dan keyakinan yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia (teokrasi).
Sementara, kaum nasionalis dengan pemahaman yang sekular menginginkan paham negara kebangsaan sebagai landasan untuk kemajemukan hidup menegara di Indonesia (Cf., Densmoor; 2013). Perdebatan ini memang meninggalkan pergulatan panjang bahkan sampai sekarang pada kutub-kutub bagi puritanisme religius dan sekularisme politik Indonesia.
Pohon Pancasila
Sejarah wajib hukumnya tidak boleh dilupakan (jas merah: jangan sesekali melupakan sejarah). Permenungan kelahiran Pancasila itu lahir dari faktualitas yang kuat. Sukarno, bapak proklamator, pernah diasingkan di Ende, Flores (kini, Nusa Tenggara Timur). Kota Ende diyakini sebagai tempat Bung Karno memperoleh “ilham” prinsip-prinsip kebangsaan kita.
Sukarno diasingkan di Ende, Flores pada 14 Januari 1934 sampai dengan 18 Oktober 1938. Ia diberangkatkan menggunakan kapal Jan Van Riebeeck ke Ende dan kembali ke Surabaya menumpang Kapal PM Klerk. Ende masa Sukarno diasingkan, dikisahkan sebagai kota pelabuhan berpenduduk kurang lebih 5,000 orang.
Selain memiliki penduduk beragama Islam pesisir, kala itu Ende merupakan bagian dari daerah misi Katolik yang diemban oleh para pater Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) disingkat SVD. Maluku, Flores, Solor dan sebagian Timor adalah daerah misi Katolik sejak abad ke-16, masa kedatangan Bangsa Portugis ke Nusantara.
Di Ende, Sukarno berjumpa dengan para pastor SVD dan membangun komunikasi yang dekat dengan Pater Gerardus Huijtink SVD, pastor Paroki Ende kala itu. Kediaman Keluarga Sukarno, tempat ia menghabiskan waktu bersama istrinya Inggit Garnasih, Ibu Amsi (mertuanya) dan anak angkat yang bernama Ratna Djuani tak jauh dari Biara St. Yosef.
Kedekatan Pater Gerardus dengan Soekarno bukan tanpa sebab, Pemerintah Belanda mempercayakan sang pastor untuk menjadi penyunting naskah sandiwara yang disusun Bung Karno. Sandiwara menjadi alat bung Karno untuk menyampaikan pesan pada kelompok masyarakat waktu itu. Selain Pater Gerardus, sejarah mencatat, Pater Bouma SVD yang waktu itu menjadi Pimpinan Regio SVD (superior regional 1932-1947) menjadi teman dialog dan debat Bung Karno.
Di Kota Ende, tepatnya di Kelurahan Rukun Lima, terdapat monumen bersejarah yang dirawat hingga kini untuk mengingatkan tiap generasi pada tempat Sukarno merenungkan lima prinsip kehidupan menegara.
Di sana, terdapat sebuah pohon Sukun yang “dibabtis” menjadi pohon Pancasila yang ditanam tahun 1981. Pohon yang dapat ditafsir sebagai penyejuk kala terjadi silat pendapat soal paham kebangsaan kita masa kini.
Dalam pertukaran wacana politis, pergulatan identitas kebangsaan memang tidak terhindarkan. Demokrasi membiarkan dalam dirinya terjadi pertukaran pendapat bahkan perbedaan pendapat yang tajam untuk menemukan titik temu yang kompromis menyatukan keragaman sebagai kondisi faktual berbangsa dan menegara.
Kutup bipolar antara penguatan gerakan pemurnian religius dalam politik dan menguatnya sekularisme politik di sisi lain memang tak terbantahkan. Itu tidak saja terjadi di negara kita, di beberapa negara maju pun debat antara kaum populis dan nasionalis liberal tidak terhindarkan.
Kaum populis mengambil alih perhatian massa dengan mengampanyekan globalisasi sebagai penyebab kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi, juga menyalahkan kebijakan liberal dan isu imigran sebagai satu dari sekian sebab keterpurukan menegara.
Beberapa tokoh yang memainkan isu politik populis dengan materi kampanye SARA memang tampak menang dalam panggung politik, misalnya saja Donald Trump di USA. Beberapa figur populisme lain misalnya Farage di Britania Raya, gerakan Five Stars di Italia, dsb.
Tetapi sesungguhnya, dalam perebutan kekuasaan isu agama dan suku menjadi alat propaganda semata, sebab uang dan kekuasaan itu sendiri adalah “agama” dalam politik kekinian. Tidak sedikit dari penganut populisme yang gagal misalnya saja Marine le Pen di Prancis.
Spiritualisme Kebangsaan
Flores, sebagai salah satu kantong kemajemukan di Nusantara menghadapi isu serupa, isu yang sedang menjadi tantangan soal keragaman. Menjelang pemilihan umum Bupati di 10 Kabupaten dan Pemilihan Gubernur tahun 2018, bukan tidak mungkin riak-riak politisasi SARA seperti yang dipertontonkan di Jakarta menguat.
Kutup-kutup disparitas cultus misalnya antara Katolikisme dan Protestanisme sering kali menjadi alat propaganda politik. Padahal pemilu tidak sedang memilih pimpinan dewan Gereja melainkan memilih pemimpin yang berkarakter benar dan membawa perubahan. Partai-partai politik berbasis agama pun bakal memenangkan hati massa di kantong-kantong muslim di Flores dengan menggunakan kampanye berisi propaganda teologis.
Jika gaya politik demikian masih dipertontonkan di lini massa demokrasi nusantara, maka generasi ini akan mewarisi bara dalam sekam, warisan untuk generasi mendatang.
Padahal agama tidak pernah mengajarkan perpecahan, karena para nabi diutus dengan ajaran kedamaian, kebenaran, kebaikan, keselamatan, dan kesejahteraan untuk bangsa manusia. Melacurkan agama dalam politik, juga dengan politisasi suku dan agama, sama dengan pembodohan generasi dengan paham politik yang licik dan penuh syahwat kekuasaan.
Embrio kelahiran Pancasila di Timur, mengajak generasi masuk dalam spiritualitas nusantara sebagai solusi bagi keragaman. Dengan perasaan positif, gerakan kemurnian religius di sisi lain, sesungguhnya mengajak generasi untuk tidak jatuh pada kenikmatan sekularis yang mengikis nilai-nilai komunitas dan kebudayaan nusantara.
Titik temunya dengan paham negara kebangsaan modern adalah bagaimana tiap orang makin produktif berkontribusi bagi kemajuan negara. Radikalisme yang benar adalah, sebuah sikap rohani yang tunduk dan tahluk pada kebenaran ilahi sekaligus memelihara rumah bersama dari ancaman perpecahan, konflik yang tidak selesai, dengan penghayatan sikap produktif dalam praksis hidup. Keyakinan yang benar pada Allah penuh kasih tidak berakhir pada kekerasan dengan dalih supaya masuk surga. Itu namanya teologi maut dong!
Spiritualisme kebangsaan kita lebih menganjurkan teologi kehidupan, bahwa medan tantangan hidup bersama menjadi ranah untuk menyatukan kekuatan untuk semakin maju, hidup dalam damai dan tiap komunitas juga pribadi menikmati kesejahteraan di rumah bersama yang bernama Indonesia. (*)
*Catatan: tulisan ini didedikasikan untuk Hari Lahir Pancasila.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan