Keadilan sosial menjadi sangat penting karena pada dasarnya pendiri-pendiri negara ini sepakat menyantumkan keadilan sosial kedalam isi sila ke 5 pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Itu artinya keadilan sosial harusnya dimiliki setiap individu, masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dimaksud adalah seluruh anak bangsa yang terdiri dari berbagai macam suku, budaya, agama, ras, model rambut, warna rambut dan lain sebagainya.
Keadilan ini diambil dari kata adil, yang apabila dianalogikan sebagai tandon air yang memiliki saluran yang sangat banyak. Tanpa membedakan saluran mana yang memiliki diameter yang besar dan mana yang kecil. Dikatakan adil jika air dari tandon tersebut dapat menjangkau lubang sekecil apapun untuk dilalui. Tidak hanya “lubang” besar saja yang dilalui.
Baca juga : Sekolah Analisa Sosial : Berani masuk ke tengah-tengah persoalan masyarakat
Berbicara soal keadilan sosial, menurut saya yang masih kurang adil atau jauh dari kata adil. Selama “kelas” sosial masih ada, maka keadilan akan sulit dicapai. Kalau kita lihat sejarah manusia dalam revolusi prancis, pada dasarnya sejarah manusia adalah sejarah perjuangan antar kelas sosial. Kelas borjuis dan kelas proletar yang mana pada kala itu sekitar abad 20an kelas proletar selalu diperbudak/ditindas/ oleh kelas borjuis. Tenaga yang dikeluarkan oleh kelas pekerja tidak sepadan dengan upah yang diberikan. Realitas di Indonesia yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
Apa bisa dibilang adil kalau seperti itu ?.
Tidak hanya itu saja, berbicara soal keadilan di Indonesia, keadilan sosial tidak akan tercapai jika masih ada deskriminasi antar kelompok, ras, agama,dll. Diskriminasi masih ada di mana-mana, adanya kasus bully dilingkungan pelajar adalah salah satu bentuk diskriminasi.
Salah satu pepatah Jawa yang menurut saya menunjukkan adanya ketidak adilan dalam menilai seseorang adalah “ajining diri soko lati,ajining rogo soko busono” yang artinya harga diri seseorang bisa dilihat dari cara berbicaranya. Cara padang tersebut diatas yang kemudian membentuk diskriminasi terhadap rakyat kecil yang memiliki penampilan ala kadarnya. Bahwa tidak selamanya kepribadian seseorang bisa dilihat dari cara berpakaiannya. Belum tentu yang berpakaian kusut adalah orang yg memiliki kepribadian buruk dan yang rapi memiliki kepribadian baik.
Cara pandang tersebut diatas yang kemudian melanggengkan diskriminasi masyarakat terhadap rakyat yang ekonominya dibawah rata-rata. Berpakaian kusut lungsut dan terlihat kere selalu ditindas secara mental dianggap mahluk yang lemah dan tidak memiliki harga diri. Tentu masih banyak cara pandang yang melanggengkan diskrimiasi dan ketidakadilan, namun kadang dimulai dari hal-hal yang sederhana.
*Eri Setyo Darmawan, Peserta Sekolah Ansos 2017. Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA). Aktif berkegiatan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Unesa.
** Tulisan ini merupakan salah satu proses di Sekolah Ansos, dimana peserta diminta memberikan refleksinya dengan judul; ” Saya dan….(isu yang dipilih)”. Atas persetujuan partisipan akan di publis secara berkala di www.idenera.com.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan