Seratus empat puluh tahun berselang antara perempuan yang hidup di masa kini dan Kartini. Hari ini tentu sudah sangat berbeda dari masa Kartini menulis surat-suratnya yang kemudian dibukukan (1911) oleh J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan Hindia Belanda pada waktu itu.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang (1922). Sekarang perempuan bisa bersekolah, bekerja, memimpin perusahaan dan daerah atau memilih untuk mengurus rumah tangga. Namun demikian, ada kenyataan pahit lain bahwa kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun, perlindungan bagi pekerja perempuan baru sebatas peraturan dan belum optimal diterapkan, serta pilihan pribadi perempuan untuk bekerja mengurus rumah tangga kerap dianggap sepele.
Kesadaran yang telah terbit
Rintisan Kartini dapat dirasakan dampaknya hari ini. Di berbagai universitas kita bisa jumpai perempuan-perempuan yang belajar, mendidik bahkan memegang jabatan sebagai profesor dan guru besar. Berdasar Pangkalan Data Pendidikan Tinggi, Kemenristek Dikti, jumlah dosen perempuan di Indonesia saat ini ialah 129.327 orang. Jumlah ini sebenarnya masih lebih rendah dibanding jumlah dosen laki-laki di Indonesia yang mencapai 167.173 orang. Namun demikian, capaian tersebut tetap pantas diapresiasi, dan perlu terus ditingkatkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Kepemimpinan perempuan tidak hanya diakui di bidang akademik tetapi juga dalam pemerintahan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Sebut saja beberapa tokoh perempuan dan kiprahnya seperti Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya, Khofifah Indar Parawansa sebagai Gubernur Jatim dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Peran perempuan juga terasa dalam dunia bisnis. Munculnya CEO-CEO (Chief Executive Officer) perempuan menjadi taipan-taipan Indonesia yang sulit ditandingi jumlah pendapatannya, seperti Putri Kuswisnuwardhani (PT Mustika Ratu), Dian Siswarini (XL Axiata) serta Catherine Hindra Sutjahyo (Zalora).
Penindasan ‘Halus’ di Tempat Kerja
Di balik kesadaran yang telah terbit bahkan bersinar terang ini, terselip penindasan-penindasan halus. Sedihnya, kerap kali perempuan turut menyetujui penindasan ini sebab kurangnya kesadaran akan sistem sosial patriakhis yang menindas. Sebagai contoh, perempuan yang bekerja di luar rumah tetap menanggung beban ganda yaitu dituntut untuk berprestasi dalam pekerjaan dan tetap mengurus pekerjaan rumah tangga. Beban ini justru dilegitimasi oleh UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 34 yang menyatakan “istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”. Perempuan yang keluar dari tata tugas rumah tangga dianggap melawan kodratnya. Di sini pengertian kodrat tumpang tindih dengan konstruk sosial. Kodrat adalah bawaan biologis, sedang konstruk sosial atau sering disebut gender adalah bentukan masyarakat. Melahirkan memang kodrat perempuan, tetapi perawatan anak adalah tugas, baik bagi perempuan maupun laki-laki, sebagai orang tua.
Masih terkait dengan pekerjaan, perlindungan terhadap pekerja perempuan pun belum optimal diterapkan. Undang-undang yang menjamin hak-hak perempuan seperti cuti hamil, tersedianya ruang laktasi dan cuti haid memang sudah diatur. Namun demikian, ada jurang yang curam antara peraturan dan pelaksanaan. Salah satu perusahaan, bahkan memberhentikan pekerjanya setelah mengajukan cuti melahirkan.[1] Ruang laktasi juga kerap kali tidak tersedia di tempat bekerja. Kalaupun ada, beberapa ruang laktasi tidak dilengkapi perlengkapan standar seperti kursi yang nyaman, lemari es dengan pendingin untuk menyimpan ASI serta wastafel. Jam kerja yang terlalu padat kerap membuat ibu yang masih dalam masa menyusui terpaksa tidak bisa memompa ASI-nya. Akibatnya, program ASI eksklusif yang dicanangkan selama 2 tahun pertama kehidupan bayi, gagal di tengah jalan.
Keadaan struktur dan infrastruktur yang kurang menguntungkan perempuan ini masih diperparah dengan kasus pelecehan seksual yang terjadi di pabrik dan kantor. Pelecehan seksual misalnya dialami RA, salah satu staf BPJS. RA yang berani mengungkapkan kisahnya, justru dinilai menyebarkan aib oleh orang di sekitarnya dan mendapat PHK dari kantor tempatnya bekerja.
Sementara itu,
para perempuan yang memilih untuk bekerja mengurus berbagai urusan rumah tangga
hampir tak pernah dilihat sebagai peran yang
serius dan penting. Pekerjaan rumah tangga bukan main banyak dan seriusnya,
mulai dari menyiapkan makanan, menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan
hingga mendidik anak. Parahnya, di sistem sosial yang patriarkhis, peran ibu
rumah tangga (–dan sekarang juga dikenal bapak rumah tangga) tidak dianggap
sebagai peran kunci untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ibu yang
berperan mengurus rumah tangga dianggap sudah sewajarnya dan tidak
berkontribusi dalam perekonomian keluarga. Sedang, apabila sang ayah yang
memutuskan untuk mengurus rumah tangga seringkali dianggap lemah dan tak
melakukan tanggung jawabnya sebagai laki-laki, bahkan disebut bukan ‘lelaki
sejati’. Pandangan yang mengecilkan pekerjaan domestik ini berakar dari pembedaan
tajam antara ‘dunia publik–milik laki-laki’ dan ‘dunia domestik–milik
perempuan’. Dikotomi ini tak layak lagi dipertahankan, mengingat baik pekerjaan
di ranah publik maupun domestik sama-sama memiliki kontribusi yang penting bagi
keberlangsungan kehidupan.
[1] Berita bisa dilihat di https://www.rappler.com/indonesia/131392-catatan-kelam-buruh-perempuan-2016
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan