Pembatasan hingga pemutusan akses Internet tengah meningkat secara global terutama banyaknya gangguan akses internet oleh pemerintah. Hampir sebagian besar pembatasan dan pemutusan dipicu oleh masalah keamanan, politik, dan nasional. Permintaan penutupan internet oleh negara bahkan telah menjadi suatu hal yang biasa di banyak negara.
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB menegaskan, memotong pengguna dari akses Internet, terlepas dari justifikasi yang diberikan, termasuk dengan alasan melanggar hukum hak kekayaan intelektual, tidak proporsional dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap Pasal 19, Paragraf 3, dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. PBB juga menyerukan kepada semua negara untuk memastikan bahwa akses Internet tetap dipertahankan setiap saat, termasuk selama masa kerusuhan politik.
Tentu menjadi kontraproduktif, memutus akses seluruh populasi dari internet, ketika sejumlah negara berkomitmen untuk meningkatkan kekuatan internet dan Teknologi Informasi & Komunikasi (TIK) untuk mencapai tujuan PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di bidang-bidang seperti pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan ekonomi.
“Shutdown Internet” adalah gangguan disengaja pada komunikasi berbasis Internet, menjadikannya tidak dapat diakses atau secara efektif tidak tersedia, untuk populasi tertentu, lokasi, atau mode akses, sering kali untuk melakukan kontrol atas aliran informasi. Shutdown Internet dapat terjadi di tingkat nasional, di mana pengguna di seluruh negara tidak dapat mengakses Internet, atau di tingkat sub-nasional (lokal), di mana akses mobile dan / atau internet tetap di negara bagian, kota, atau area terlokalisasi lainnya.
Access Now mencatat sepanjang 2019 ada 1706 hari di mana akses internet terganggu karena 213 aksi pemadaman internet di 33 negara. Lembaga non-profit yang mengadvokasi hak-hak digital ini menyebut, bentuk ganguan terhadap internet tersebut bervariasi, mulai dari pemblokiran terhadap akses pada platform tertentu, memperlambat jaringan internet, hingga memadamkan total jaringan internet atau sering disebut blackouts.
Di Indonesia sepanjang 2019, setidaknya ada tiga kali kejadian pembatasan hingga pemblokiran akses internet. Ketiganya dipicu oleh peristiwa politik. Pertama, di tengah serangkaian aksi demonstrasi yang menolak hasil pemilu presiden pada Mei 2019. Demonstrasi yang berujung kerusuhan tersebut, telah menjadi landasan kebijakan pemerintah untuk membatasi beberapa fitur pada aplikasi layanan pesan instan seperti WhatsApp dan media sosial twitter dan instagram. Pemerintah berdalih, pembatasan fitur kirim gambar dan dokumen digital lainnya saat itu, demi membendung masifnya penyebaran konten-konten hoaks dan provokatif. Pembatasannya berlangsung kurang lebih hampir selama satu pekan.
Kejadian kedua pada Agustus 2019. Kali ini pembatasan akses internet di hampir semua wilayah Papua. Ujaran rasis terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menjelang kemerdekaan RI tahun lalu, menuai gejolak serta direspon dengan sejumlah aksi demonstrasi di banyak tempat, terutama di Papua dan Papua Barat. Demonstrasi berlangsung cukup lama, terutama di wilayah Papua. Pemerintah lagi-lagi berdalih penyebaran konten hoaks yang massif di tengah aksi rusuh tersebut, membuat ketertiban umum terganggu. Maka akses internet di Papua pun diperlambat.
Tak sampai di situ, perlambatan lanjut berlanjut kepada pemutusan di bulan yang sama. Sempat normal sesaat, namun pemutusan internet kembali terjadi sampai pertengahan September 2019. Pemerintah baru memulihkan kembali jaringan internet secara bertahap pasca kerusuhan mulai reda. Perlambatan hingga blokir akses internet disebut sebagai cara untuk mengontrol arus informasi tentang konflik Papua. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menilai pembatasan maupun pemblokiran dilakukan pemerintah secara tidak transparan. Tanpa landasan atau prosedur hukum yang memadai.
Kebijakan yang sewenang-wenang itu tidak hanya merampas hak publik terhadap akses internet, namun juga telah menghambat kemerdekaan pers. Begitupun kritik keras yang juga datang dari kalangan masyarakat sipil. Safenet misalnya, mengkritik pemutusan internet saat itu sebagai pelanggaran terhadap hak asasi publik untuk mengakses informasi dari internet. Juga keperluan kepentingan lain yang sangat bergantung kepada internet.
Tindakan itulah kemudian yang digugat oleh oleh Tim Pembela Kebebasan Pers yang terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan SAFEnet sebagai penggugat dan LBH Pers, YLBHI, Kontras, Elsam dan ICJR sebagai kuasa hukum dengan nomor perkara 230/G/2019/PTUN-JKT. Tim Pembela Kebebasan Pers menilai, segala tindakan pemerintah terhadap pemutusan akses internet di Papua dan Papua barat tidak berdasar hukum dan melanggar hukum. Tindakan tersebut merugikan kebebasan pers kebebasan berekspresi secara keseluruhan.
Sumber : https://www.youtube.com/AJI Indonesia
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan