Johanes Piri : Dulunya saya kira Tionghoa itu kelompok eksklusif

117 0
Sekolah Ansos

Masyarakat Tionghoa di Tambak Bayan cukup beda dengan masyarakat Tionghoa yang saya tahu dan kenali di Surabaya. Dan juga mungkin umumnya di Indonesia. Saya pribadi selalu berpandangan bahwa orang Cina atau etnis Tionghoa itu pasti kaya. Ini semata karena pengalaman dan lingkunganku menunjukan demikian.

 

Berkunjung ke Tambak Bayan merupakan suatu pengalaman yang luar biasa. Tambak Bayan merupakan sebuah kampung di kota Surabaya, tepatnya di kelurahan Alun-Alun Contong, Kecamatan Bubutan. Kampung ini dikenal sebagai pe-cinan lama karena warga Tionghoa yang menempatinya sudah turun temurun. Menurut pengakuan warga, mereka sekarang sudah generasi ke empat.

Tambak Bayan, menunjukan saya kenyataan sebaliknya. Tidak ada mobil yang terparkir di gang-gang, karena garasi tidak cukup seperti di beberapa perumahan. Hanya beberapa sepeda motor terparkir di samping  warung kopi. Beberapa orang warga terlihat asik ngobrol di warung-warung. Ada parkiran mobil di sana, bukan punya warga tapi milik tamu hotel  yang berdiri di tengah-tengah kampung.

Lahan parkir hotel dulunya adalah rumah warga. Warga setempat pernah berperkara dengan pihak hotel, bahkan sampai tingkat kasasi. Foto : idenera

Warga Tionghoa, Tambak Bayan dalam pandangan saya hidup sangat sederhana sekali.  Rumah mereka ada dipisahkan gang selebar 1,5 meter. Kiri-kanan gang berderet kamar-kamar seukuran kurang lebih 4×5 meter. Itulah rumah mereka, ditempati satu keluaga. Kamar-kamar ini menurut cerita warga,  dahulunya istal atau kandang kuda. Ada toilet umum yang digunakan bersama-sama. Namun yang membuat saya terpana adalah, gangnya bersih, tidak tampak sampah-sampah dan tidak kumuh seperti rumah gang sempit pada umumnya.

Pekerjaan warganya beragam, ada yang bekerja sebagai tukang kayu, serabutan, jual burung, rombeng, jualan makanan dan ada juga yang menjadi pegawai di perusahaan maupun lembaga pemerintahan.  Pak Seno, Ketua RT mengatakan dahulunya pekerjaan mayoritas warga di sini tukang kayu.  Saat ini hanya tersisa dua keluarga yang melajutkan usaha tukang kayu. Selebihnya serabutan dan berjualan makanan dan sebagainya. “ Kalau ada kerjaan ya dikerjakan, kalau tidak ada ya santai dulu, sambil cari kerjaan lainya” kata pak Seno, yang merupakan generasi ke empat di kampung ini.

Pintu masuk ke gang-gang rumah warga di Tambak Bayan. Tampak pula papan tanda program pemerintah Kota Surabaya untuk perbaikan sarana sanitasi warga. Foto : Idenera

Bila rerata warga etnis Tionghoa memiliki toko kecil maupun superbesar seperti di mall-mall bahkan perusahaan nasional maupun multi nasional. Makan di restoran-restoran mahal, tinggal di perumahan elit hingga mengisi parkiran-parkiran gereja dengan mobil mewah. Apa yang saya jumpai dan temui di sini sangat kontras. Tidak terbayangkan dan diluar dugaan saya tentang  kehidupan etnis Tionghoa seperti yang selama ini saya ketahui.

Manusia itu hidup dengan cara yang berbeda-beda.  Cara dan tujuan mereka sendiri, itu yang muncul di benak saya selama disana.  Tambak Bayan telah memberikan pelajaran, minimal kepada saya pribadi bahwa tidak semua orang Tionghoa itu kaya. Ini juga bantahan telak terhadap pandangan “orang Cina itu pasti kaya”. Pengalaman perjumpaan ini, sedikit-demi sedikit mengikis cara pandang saya yang mungkin keliru bahkan salah selama ini.

Pak Seno, Ketua RT Tembak Bayan (Baju putih, ke-2 dari kiri) dan Mas Gepeng -Liem Kim Ho ( Baju putih, pertama dari kanan), menemani teman-teman dari Nera Academia saat belajar di Tambak Bayan. Foto : Idenera

Terkait relasi sosial, ada temuan menarik yang saya dapatkan. Saya termasuk orang yang menganggap orang Tionghoa itu eksklusif dan tidak berbaur dengan warga kebanyakan. Pendapat saya ini akhirnya terbantahkan. Warga di Tambak Bayan hidup berdampingan, tentram, damai dan harmonis. Warga  Tionghoa bertetangga  dengan orang Madura dan Jawa. Seakrab mereka saat nongkrong ngopi di warung, diselingi misuhan dan guyonan khas suroboyoan.

Beragam kepercayaan dan agama ada di Tambak Bayan, dari konghucu, islam, budha, kristen dan juga katolik.  Terjalin pula relasi kekeluargaan antar etnis dari perkawinan diantara warga. Hal yang tidak kalah menarik adalah bahasa mereka sama  yaitu “suroboyoan” kadang diselingi madura.  Bahasa Jawa suroboyoan, dengan logat suroboyoan kental, tidak terdengar sama seperti yang di mall-mall dan kampus swasta elit di Surabaya.

Tambak Bayan itu  Pancasila. Kira-kira itu yang saya dapatkan selama disana.  Kehidupan di Tambak Bayan juga mengajarkan, tidak semua yang kita dengar, baca dan tonton itu benar adanya. Terkadang tuduhan, rasa benci, iri bahkan sentimen negatif  ada karena kita men-judge hanya berdasarkan asumsi dan  informasi yang tidak jelas. Berjumpa, bertemu ngobrol sambil ngopi itu sarana belajar yang baik. Dialog setara tanpa curiga akan memberikan gambaran baru dan utuh tentang realitas. Sebab setiap orang lahir dan hidup di tengah masyarakat dengan latar belakang, tujuan dan keyakinan yang berbeda-beda. Realitas ini tidak bisa disangkal dan untuk itu saya berterimakasih  ke warga Tambak Bayan. Terimakasih telah   menunjukan sejatinya hidup jadi 100 persen Indonesia.

*Johanes Piri, Partisipan Sekolah ANSOS 2017. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya.  Anggota Resimen Mahasiswa  Satuan 834 Universitas Dr.Soetomo Surabaya.

** Tulisan ini merupakan bagian dari proses sekolah Ansos, setiap partisipan menuliskan pengalaman perjumpaanya dengan komunitas belajar  yang kemudian menjadi sumber pendalam untuk materi-materi sekolah ansos. Atas persetujuan partsipan, tulisan-tulisan mereka akan dipublikasikan secara berkala di www.idenera.com dan disunting seperlunya oleh redaksi.

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *