Michael Andrew : Kegalauan Identitas Pemuda Tionghoa-Indonesia

159 0

Pada tahun 2012 saya pertama kali pergi ke negeri jiran yakni Malaysia. Kala itu saya sedang liburan bersama dengan keluarga. Ada pengalaman unik pada waktu turun dari pesawat lalu masuk ke ruang klaim bagasi untuk ambil koper kami. Berbagai pegawai bandara yang notabene orang-orang Melayu mengajak saya dan keluarga berbicara dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, betapa mereka terkejutnya apabila mereka mendengar ketika saya berbicara dalam bahasa Indonesia dialek Surabaya. Sempat salah satu dari mereka, terutama petugas imigrasi yang biasa stempel mengajak saya berbahasa Melayu, “Apakah awak (Anda) ini orang Indonesia?” Saya jawab, “Betul, saya orang Indonesia. Mengapa Anda bertanya begitu?” Lantas ia menjawab, “Bukankah you punya muka adalah muka orang Cina? Kenapa tidak cakap (berbicara) bahasa Cina tapi cakap bahasa Melayu (maksudnya Indonesia)? Sebab orang-orang Cina di Malaysia nih mereka cakap bahasa Cina. Apabila ia jumpa dengan orang Melayu atau orang India barulah ia cakap bahasa Melayu atau Inggris”. Mendengar pernyataannya saya hanya bisa mengangguk seraya penasaran apakah betul yang ia katakan kepada saya.

Baca juga : Dibalik terbitnya buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”, Aku berlutut di hadapan Cino Suroboyo

Dari bandara saya dan keluarga menuju ke tempat penginapan naik transportasi umum. Di transportasi itu saya bertemu dengan orang-orang Tionghoa Malaysia yang memegang paspor bersampul warna merah lengkap dengan lambang negaranya. Mereka berbahasa Tionghoa dengan sesamanya yang Tionghoa sambil sesekali ada yang berbicara dengan dialek Hokkian dan Kwantung. Dalam transportasi umum itu saya pribadi mengamati pinggiran jalan-jalan yang terdapat toko-toko maupun restoran yang multi-bahasa, salah satunya adalah bahasa Mandarin. Aksara Mandarin tampak cantik berbaris dan hidup berdampingan di antara aksara-aksara bahasa lain yakni Tamil (India), Melayu, dan Inggris. Bagi saya pribadi pemandangan ini adalah pemandangan yang sangat unik sebab di Surabaya kebanyakan bahasa yang digunakan di jalanan adalah bahasa Indonesia atau agar kelihatan “lebih internasional” menggunakan bahasa Inggris.

Setibanya di tempat penginapan saya disambut kembali dengan menggunakan bahasa Inggris oleh resepsionis yang adalah orang Melayu. Sayapun menjawabnya dengan menggunakan bahasa Inggris juga. Karena mengetahui bahwa saya berwajah Tionghoa maka ia meminta tolong kepada temannya yang seorang Tionghoa-Malaysia melayani saya dan keluarga. Betapa kagetnya petugas resepsionis yang seorang Tionghoa-Malaysia yang melihat kami tidak bisa berbahasa Mandarin malah justru bisa berbahasa Melayu (Indonesia). Akhirnya kami berbincang dalam bahasa Melayu campur bahasa Inggris.

Perjalananpun kami lanjutkan ke berbagai tempat terkenal, salah satunya adalah ke salah satu mall di daerah Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Di sana saya dan keluarga masuk dan keluar dari satu toko ke toko lain. Sampailah pada suatu toko yang mana di sana saya tertarik untuk membeli barang tersebut. Pertamanya kami disambut dan diajak bicara oleh pemilik toko dengan menggunakan bahasa Mandarin. Lalu dengan sopan saya menjawab, “Duìbùqǐ, wǒ bù huì shuō zhōngwén (不起,我不會說中文) yang artinya: “Mohon maaf, saya tidak bisa berbahasa Tionghoa”. Lantas sang pemilik toko bicara dalam bahasa Inggris. Tak lama kemudian ia memanggil seorang pegawainya yang merupakan seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan alasan memudahkan transaksi. Kala itu perasaan saya campur aduk. Di satu sisi saya senang sebab saya dapat bertransaksi di sana dengan mudah apalagi pegawai tersebut ternyata sama berasal dari salah satu kota di Jawa Timur sehingga ketika saya berbahasa Indonesia campur Jawa dialek Surabaya ia masih dapat mengerti. Di sisi lain saya merasa galau sebab saya dan keluarga adalah keluarga Tionghoa-Indonesia dan hanya karena tidak bisa berbahasa Mandarin maka kami tidak lagi dilayani oleh si boss yang notabene seorang Tionghoa-Malaysia.

Ternyata perlakuan yang sama juga kami alami di berbagai tempat lain walaupun tidak semua orang Tionghoa-Malaysia demikian. Hanya alasan tidak bisa berbahasa Mandarin, maka kami sekeluarga seolah tidak dihiraukan lagi oleh si boss. Akan tetapi, di sisi lain justru orang-orang Melayu merasa kami adalah “serumpun” karena bisa berbahasa Melayu dan bagi mereka orang Tionghoa-Indonesia yang lain adalah orang-orang Tionghoa yang unik karena kami tidak berbicara Mandarin melainkan berbicara dalam bahasa Indonesia. Justru di sinilah titik galau dari identitas seorang Tionghoa-Indonesia. Di negeri sendiri seorang Tionghoa-Indonesia seringkali masih memeroleh diskriminasi oleh sebagian suku tertentu sementara di negeri jiran seperti Malaysia justru sebagian orang-orang Tionghoa-Malaysia seolah menanggap apabila orang-orang Tionghoa-Indonesia bukanlah seorang Tionghoa hanya karena tidak bisa berbahasa Mandarin.

 

Kegalauan Identitas Pemuda Tionghoa-Indonesia

Fenomena di atas membuat saya untuk berpikir ulang. Memang tidak semua orang Tionghoa-Indonesia yang perduli akan hal semacam itu alias memilih untuk bersikap cuek. Akan tetapi, justru di sini saya kembali teringat di masa kecil saya yang mana di sekolah saya terdapat bahasa Mandarin justru saya dan teman-teman saya berpikir untuk apa memelajari bahasa Mandarin ini dengan alasan karena kami sehari-hari berbahasa Indonesia dan Jawa dialek Surabaya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran tersebut muncul karena “berhasilnya” rezim Soeharto yang melarang generasi sebelum tahun 1998 untuk tidak berbicara Mandarin. Pelbagai cara dilakukan termasuk munculnya paksaan untuk memindah nama dari nama Tionghoa menjadi nama Indonesia termasuk larangan penggunaan bahasa Mandarin juga membentuk didikan banyak orang kelahiran 1960 hingga 1970 melarang anak-anaknya yang notabene kelahiran 1980 hingga 1990an untuk tidak berbicara dalam bahasa Mandarin. Tentunya hal ini sangat memrihatinkan dan merugikan banyak orang, terutama suku Tionghoa. Kejadian tersebut berimbas bagi pemuda Tionghoa-Indonesia kelahiran 1980 hingga 1990an tersebut.

Dalam perkembangannya memang sebagai contoh saya dan teman-teman Tionghoa-Indonesia kelahiran 1990an tidak lagi bisa berbahasa Mandarin. Syukur kepada Tuhan apabila sejak tahun 2000an ke atas tatkala Alm. Presiden Abdurahman Wahid (biasa disapa Gus Dur) mengeluarkan suatu keputusan untuk mengembalikan kembali hak-hak warga Tionghoa-Indonesia ini. Akan tetapi, hingga saat ini seringkali isu-isu SARA juga terasa dalam hidup bermasyarakat. Sebagian pemuda Tionghoa-Indonesia tentunya pernah mengalami suatu gurauan ataupun kasus serius mengenai identitas mereka masing-masing. Misalnya saja, “Hei Cino! Piye kabarmu?” (artinya: Hei, Tionghoa. Apa kabarmu?”). Hal-hal semacam itu masih terjadi dalam kehidupan bermasyarakat kita sehingga para pemuda Tionghoa-Indonesia tergolong dalam disparitas (jurang pemisah) yang jauh dengan pemuda non-Tionghoa-Indonesia. Hal itu juga akhirnya membentuk polarisasi antara kutub pemuda Tionghoa-Indonesia dengan berbagai cap negatif di mata pemuda non-Tionghoa-Indonesia sekaligus terbentuknya kutub pemuda non-Tionghoa-Indonesia dengan berbagai cap negatif juga dari pemuda Tionghoa-Indonesia tersebut.

Di dunia luar Indonesia, misalnya saja Malaysia dan sebagian di Singapura, orang-orang Tionghoa di sana sangat memerhatikan bahasa sebagai identitas mereka. Bagi saya mungkin mereka juga hidup rasis antara satu suku dengan suku lainnya. Hal itu saya rasakan dan pahami setelah mengalami perjumpaan dengan orang-orang Tionghoa di Malaysia dan Singapura. Ketika mereka mengetahui bahwa saya dan keluarga saya berbicara dalam bahasa Indonesia, sebagian mereka langsung mengganti dengan bahasa Inggris atau mereka seolah memiliki cap bahwa orang Tionghoa yang tidak bisa berbahasa Mandarin adalah orang Tionghoa yang berasal dari Indonesia atau Filipina. Sementara di sisi lain, mereka selalu mendorong dan tidak jarang juga melatih untuk berbahasa Mandarin. Mereka beranggapan bahwa saya dan keluarga memiliki wajah dan darah Tionghoa maka adalah perlu untuk memelajari kembali bahasa Tionghoa.

 

100% Tionghoa 100% Indonesia

Sampai di sini mungkin apa yang saya alami adalah sekelumit dari identitas pemuda Tionghoa-Indonesia. Di satu sisi saya dan pemuda Tionghoa-Indonesia masih mengalami diskriminasi dalam negeri oleh orang-orang sebagian non-Tionghoa-Indonesia. Di sisi lain, saya dan pemuda Tionghoa-Indonesia membuat bingung orang lain, terutama orang-orang Tionghoa-Indonesia di negeri-negeri jiran Indonesia sehingga mereka ragu untuk mengakui identitas Tionghoa kami. Akan tetapi, salah satu hal yang berkesan dari perjalanan ke sekian saya dan keluarga ke Malaysia dan Singapura, ada seorang Tionghoa yang berkata kepada saya bahwa belajar dan berbahasa Mandarin itu juga penting, bukan karena urusan perdagangan, tetapi juga untuk urusan identitas. “Bagaimanapun sebagai orang keturunan Tionghoa (海外 Hǎiwài huárén) memang kita disebut sebagai perantau (人- huárén), tapi dalam kewarganegaraan tetaplah kita warga negara masing-masing. Kamu warga negara Indonesia, saya warga negara Malaysia. Otomatis kamu tetap disebut sebagai orang Indonesia (印尼人– Yìnní rén) dan saya juga disebut sebagai orang Malaysia (馬來西– Mǎ lái xī yǎ rén). Sebagai pemuda Tionghoa-Indonesia (印尼人- Yìnní huárén), tidak ada salahnya juga untuk belajar Mandarin di situasi Indonesia zaman sekarang ini sekaligus tetap menjadi seorang Indonesia.”

Baca juga : Adven Sarbani : Jadi China Itu Biasa Saja, Apa yang Istimewa ?

Mendengar nasihat beliau saya menjadi berpikir untuk tetap setia menjadi seorang Indonesia walaupun identitas saya secara darah adalah darah Tionghoa. Hal ini saya sadari sebab sebagai orang Tionghoa-Indonesia hendak kembali ke Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok) atau ke Taiwan dan sekitarnya tentunya hal itu adalah hal yang mustahil. Adalah penting bagi setiap pemuda Tionghoa-Indonesia untuk kembali mendalami identitas kesukuannya tanpa harus menjadi fanatisme berlebihan. Mendalami keunikan bahasa, budaya, dan lain-lain terkait dan bagaimana kontekstualisasinya di Indonesia.

Maka perjuangan yang patut diperjuangkan adalah perjuangan yang ada di Indonesia juga. Memang selama ini saya juga mengamati apabila kebanyakan teman-teman seusia saya (kelahiran 1980-1990an) tidak menyukai dunia politik, pemerintahan, dan lain-lain karena imbas dari politik Orde Baru sehingga ada polaritas bahwa orang Tionghoa adalah mengurusi di bidang perdagangan, ekonomi, dan lain-lain sementara di bidang politik, pemerintahan, dan sejenisnya diurusi orang-orang non-Tionghoa. Tentunya polaritas seperti ini adalah polaritas yang “tidak sehat” oleh karenanya kita semua sebagai masyarakat Indonesia, baik Tionghoa maupun non-Tionghoa, berkontribusi positif untuk Indonesia. Hal konkret yang perlu dilakukan tidaklah harus sesuatu yang muluk-muluk, misalnya saling hadir dalam pagelaran kebudayaan, mengikuti diskusi lintas agama dan golongan, dan lain-lain. Di sisi lain pemuda Tionghoa-Indonesia juga dapat belajar kembali bahasa Mandarin, bahkan kalau perlu juga dapat memelajari siapakah sebenarnya orang Tionghoa itu dan apa keunikannya apabila dibandingkan dengan orang Tionghoa-Indonesia. Tentunya sampai di sini tampak bahwa pemuda Tionghoa secara ideal tidak lagi harus galau tentang identitasnya melainkan move on ke arah yang lebih rasionalistik demi kebaikan bersama, yaitu 100% Tionghoa dan 100% Indonesia.

*Oleh : Michael Andrew,  lulusan S1 Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya. Aktif di Insitute for Syriac Culture Studies (ISCS) dan Roemah Bhinneka Surabaya. No. HP : 087852689595 (XL), 081336214515 (Simpati). Email : mikephilos95@gmail.com (utama), suryoyomichael08@gmail.com

**Naskah ini diterbitkan dalam buku “Ada Aku di Antara Tionghoa Indonesia”.  Atas kesepakatan, dipublish melalui www.idenera.com  sementara waktu untuk kepentingan kegiatan Bedah Buku yang akan diselenggarakan tanggal 10 April 2018. 

*** Mohon untuk tidak membagikan link dan atau meng-copy sebagian atau seluruh teks ini kerena terikat hak cipta pada penerbit.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *