Invocatio Dei dalam makna kesalehan merujuk pada sikap batin “yang memanggil” Allah untuk menjadi dasar, penyelenggara dan tujuan hidup si penghayat doa/kesalehan. Dalam dunia politik, invocatio dei merupakan prinsip yang memberi rujukan pada Allah dalam konstitusi, dimana Konstitusi didasarkan “atas nama” Allah.
Dalam pembukaan konstitusi kita tertulis “atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa……………………….maka Bangsa Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.” Konstitusi Indonesia menegaskan, Negara berdasar pada “invocatio dei,” sementara pada sebagian negara sekuler Allah hanya disebutkan dalam konstitusi (Nominatio Dei).
Agama dan negara dalam negara-negara sekuler sudah dipisahtegaskan. Sistem kerja politik pemerintahan tegas dipisahkan dari agama yang bekerja dalam ranah kesalehan. Negara bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan umum sementara agama bertujuan untuk memperjuangkan kesejahteraan akhirat melalui tapak-tapak kesalehan hidup.
Dalam konstitusi Indonesia, Allah menjadi dasar meng”ada”nya bangsa yang ditegaskan melalui konstitusi, juga dalam sila pertama Pancasila “Ketuhanan yang Maha Esa,” prinsip tauhid yang diunduh dari ajaran agama-agama monoteis (Yahudi, Kristen dan Islam). Invokasi Allah dalam demokrasi kekinian memunculkan perpaduan dan perjumpaan antara identitas agama dan identitas sekuler entitas yang bernama negara. “Yang sakral” dan “Yang Profan” berjumpa dalam ranah yang bernama politik elektoral.
Legitimasi Amanah
Dalam sebuah talkshow televisi, seorang bakal calon presiden menegaskan, presiden Indonesia pada tahun 2019 adalah “amanah” dari Allah. Ini menandaskan prinsip bahwa Allah-lah yang menentukan seseorang menjadi pemimpin atau tidak menjadi pemimpin, menjadi presiden atau sebaliknya.
Hal serupa juga menjadi kalimat politik sebagian besar calon bupati yang ikut bersaing pada Pilkada 27 Juni 2018 mendatang. “Kalau Allah memberi amanah, maka kami akan melakukan ini dan mengerjakan itu.”
Allah dalam segala kerahiman-Nya yang tidak memihak dalam pertarungan kekuasaan dipanggil turun menjadi imanen dan menjadi dasar legitimasi dari kemenangan ataupun kekalahan dalam kontes Pilkada. Kehendak para pejuang kekuasaan itu diberi rujukan pada Allah yang kemudian memberi legitimasi pada keyakinan bahwa kekuasaan itu ditentukan pada kehendak Allah, bukan kehendak manusia.
“Tujuh Tangan”
Sebagian orang berkeyakinan bahwa ada fenomena tujuh tangan yang akan menentukan apakah seseorang menang atau kalah dalam perhelatan politik. Fenomena “Tujuh Tangan” itu diantaranya; “Tangan Allah, garis tangan, tangan rakyat, tangan pihak ketiga, tangan terbuka dan ringan tangan serta tidak berpanjang tangan.”
Allah dalam keyakinan sebagian pihak menjadi tangan arkais dalam kelahiran kekuasaan. Namun, argumen ini menjadi sangat kontradiktif. Bagaimana kalau demokrasi melahirkan kekuasaan yang membunuh, menindas, merusak alam, korup dan bertindak sewenang-wenang?
“Apakah kekuasaan yang demikian menjadi campur tangan Allah?”
Soal garis tangan pun sama. Sebagian pihak berkeyakinan bahwa menjadi pemimpin yang memegang tampuk kekuasaan (cau landuk, lonton siri bongkok) itu adalah garis tangan dimana “amanah” yang sudah dilegitimasi atas nama Allah itu sudah ditakdirkan sejak pra nalar, pra sadar, pra kognitif, purba.
Kekuasaan itu seperti dalam tradisi antik seolah-olah sudah ditentukan menjadi nasib/takdir, artinya sesengit apapun perebutan kekuasaan dan perjuangan memenangkan hati pemilih dalam kontestasi politik, namun toh sudah ada pemenangnya karena roh nenek moyang dan alam semestalah yang menentukan seseorang menjadi pemimpin.
Tangan ketiga yang diyakini menjadi penentu dalam kelahiran pemimpin adalah “tangan rakyat atau suara rakyat.” Ada adagium antik, “suara rakyat adalah suara Allah.” Semangat ini kemudian dikonversi dalam semangat mayoritas, seolah-olah suara mayoritas adalah suara Allah. Bagaimana kalau suara mayoritas itu melahirkan pemimpin yang kemudian korup dan menindas? Mengingat, kekuasaan itu selalu tergoda untuk korup. Apakah kemudian, Allah menjadi penangungjawab atas perilaku korup dari pelaku kekuasaan yang terpilih?
Dalam fenomen politik elektoral tangan lain yang tidak kalah penting adalah “tangan pihak ketiga.” Bantuan pihak ketiga baik dalam dukungan teknis maupun dana menjadi salah satu sokongan penting dalam pencapaian kekuasaan. Yang menjadi soal, manakala tangan teman yang acapkali disebut “the third party” atau pihak ketiga kemudian menjadi kekuatan tak kelihatan yang menyetir kekuasaan. Artinya, tangan ketiga membuat pemimpin yang lahir dari kontes pemilihan menjadi tidak otonom, yang membuat roda kekuasaanya diatur dan diarahkan oleh kekuatan tidak kelihatan selain kehendak publik.
Fenomen lain yang tidak kalah berpengaruh adalah “tangan terbuka dan ringan tangan.” Sebagian pihak meyakini bahwa untuk memegang tampuk kekuasaan membutuhkan investasi sosial berupa tangan yang terbuka melakukan kerja publik dan tangan yang siap membantu kaum mayoritas yang acapkali dilupakan kekuasaan. Dengannya, si calon atau pasangan calon akan mudah meraih popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas. Kalau tangannya terbuka dan ringan untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan publik niscaya pendakian kekuasaan menjadi perkara mudah.
Fenomen calon pemimpin ringan tangan dan tangan tampak sangat memikat massa milenial yang konon haus akan perubahan. Walau, kadangkala publik gelap mata, bantuan berbentuk investasi calon pemimpin bisa saja berasal dari transaksi gelap. Sebagian pihak meyakini, lebih baik mencuri untuk kepentingan banyak orang daripada mencuri untuk kepentingan diri sendiri. Tidak heran, saat seorang politisi duduk di kursi pesakitan lantaran dituduh korupsi, kumpulan massa pun dimobilisasi untuk menunjukan dukungan bahkan doa.
Apakah lebih benar mencuri untuk kepentingan banyak orang khususnya kepentingan orang-orang miskin, ketimbang mencuri untuk kepentingan jabatan dan kepentingan ego?
Fenomen “tangan ketujuh” yang tidak kalah berpengaruhnya adalah “tidak panjang tangan.” Dalam “Dasa Titah” atau Dekalog yang menjadi dasar etika Yudaisme antik disebutkan “Jangan mencuri” (Bdk. Kitab Keluaran 20:1-17; Ulangan 5:4-21). Pada sebagian tradisi kekristenan, hukum ini diberi nomor urut ketujuh.
Pemimpin yang fenomenal karena tampakan publik yang memiliki “tangan terbuka” dan “ringan tangan” memang menjadi sangat terkenal (populis) dan diterima sebagian besar publik. Namun, ketika sang pemimpin atau calon pemimpin tersangkut perkara korupsi, maka sebagian pendukung buang handuk dan mundur pelan-pelan. Itu berarti, faktor kualitas diri menjadi jejak rekam yang menentukan apakah publik kemudian memilih yang bersangkutan menjadi pemimpin atau tidak.
Kualitas diri itu terungkap dalam perilaku hidup etis dan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan egonya. Pemimpin yang korup membuatnya ditinggalkan massa pendukung. Dengannya, larangan “mencuri” seperti dalam etika antik Yudaisme menjadi relevan dalam kontestasi elektoral.
Apakah sapu kotor bisa digunakan untuk membersihkan lantai yang kotor? Tentu tidak. Butuh sapu bersih untuk membersihkan lantai yang kotor. Dan contoh yang baik harus ditunjukan oleh para calon pemimpin.
Pada linimassa media sosial dan juga pada berita-berita televisi, kita sering melihat bagaimana politik identitas dimainkan para pendaki kekuasaan. Identitas SARA (suku, agama, ras) menjadi jualan para politisi untuk mendulang dukungan suara mayoritas. Tidak sedikit politik identitas menimbulkan konflik dan gesekan di tengah masyarakat. Tersinggung dan saling melaporkan ke Kantor Polisi menjadi gejala-gejala yang terus dipertontonkan kepada publik.
Sentimen dan “rasa tersinggung” menjadi lahan eksploitasi emosi mayoritas oleh para pendaki kekuasaan untuk meraih kemenangan. Soal ini akan menjadi-jadi manakala tidak ada pemilahan tegas antara agama dan negara dalam kehidupan Republik. Akhirnya, saat kekuasaan memanggil “Allah” itu berarti ia menjalankan politik yang tidak memihak pada yang jahat dan menolak kezaliman. Politik dengan prinsip “takut akan Tuhan” menyebarkan kerahiman yang didalamnya terkandung pengampunan.
Tinggalkan Balasan