Kelas Tunas, Nera Academia telah mejalankan program pendampingan anak-anak dan remaja selama tiga tahun. Salah satu program pendampingan itu diselenggarakan di Rusunawa Jemundo yang berlokasi di Pasar Induk Puspa Agro, Sidoarjo.
Rusunawa Jemundo merupakan tempat tinggal sementara penyintas tragedi sosial keagamaan dari Sampang, Madura. Para penyintas telah menempati rumah susun milik pemerintah ini selama enam tahun.
“Kegelisahan terbesar kami bukan hanya tentang kapan pulang ke kampung halaman. Namun bagaimana mempersiapkan masa depan dan pendidikan anak-anak di sini,“ kata Siti Rohma, penyintas yang aktif mendorong program pendidikan bagi anak-anak penyintas.
Bagi Rohma, rangkaian permasalahan sosial dan ekonomi yang dialami penyintas membuat mereka kesulitan dan kebingungan mengurusi pendidikan dasar anak-anaknya.
“Walaupun adik-adik dalam dua tahun terakhir sudah sekolah formal, tapi mereka ketinggalan jauh dalam hal mendasar seperti baca, tulis dan berhitung ,“ jelasnya.
Rohma bersyukur masih ada komunitas yang mau secara rutin datang menemani proses belajar adik-adiknya.
“Satu-satunya kelompok relawan yang rutin datang belajar bersama kami ya, teman-teman dari Kelas Tunas, Nera Academia. Ada kelompok lain yang datang dan pergi namun tidak rutin,“ ungkap Rohma.
Joana Liani, Manager Kelas Tunas Nera Academia mengatakan program ini berlanjut karena ada respon baik dari warga.
“ Sejak tiga tahun lalu Nera Academia fokus intervensi sektor pendidikan dasar dan pendampingan peserta ujian nasional,” kata Liani.
Liani mengakui, tidak mudah bagi Nera Academia mempertahankan dan menjalankan Kelas Tunas di Jemundo. Selain karena jaraknya cukup jauh dari Surabaya, tidak semua orang mau menerima perbedaan keyakinan warga penyintas.
“ Tantangan program ini terkait relawan. Jarang ada relawan yang mau berkomitmen jangka panjang,“ jelasnya.
Liani menjelaskan bahwa program Kelas Tunas Nera Academia bukan program kunjungan sewaktu-waktu atau berdasarkan momen. Program ini berbasis pendampingan pendidikan jangka panjang yang mengikuti durasi semester di sekolah.
“ Seorang relawan Kelas Tunas minimal harus berproses selama satu semester atau enam bulan secara rutin. Lebih baik lagi kalau satu tahun ajaran,” kata Liani.
Namun Liani bersyukur masih banyak orang muda yang mau jadi relawan Kelas Tunas.
Ade Yolanda misalnya, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya ini telah bergabung sebagai relawan kelas tunas selama satu tahun.
“Mendampingi adik-adik di Jemundo itu ada susahnya, tapi banyak senangnya juga. Tantangan paling berat itu jaraknya jauh dan harus rutin, namun pengalaman berjumpa dengan teman-teman membuat saya banyak belajar,“ kata Ade.
Ade dan beberapa relawan pada tahun ini ditugaskan sebagai Tim Rekrutmen Relawan Kelas Tunas. Ia mengaku senang karena masih banyak mahasiswa dan orang muda yang mau jadi relawan.
“Hasil rekrutmen ketiga ini ada 15 orang yang mendaftar, tapi yang sanggup untuk berproses lebih lanjut untuk sementara 6 orang. Pendaftarnya ada mahasiswa, karyawan dan bahkan siswa SMA ,” jelas Ade.
Ahmad Irfan Alfaruqi, staf STKIP Al Hikmah Surabaya juga ikut mendaftar sebagai relawan Kelas Tunas tahun 2019 ini. Setelah mengikuti proses wawancara dan orientasi kelas, ia memantabkan diri untuk ikut mendampingi anak-anak yang akan mengikuti ujian nasional tahun 2019.
“ Saya memantabkan diri bergabung sebagai Relawan Kelas Tunas untuk melanjutkan estafet dakwah yang telah saya terima selama kuliah di bidang pendidikan,” jelas Irfan.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan