Dewasa ini, kehidupan masyarakat masih diwarnai berbagai penindasan. Masyarakat lemah seingkali menjadi korban ketidakadilan. Kesejahteraan sosial hanya menjadi sebuah ‘omong kosong’ yang tidak ada artinya. Tentunya, wacana kritis perlu dibentuk supaya berbagai penindasan yang dialami oleh masyarakat bisa disuarakan.
Musik reggae menjadi salah satu upaya untuk membentuk wacana kritis. Lirik musik reggae yang menyuarakan kritik sosial menjadi kekhasan tersendiri. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan membahas tentang wacana kritis yang dibentuk dalam musik reggae.
Lirik Kritik Sosial dalam Musik Reggae
Banyak musisi reggae baik dari luar negeri maupun dari Indonesia menyampaikan pesan kritik sosial melalui lagu yang dibawakannya. Musisi Steven & Cocunut Treez juga menyampaikan pesan kritik sosial dalam sebuah lagu. Penggalan lagu ini dari Steven &coconut Trezz ini menunjukkan isu sosial:
Ku ingin nyanyikan lagu//Buat orang orang yang tertindas//Hidup di alam bebas//Dengan jiwa yang terpapas//Dengan jiwa yang terpapasKenapa harus takut pada matahari//Kepakkan tangan dan halau setiap panasnya//Kenapa harus takut pada malam hari//Nyalakan api dalam hati usiri segala kelamnya//Aku ingin nyanyikan lagu//Bagi kaum kaum yang terbuang//Kehilangan semangat juang//Terlena dalam mimpi panjang.[1]
Musik reggae yang seringkali berisi isu-isu sosial bisa ditelusuri melalui akar msuik reggae yang berasal dari Jamaika. Kolonialisme Spanyol dan Inggris pada abad ke-16 memusnahkan suku Arawak yang merupakan suku asli Jamaika, kemudian digantikan oleh ribuan budak belian berkulit hitam dari daratan Afrika. Budak-budak tersebut dipekerjakan pada industri gula dan perkebunan yang bertebaran di sana. Sejarah kelam penindasan antar manusia pun berlangsung selama lebih dari dua abad. Pada tahun 1838 praktik perbudakan tersebut dihapus, yang diikuti pula dengan melesunya perdagangan gula dunia. Di tengah kerja berat dan ancaman penindasan, kaum budak Afrika memelihara keterikatan pada tanah kelahiran mereka dengan mempertahankan tradisi. Mereka mengisahkan kehidupan mereka di Afrika dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming) sederhana.[2]
Musik Reggae sebagai Wacana Kritis
Melalui teori kritis, Hokheimer ingin memperjuangkan terwujudnya masyarakat yang mempunyai dasar rasional. Ia memiliki tujuan untuk memperjuangkan emasnipasi manusia dari relasi-relasi kemasyarakatan yang memperbudak. Ia menyadari bahwa masyarakat saat ini kurang memiliki kesadaran kritis. Kesadaran kritis dapat dibangun melaui praksis-praksis yang tepat.[3] Musik reggae dapat menjadi praksis untuk menyuarakan berbagai penindasan yang terjadi dalam masyarakat. Lirik kritik sosial seperti dalam lagu Steven & Cocunut Treez menjadi contoh bahwa masyarakat seharusnya tidak menerima begitu saja keadaan-keadaan yang mereka alami. Sejarah musik reggae yang tumbuh dari perbudakan di Jamaika menjadi bentuk wacana kritis akan penindasan.
Teori Kritis terus-menerus mempertanyakan dinamika keadaan-keadaan. Teori Kristis mampu memahami bahwa kenyataan-kenyataan memiliki kemungkinan untuk berubah. Teori Kritis mampu meberi kritik atas realitas sosial. Teori Kritis secara tegas berpihak pada mereka yang dihisap dan ditindas. Oleh karena itu, teori kritis berangkat dari penderitaan dengan tujuan untuk mengubahnya. Teori Kritis bisa menjadi praksis pembebasan, sebagai teori.[4] Sejarah dan perkembangan Teori Kritis berkaitan dengan semangat moderinitas yang selalu menghidupi dan menuntun sejarah perkembangan peradaban Barat. Modernitas memiliki ciri dasar, yaitu kritis, berjiwa baru, bergerak maju, dan menginginkan perubahan radikal. Moderitas merupakan simbol kebangkitan rasio manusia melawan segala macam tindakan penindasan, pengekangan, pengisapan, dan pembodohan yang dipropagandakan dan didoktrinasikan penguasa sispil yang bekerja sama dengan kaum agamawan.[5]
Teori kritis yang digagas oleh Hokheimer bisa menjadi pendasaran dalam membuat sebuah lagu yang tidak hanya enak didengarkan melainkan menjadi sarana menyuarakan penindasan. Penindasan-penindasan belumlah usai. Dewasa ini masyarakat lemah juga masih mengalami penindasan. Wacana emansipasi manusia yang menjadi ciri khas modernitas belum terwujud sampai saat ini. Justru, penindasan-penindasan baru, seperti kemiskinan dan kelaparan yang dialami masyarakat kecil semakin tumbuh karena penguasaan rasio.
Masyarakat tentunya tidak ingin mengalami penindasan dan pembodohan terus-menerus. Suara penindasan harus menjadi terus disuarakan. Musik reggae yang memiliki kekhasan kritis atas kehidupan menjadi senjata untuk melawan berbagai penindasan. Kekhasan ini jangan sampai ditinggalkan. Jika musik lainnya hanya mengarah pada lirik-lirik percintaan anak muda maka musik reggae harus berada pada jalur yang bernuansa kritis. Jika musik reggae hanya ikut-ikutan dengan musik yang hanya berisi lirik percintaan anak muda maka wacana kritis tidak bisa disuarakan. Selain itu, penindasan akan terus-menerus terjadi.
Penutup
Musik tidak hanya menjadi ekspresi saja. Musik juga buka hanya sebuah pertunjukan seni yang menjadi sebuah hiburan. Musik ternyata bisa menjadi sebuah wacana kritis untuk menyuarakan kritik-kritik atas segala penindasan yang terjadi. Para musisi reggae tidak hanya identik dengan rambut gimbal dan melantunkan sebuah lagu yang berirama khas. Justru, mereka menggunakan sarana musik sebagai wacana kritis atas penindasan yang selama ini terjadi.
Teori kritis yang digagas oleh Hokheimer juga bisa menjadi pendasaran bagi para musisi reggae untuk terus-menerus menyuarakan wacana kritis. Lirik-lirik yang dilantunkan dalam musik reggae tidak ikut-ikutan dengan jenis musik lainnya. Kekhasan lirik yang bernada kritis harus dipertahankan supaya terjadi emansipasi bagi masyarakat yang lemah.
Oleh: Sebastianus Joko Purnomo, Email: sebastianjoko23@gmail.com, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Sumber:
Bertens, K., Filsafat Abad XX Inggris-Jerman, Kanisius, Yogyakarta 1983.
Saeng, Valentinus, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Gramedia 2012.
Suseno, Franz Magnis, Dari Mao ke Marcuse, Gramedia, Jakarta 2013.
http://www.wowkeren.com/lirik/lagu/steven_coconut_treez/serenada.html, diunduh pada Rabu, 17 Mei 2017 pada pukul 17.15 WIB.
http://www.indoreggae.com/artikel4.html, diunduh pada Rabu, 17 Mei 2017 pada pukul 17.25 WIB.
[1] http://www.wowkeren.com/lirik/lagu/steven_coconut_treez/serenada.html, diunduh pada Rabu, 17 Mei 2017 pada pukul 17.15 WIB.
[2] http://www.indoreggae.com/artikel4.html, diunduh pada Rabu, 17 Mei 2017 pada pukul 17.25 WIB.
[3] K. Bertens, Filsafat Abad XX Inggris-Jerman, Kanisius, Yogyakarta 1983, 182-185.
[4] Franz Magnis-suseno, Dari Mao ke Marcuse, Gramedia, Jakarta 2013, 208-209
[5] Valentinus Saeng, Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Gramedia 2012, 58-59.
Tinggalkan Balasan