Bagi generasi pecinta sastra dewasa ini, merupakan sebuah aib apabila tidak mengenal Wiji Thukul. Wiji Thukul merupakan seorang aktivis dan satrawan. Ia lahir di Sorogenen, Solo pada tanggal 26 Agustus 1963.
Wiji Thukul yang memiliki nama asli Wiji Widodo ini adalah seorang legenda dalam dunia sastra. Terutama, sastra sebagai alat perjuangan bangsa. Karya-karyanya pada tahun 1998 menghentak dan memanaskan telinga penguasa orde baru. Puisinya menyadarkan jiwa yang takut dan tertekan karena penindasan yang berlarut.
Thukul mengajak para proletar untuk bangkit bersama. Suaranya menggema, menembus zaman, tanpa badan. Dia adalah aktivis yang termasuk dalam peristiwa hilangnya para aktivis dalam peristiwa 27 Juli 1998. Dia hilang bersama belasan pejuang lainnya. Sampai sekarang, tidak pernah diketahui apa yang sebenarnya terjadi pada penyair tanpa rasa takut ini.
Baca juga : 10 tulisan terpopuler Idenera 2017
Thukul bukanlah seorang kaya raya yang hidup penuh kemewahan. Dia hidup dalam keadaan yang serba sulit. Dia pernah mengamen puisi, berjualan koran, menjadi calo tiket bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah usaha mebel. Namun, kemelaratan tidak serta-merta membelenggu hasratnya untuk melakukan perlawanan. Sebaliknya, dia semakin berapi-api untuk menuntut keadilan. Dia beberapa kali memimpin aksi massa untuk menyuarakan suaranya. Dia pernah ikut demonstrasi menentang pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Sariwarna, sebuah perusahaan tekstil asli Solo.
Thukul juga pernah memimpin aksi petani di Ngawi, yang kemudian berbuntut pada aksi pemukulan terhadap dirinya oleh aparat. Tidak hanya itu, Thukul juga harus mengalami luka parah di mata kanannya karena dihajar oleh aparat ketika memprotes PT Sritex bersama para karyawannya. Semua kekerasan yang dialamatkan padanya tidak lantas membuat Thukul menyerah. Dia terus melakukan perlawanan. Aksi protes, puisi kritik, dan karya-karya berani terus dia keluarkan. Hingga akhirnya, pada 27 Juli 1998, dia hilang dan tidak ditemukan sampai sekarang.
Baca juga : Film biopik boleh dramatis, tapi harus lebih jujur pada sejarah
Jasadnya boleh hilang dan wujudnya boleh jadi tinggal sepotong foto dengan mata kanan yang terluka. Namun, semangatnya masih terus hidup bersama para sastrawan masa kini. Di zamannya, dia telah melakukan hal-hal besar yang seharusnya dilakukan oleh sastrawan kritis. Puisinya bukan melulu soal cinta yang menentramkan. Bukan pula soal Tuhan dan segala pertanyaan tentang-Nya. Puisinya adalah lambang perlawanan, keberanian, dan semangat untuk tidak tinggal diam dalam cengkeraman penguasa.
Sumber : Puisi Wiji Thukul “Bongkar” Ditinjau Dari Perspektif Estetika Herbert Marcuse, Yohanes Bryan Sabata, Jurnal Wiweka, Vol 7.no 1 2018.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan