Sebelum pernyataan tersebut, MPR memutuskan untuk menghapus nama Soeharto dari Pasal 4 Ketetapan MPR No. 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sebelumnya, Pasal 4 tersebut mencantumkan bahwa “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga,… termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah…”
Selain itu, ada arahan dari institusi pemerintah untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September 2024, yang selanjutkan akan dikibarkan secara penuh pada 1 Oktober 2024 sebagai peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Arahan ini didasarkan pada surat edaran Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 23224/MPK.F/TU.02.03/2024.
Rangkaian peristiwa ini seolah-olah menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah melupakan apa yang terjadi lebih dari dua dekade silam. Reformasi yang diperjuangkan dengan nyawa, darah, dan keringat untuk mengakhiri kekuasaan otoriter, membangun kebebasan berpendapat, dan pemerintahan yang bersih, kini terancam oleh kekuasaan otoriter yang berdimensi tunggal. Narasi bahwa Soeharto layak menjadi pahlawan nasional, berpotensi mengubur kembali narasi-narasi korban yang telah susah payah muncul ke permukaan dan belum sepenuhnya selesai.
Soeharto sebagai Pahlawan?
Soeharto memang merupakan presiden kedua Indonesia, tetapi era kekuasaannya dikenal penuh dengan pelanggaran hak asasi manusia dan otoritarianisme. Dari pembantaian 1965-1966 yang mengorbankan ratusan ribu hingga jutaan orang yang diduga terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga berbagai pelanggaran HAM berat lainnya seperti Peristiwa Talangsari 1989, penembakan misterius di tahun 1980-an, dan penghilangan orang secara paksa menjelang akhir masa Orde Baru pada 1997-1998, menunjukkan bahwa rezim Soeharto tidak dapat digolongkan sebagai rezim yang bersih dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sebagaimana dikatakan sejarawan Bonnie Triyana, Soeharto itu tokoh bangsa (karena beliau adalah presiden kedua RI) tetapi bukan pahlawan. Untuk dianugerahi gelar pahlawan nasional, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu seperti integritas moral yang tinggi, keteladanan, serta jasa besar terhadap bangsa dan negara. Apakah Soeharto benar-benar memenuhi kriteria tersebut? Narasi yang mendukung pengangkatannya sebagai pahlawan tampaknya mengabaikan penderitaan para korban ketidakadilan yang terjadi selama kekuasaannya.
Pengibaran Bendera Setengah Tiang dan Narasi Sejarah yang Terabaikan
Arahan untuk mengibarkan bendera setengah tiang pada 30 September 2024 juga memperlihatkan ketidakpekaan pemerintah terhadap pentingnya pelurusan sejarah dan isu keterlibatan negara dalam pembantaian massal 1965-1966. Selama ini, telah banyak karya ilmiah dari akademisi seperti John Roosa, Geoffrey Robinson, Benedict Anderson, Jess Melvin, Robert Cribb, Grace Leksana dan berbagai pemikir lain yang menggugat narasi resmi tentang peristiwa tersebut.
Sejarawan Asvi Warman Adam (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa teori mengenai dalang di balik peristiwa 1965, antara lain, pertama, adanya konflik internal di tubuh Angkatan Darat antara faksi kiri, tengah, dan kanan. Kedua, kemungkinan adanya intervensi asing, terutama dari Central Intelligence Agency (CIA) yang ingin menjatuhkan kekuatan komunis. Ketiga, adanya skenario kudeta merangkak Soeharto yang setelah serangkaian kejadian kemudian melejitkan dirinya sendiri menjadi seorang Presiden. Teori-teori ini menunjukkan bahwa narasi tentang kudeta oleh PKI hanyalah salah satu narasi dari sekian narasi lain. Narasi-narasi ini masih jauh dari kata final dan perlu dikaji lebih mendalam.
Keputusan pemerintah untuk tetap memperingati 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila tanpa adanya ruang untuk meredefinisi narasi sejarah ini menjadi masalah serius. Pengibaran bendera setengah tiang tidak lagi hanya menjadi simbol penghormatan bagi mereka yang gugur, tetapi juga bisa dibaca sebagai upaya untuk mengesahkan kembali narasi tunggal yang telah dipertanyakan oleh banyak pihak.
Hantu Orde Baru: Mimpi Buruk yang Terulang?
Kejadian-kejadian ini menjadi tanda yang mengkhawatirkan akan potensi kembalinya otoritarianisme yang pernah menghantui Indonesia di masa lalu. Rezim Orde Baru dikenal dengan politik represi, di mana kebebasan berpendapat dikekang, media dikendalikan, dan orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah kerap kali dilenyapkan secara paksa. Di bawah Soeharto, siapa pun yang dianggap berbahaya bagi stabilitas politik bisa dicap sebagai komunis, ditangkap tanpa proses hukum yang adil, bahkan dihilangkan.
Jika glorifikasi masa lalu ini dibiarkan terus berkembang tanpa perlawanan, kita mungkin sedang bergerak menuju pengulangan sejarah yang sama kelamnya. Kebangkitan “hantu Orde Baru” ini tidak hanya terjadi melalui simbol dan retorika, tetapi juga melalui kebijakan yang berpotensi mengikis kebebasan sipil, melemahkan demokrasi, dan melanggengkan kekuasaan otoriter.
Ilustrasi : Lukisan karya Yayak Yatmaka yang dipamerkan di UNAIR (24/08/24). Foto: Andre Yuris.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan