Sedih dan jengkel lihat foto yang di-posting @KawanBaikKomodo di twitter. Foto itu menujukan seekor komodo berhadapan dengan truk pengangkut material proyek bangunan Wisata Jurassic Park di Pulau Rinca, yang menjadi habitat asli komodo.
Mungkin pertama kali dalam sejarah hidupnya, Komodo berhadap-hadapan dengan truk. Entah dia kaget atau terkesima. Atau mungkin membayangkan hewan raksasa baru yang invasi ruang hidupnya.
Saya berimajinasi seperti di film-film, Komodo yang tampak di foto ini adalah pengitai yang diutus kawanannya. Setelah itu dia pulang, merencanakan perlawanan semesta. Menyusun siasat untuk mempertahankan wilayahnya. Itu kira-kira yang saya imajinasikan, karena suara penolakan dari manusia sudah tidak mempan. Suara masyarakat asli pulau ini sudah tidak dihiraukan negara.
Pada masa datang tentu akan semakin banyak truk, buldoser dan genset yang meraung-raung sambil melepaskan karbon monoksida (CO) ke udara. Dimasa datang, Komodo tidak lagi hanya cium bau rumput, bangkai hewan dan laut tapi juga bau bensin, parfum dan detergen.
Komodo harus bersiap, karena berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.48/Menhut-II/2010 tentang izin pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam, akan ada investasi besar-besaran di 54 Taman Nasional di Indonesia. Taman Nasional Komodo satu diantaranya.
Taman Nasional Komodo akan kedatangan tujuh perusahaan yang diberikan Izin usaha penyediaan sarana wisata alam (IUPSWA), antara lain, PT. Komodo Wildlife Ecotourism (KWE), PT Segara Komodo Lestari (SKL) dengan SK Kemenhut No. 5.557/Menhut/II/2013 tertanggal 9 September 2013 di Pulau Rinca. Masih ada 5 perusahan lainnya yang diberi kuasa melalui SK Kemenhut No. 796/Menhut/II/2013 untuk membangun IUPSWA di Pulau Padar dan Pulau Komodo.
Pertanyaannya, dalam rangka apa bangunan beton dikebut?. Ya, ini semua demi ambisi mewujudkan Wisata Premium 10 Bali baru yang dijanjikan semasa kampaye Jokowi dulu. Ini tidak lanjut visi Presiden Jokowi.
Visi 10 Bali baru Presiden Jokowi ini digadang membawa devisa US$ 4,5 miliar setara Rp 62,7 triliun. Uang yang sangat banyak. Ini ibarat ice cream yang semua berlomba menjilat mendapatkan untung besar. Berbagai kepentingan berkelindan dan cilakanya itu-itu saja orangnya. Ice cream ini hanya untuk pemodal besar.
Proyek Jurasic Park senilai Rp67 miliar ini oleh Menko Investasi dan Maritim, Luhut Binsar Pandjaitan konon bahkan sudah ditawarkan kepada lembaga filatrophy dari Amerika untuk dikelolah layaknya wisata safari di Afrika.
Pemodal kecil, masyarakat dan pemerintah daerah bagaimana? tetesan ice cream inikan masih ada. Tapi yang namanya ice cream, secepat kilat habis dan kering. Kalau sudah kering, tinggal sesali kenapa jadi begini?
Tapi tenang, bila punya sedikit modal bisa buka pengiapan jauh dari sana, karena ditempat utama dan strategis sudah ada hotel berbintang milik orang besar. Atau buka pangkalan ojek didepan hotel berbintang, seraya berharap limpahan penumpang. Bagi Pemda, cukuplah dengan retribusi dan pajak restoran.
Bila modal tak cukup, bisa dapat apa? Klaim Jakarta ini akan buka lapangan kerja. Menyerap tenaga kerja lokal katanya, yang nanti nasibnya diatur sesuai Omnibus Law yang tak pasti itu. Sisanya, semoga Nanti Tuhan Tolong (NTT).
Proyek ini tidak hanya merusak tapi agak aneh. Brandingnya sebagai wisata Jurasic Park, tapi bukankah komodo dari era Pleistocene. Ah sudahlah, apalah arti branding. Yang penting bagi Jakarta, invetasi lancar. Bagi yang melawan, hati-hati nanti bisa “dilipat”, saya pinjam istilah Gubernur NTT saat menghadapi protes omnibus law beberapa waktu lalu.
Akan seperti apa dampak proyek ini ke depannya? Merusak bentang alam itu sudah pasti. Nasib komodo bagaimana dong? ya, dimasa datang mereka hanya ngontrak disana, karena pulau sudah dikavling. Seraya berharap semoga Nanti Tuhan Tolong (NTT) itu komodo-komodo.
Bukankah ada cara lain menghidupi pariwisata dan menarik turis?. Ada, namanya pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism). Konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Pariwisata No. 14 Tahun 2016.
Tugas negara sejatinya cukup menyiapkan infrastruktur penghubung dan aparat yang sigap serta anti korupsi. Sisanya biar komunitas warga yang upayakan agar sesuai dengan khasana setempat dan memberikan dampak yang positif bagi ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan.
Tapi, apa daya yang dipilih negara investasi pariwisata skala besar.
Apakah ini yang disebut pembangunan pariwisata? Ataukah secara sadar perlahan merusak sendi-sendi kehidupan satwa yang telah lama ada disana?
Sejatinya, belum terlambat untuk berubah. Rakyat yang melawan dan menentang ini bukan karena benci, tapi ungkapan cinta pada tanah kelahiran. Karena ini negeri kami, di sini kami bukan turis, kata Widji Tukul.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan