Berdasarkan pernyataan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa penelitian ilmu sosial di Indonesia belum memberikan kontribusi optimal bagi pembangunan bangsa (Kompas, 24 Oktober 2018, hlm.9), maka perlu dipertimbangkan untuk mendorong ilmu sosial menjadi lebih pragmatik.
Dalam gagasan John Dewey (1859-1952), intelegensi harus digunakan untuk menciptakan keadaan-keadaan yang lebih manusiawi. Dengan demikian, Ilmu sebagai hasil dari olah intelegensi, perlu ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan sosial aktual dalam hidup sehari-hari. Peran ilmu sosial yang pragmatik ini juga penting bagi terwujudnya program pemerintahan setahun terakhir ini yang hendak fokus pada pembangunan manusia.
Teori dan Praktik Sosial
Dalam ilmu sosial yang pragmatik, teori sosial selalu berangkat dari arena interaksi sosial. Teori sosial menanggapi problem-problem yang terjadi dalam interaksi di masyarakat. Katakanlah problem itu misalnya konflik agraria, minimnya jaminan kesehatan bagi keluarga miskin, ketidakadilan terhadap perempuan dan anak, kurangnya akses fasilitas publik bagi penyandang difabilitas, dsb. Teori sosial ialah seni perencanaan untuk mengatur problem-problem sosial ini sehingga dapat diarahkan pada bentuk tertentu yang diinginkan. Dengan demikian, teori sosial bukanlah bagian yang terpisah dari hidup sosial yang aktual. Teori sosial bersama dengan praktik sosial-politik merupakan rencana yang menjadi panduan dalam menentukan hal yang baik bagi masyarakat. (Osborn, 1985: 832).
Inspirasi dari Ilmu Kebijakan Publik
Ilmu kebijakan publik merupakan salah satu produk dari ilmu sosial yang pragmatik. Harold Laswell (1902 – 1978), salah satu perintis ilmu kebijakan publik, menyatakan bahwa ilmu kebijakan memiliki tugas untuk meningkatkan rasionalitas dalam proses pembentukan kebijakan. Dalam kajian kebijakan publik setidaknya ada tiga analisis yang bisa diterapkan, yaitu analisis persoalan, analisis keputusan dan analisis implementasi.
Terinspirasi dari tiga tahap analisis tersebut, menurut hemat penulis, kita dapat menemukan hubungan antara teori dengan praktik sosial. Pertama, melalui tahap analisis persoalan, fakta-fakta mengenai permasalahan yang ingin diselesaikan dikumpulkan. Kedua, tahap analisis keputusan dan produk. Berdasarkan kriteria mengenai ‘yang paling dibutuhkan masyarakat’, dibuat prioritas persoalan sosial yang hendak diselesaikan. Kemudian, melalui masing-masing metode dalam ilmu sosial, dihasilkan berbagai produk seperti kebijakan publik, naskah akademis sebagai pertimbangan dalam pembangunan infrastruktur, rekayasa sosial, pendampingan bagi kaum miskin dan tersingkir, dsb. Ketiga, melalui tahap analisis implementasi dilakukan evaluasi atas penerapan produk-produk ilmu sosial pada masyarakat. Analisis dilakukan dengan melihat keberhasilannya untuk mengatasi persoalan sosial serta keterarahannya pada tercapainya Kebaikan Bersama (Bonum Commune).
Tantangan
Setidaknya ada tiga tantangan dalam mewujudkan ilmu sosial yang pragmatik di Indonesia. Pertama, paradigma saintisme (pandangan mengunggulkan metode ilmu alam) yang begitu mengakar kuat pada masyarakat sehingga berpengaruh pada penilaian terhadap Ilmu sosial, utamanya pada penggunaan metode kualitatif yang dipandang sebagai kurang ilmiah dan terukur. Kedua, Paradigma saintisme yang menjangkiti para pemegang kebijakan sehingga mempengaruhi visi pengembangan penelitian dan pengabdian di Indonesia. Salah satu bagian dari visi Ristekdikti tahun 2015-2019, misalnya, menyatakan ‘Terwujudnya pendidikan tinggi yang bermutu…untuk mendukung daya saing bangsa’. Penguatan daya saing bangsa ini dimaknai sebagai peningkatan jumlah penelitian dan pengabdian yang diaplikasikan dalam industri (Panduan Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat di Perguruan Tinggi Edisi XII, 2018: 1). Padahal sebagaimana kita ketahui, banyak produk dalam ilmu sosial tidak ditujukan untuk dunia industri tapi memahami fenomena sosial sebagaimana adanya atau memecahkan persoalan sosial yang tidak terkait dengan dunia industri. Ketiga, paradigma pragmatik dalam penelitian ilmu-ilmu sosial seringkali disalahpahami sebagai peminggiran kajian-kajian teoritisnya. Hal ini justru mengabaikan fakta bahwa kajian-kajian ilmu sosial yang berdampak pada masyarakat juga dihasilkan dari kajian teoritisnya.
Akhirnya, Ilmu sosial yang pragmatik dapat berperan sebagai permulaan untuk menggugah gairah penelitian sosial. Namun demikian, hendaknya tidak terjebak dalam pragmatisme ilmu yang mengabsolutkan semata-mata nilai konsekuensi praktis dan kegunaan dari ilmu. Ilmu sosial ditantang untuk menjadi pragmatik yang reflektif agar ilmu tidak sekedar terserap dalam rasionalitas pasar yang kerap kali justru menjadikan mayoritas masyarakat sebagai objek penumpukan keuntungan.
Tinggalkan Balasan