Pengguna Transportasi Publik di Surabaya Merasa Tidak Puas

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Mencermati Kepuasan Pengguna Bus Transit di Tiga Kota: Apa yang Harus Dilakukan?” di Hotel Novotel Samator Surabaya, pada Kamis, 21 Desember 2023.

134 0

Pada FGD tersebut, Akademisi Fakultas Hukum UKDC, Victor Imanuel Nalle menyampaikan riset yang ia kerjakan mengenai “Pembaharuan Hukum Publik di Indonesia dalam Perspektif Transportasi Berkelanjutan”. Hasilnya, jumlah ketidakpuasan pengguna bus transit di Surabaya lebih tinggi daripada Semarang dan Yogyakarta.

“Penelitian yang kami kerjakan di Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta menunjukkan bahwa pengguna bus transit di Surabaya ‘sangat tidak puas’ terhadap jarak halte ke permukiman,” katanya.

Menurut data yang diperoleh, ia menyebutkan 30,81% pengguna bus transit di Surabaya menyatakan “sangat tidak puas” dan “tidak puas” terhadap jarak halte ke permukiman. Angka itu lebih tinggi dari Semarang yang memiliki tingkat ketidakpuasan pengguna bus transit sebanyak 15,81%.

Selain itu, Victor menyampaikan 32,23% pengguna bus transit di Surabaya menyatakan “sangat tidak puas” dan “tidak puas” terhadap kesempatan berpartisipasi dalam perencanaan transportasi publik yang dibangun. Padahal, pengguna bus transit di Surabaya begitu antusias dalam mengembangkan transportasi publik.

“Sebanyak 72,52% setuju adanya pembatasan kendaraan pribadi dan 64,46% setuju terhadap kenaikan retribusi parkir di Surabaya. Ironisnya, ketidakpuasan tertinggi terdapat pada aspek minimnya partisipasi warga dalam perencanaan (transportasi publik),” ujarnya.

Sementara, Pemimpin Redaksi Radio Braille Surabaya, Tutus Setiawan mengkritik fasilitas bus transit di Surabaya dari sudut pandang disabilitas. Ia menyoroti jumlah halte dan bus transit yang begitu minim, sehingga menyebabkan disabilitas lebih memilih pemesanan transportasi secara daring atau menggunakan ojek online.

“Sehingga, berdampak pada pengeluaran kelompok disabilitas (yang mengalami kenaikan) mencapai 30% untuk kebutuhan transportasi saja,” katanya. 

Tetapi, Tutus tetap memberi apresiasi terhadap kebijakan Pemerintah Kota Surabaya yang telah memberi tiket gratis kepada disabilitas ketika mengakses bus transit. Namun, ia mengingatkan pentingnya SOP bagi petugas bus, ketika melayani penumpang disabilitas. 

Sebab, apabila layanan dari petugas bus buruk, akan mempengaruhi tingkat ketidakpuasan disabilitas ketika menggunakan transportasi publik di Surabaya.

Penggiat Forum Diskusi Transportasi Surabaya (FDTS), Tugas Hutomo Putra melihat perencanaan bus transit di Surabaya terlalu mengikuti perspektif Barat yang menjadikan perumahan sebagai basis permukiman.

“Perencanaan rute bus transit di Surabaya mengabaikan kampung sebagai basis permukiman. Wilayah perkampungan yang padat justru dianggap sebagai wilayah kumuh dan diabaikan dalam rute bus transit,” tuturnya.

Melalui perspektif media, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Eben Haezer melihat ketidakpuasan terhadap transportasi publik tidak terlepas dari politik pembangunan yang menekankan pencitraan. Menurutnya, selama ini pemerintah memoles wajah kota di jalur utama agar Surabaya terlihat cantik bagi kelas menengah atau turis yang berkunjung.

“Jalur transportasi publik hanya melewati kawasan kota yang cantik. Wilayah pinggiran Surabaya akan terus terpinggirkan,” pungkasnya. (*)

Editor: Rangga Prasetya Aji Widodo


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *