JIKA KITA MENYIMAK pelbagai dalih yang terlontar dari mulut manis sebagaian elit yang tersangkut dalam centang perenang perkara korupsi maka kita akan mudah mendengar kalimat sakti ini, “saya tidak tahu.” Atau kalimat lain, “saya lupa,” “saya nggak kenal,” “saya tidak berkaitan dengan hal itu atau hal ini.” Padahal publik tidaklah gampang untuk dibodohi.
Contoh, mana mungkin seorang menteri tidak tahu menahu tentang proyek besar yang ditangani oleh bawahannya. Bukankah ini sebuah politik cuci tangan. Sebuah amnesia politik atau politik amnesia. Bisa jadi sebelum terlilit perkara si atasan atau si elit terlibat penuh atau sebagian dalam hal-ihwal itu, lantas post factum, setelah perkara menguak, dia melakonkan sebuah politik amnesia.
Memang tidaklah aneh jika kita mengingat sebuah pernyataan yang cukup familiar di telinga, “mana ada maling yang mengaku sebagai maling.” Pernyataan yang parallel, mana ada pejabat Negara yang terus terang bahwa ia mengambil uang Negara. Yang ada malahan pewahyuan aneka dalih politis dan juridis untuk mengelabuhi lapisan epistemik politik masyarakat Indonesia.
Politik amnesia lazim dalam sengkarut korupsi. Korupsi sebagai sebuah kejahatan massif terhadap kemanusiaan dan Negara, karena para pelaku dengan tahu dan mau mengambil seenaknya keuangan Negara yang berdampak pada penggerusan harta Negara dan kemiskinan massal negeri ini. Dan politik amnesia subur dalam tindakan korup. Pejabat biasanya dan membiasakan diri lupa akan harta Negara yang telah dirampoknya. Para elit biasanya hilang ingatan akan besarnya kerugian publik atas kecurangan yang dilakukan. Sungguh malang nasib kita. Para elit sudah semakin membodohi kita, namun di sisi lain lapisan epistemik kita seolah aman dan tidak menggubris pembodohan yang mereka lakukan.
Apa sebenarnya akar dari politik amnesia dalam perkara korupsi? Sederhana saja, “kecenderungan dasar manusia adalah menyatakan dirinya benar.” Manusia selalu berusaha memverifikasi seabrek tindakan yang dilakukan, meski tindakan itu salah baik dalam level epistemologis maupun level etis dan politis. Manusia tidak akan pernah membiarkan dirinya bersalah. Ya siapa yang rela dirinya dihakimi, diadili, meski note bene faktanya dia bersalah. Lalu, merupakan tindakan yang salah. Shortcut-nya adalah melakukan sebuah aksi melupakan, sengaja melupakan, pura-pura tak tahu padahal tahu.
Politik amnesia atau verifikasi diri adalah pengangkangan terhadap etika politik. Etika politik yang benar adalah melakukan falsifikasi diri. Yang salah mengaku salah. Yang benar dinyatakan. Hal itu bukan hal yang tak mungkin. Hanya jarang dilakukan, apalagi di Indonesia. Di Jepang, elit yang terkena kasus suap, atau terlibat korupsi dengan sendirinya akan mengundurkan diri dari jabatannya entahkah hal itu sudah diketahui publik, atau sudah dibuktikan secara hukum atau tidak. Itu berarti pengadilan etika dan moral mendahului pengadilan hukum positif dalam Negara. Itu juga menandakan bahwa hati nurani elit masih bekerja baik. Sementara dalam politik amnesia, hati nurani entah kemana.
Kecenderungan politik amnesia ini akan membuat penegakan hukum yang berhubungan dengan cita-cita tata pemerintahan yang baik akan lemah bahkan melempem. Hitung saja, kalau semua elit yang terlibat mengaku tidak tahu menau untuk menyelamatkan diri, maka berapa lama proses yang dibutuhkan untuk membuka akar sebuah kasus. Bukan hal baru bahwa penyelesaian perkara korupsi di tanah air hanya sampai pada level aktor lapangan, sementara aktor inti bebas melenggang. Itu karena politik amnesia, sebuah aksi cuci tangan politis. Proses hanya berada pada level permukaan, belum membongkar betul-betul seluk beluk persembunyian para mafia. Jika begini, publik akan semakin membenci bahkan akan menjadi apolitis. Itu dikarenakan kemuakan publik semakin menjadi-jadi. Yang ada adalah sebuah aksi parallel, yakni aksi ignorantiamassif terhadap perkara Negara. Inilah bahaya besar dari politik amnesia.
Media sebagai corong demokrasi politik partisipatoris harus semakin berani bahkan harus semakin menggila dalam menelanjangi para elit nakal kita. Sebab, media memiliki peran strategis untuk membangun pengetahuan publik yang benar akan carut marut Negara ini. Media perlu lebih proaktif dalam membongkar kebiadaban para penyelenggara Negara yang terus menggerus uang Negara. Publik akan semakin sadar, bahkan lapisan epistemiknya akan terus berbenah untuk memilih secara benar dan melakukan tindakan politis yang betul-betul rasional dan demokratis dalam menentukan para elit yang seharusnya memimpin Negara ini.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan