Alih-alih mendorong terwujudnya tata ruang dan pengelolaan sumber daya agraria yang berkeadilan, akselerasi PSN ke Merauke Provinsi Papua Selatan justru memperpanjang usia konflik agraria di wilayah tersebut. Dalam peluncuran dan media briefing laporan desk hukum Center of Economic and Law Studies (CELIOS) yang bertajuk PSN Menggerus Otsus dan Hak Orang Asli Papua memperlihatkan sejumlah masalah hukum, kelembagaan dan agraria terjadi.
Dalam penuturannya, Johny Teddy WakumKetua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Pos Merauke mengungkapkan adanya penolakan masyarakat adat di berbagai distrik, termasuk Ilwayab, Tubang, Okaba, Eligobel, Sota, Ngguti, Kaptel, Kimaam, dan Padua.
LBH Papua mencatat masyarakat adat, seperti Marga Moiwend, Gebze, Basik-Basik, dan lainnya, tidak pernah secara sukarela menyerahkan tanah mereka. Namun, proses alih fungsi lahan tetap berlangsung di atas wilayah adat.
“Kita menyerukan agar prinsip-prinsip pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat adat dijadikan prioritas dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam, khususnya di tanah Papua.” kata Teddy.
Direktur Hukum CELIOS, Mhd Zakiul Fikri, melihat ini sebagai bentuk perampasan tanah (land grabbing) yang dilakukan pemerintah bersama perusahaan. Padahal, tanah-tanah yang masuk dalam kluster PSN itu bukan lahan kosong tak bertuan (terra nullius), tetapi lahan yang dimiliki dan dikelola masyarakat adat secara turun-temurun. Setidaknya, hingga saat ini lebih dari 1 juta hektar area lahan maupun hutan di Papua Selatan terdata sebagai wilayah masyarakat adat.
“Padahal, Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 mengakui, menghormati, dan menjamin keberlanjutan masyarakat adat beserta hak-hak atas tanah adatnya. Perampasan ini juga merupakan bentuk pelanggaran hukum terhadap Pasal 28H ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang berhak untuk memiliki hak milik dan tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun, termasuk oleh negara.” kata Zakiul Fikri.
Zakiul Fikri melanjutkan bahwa hal ini menimbulkan paradoks, PSN yang diproyeksikan sebagai solusi pemerataan ekonomi tetapi masyarakat adat justru menolaknya.
“Penolakan ini tidak hanya menunjukkan lemahnya konsultasi yang bermakna dengan masyarakat adat, tetapi juga mengungkapkan persoalan serius terkait prinsip persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan atau FPIC” pungkasnya.
Sementara itu, Muhamad Saleh peneliti Hukum CELIOS menjelaskan kondisi tersebut terjadi akibat dominasi pemerintah pusat dalam pelaksanaan PSN. Dominasi itu tergambar dalam lembaga KPPIP yang menunjukkan pendekatan pembangunan secara terpusat, meminggirkan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
“Terdapat 133 peraturan sektoral di berbagai bidang yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjalankan ragam PSN di daerah. Dan, 61, 22% peraturan pelaksana UU Cipta Kerja digunakan untuk mendukung PSN di Daerah” kata Saleh.
Saleh juga menjelaskan bahwa melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (Undang-Undang No. 2 Tahun 2021), Pemerintah Pusat menghapus kewenangan pembentukan Perdasus dan Perdasi dalam urusan pemerintahan. Padahal, kewenangan tersebut memungkinkan Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan protektif untuk melindungi hak-hak masyarakat adat Papua. Dan ini mengabaikan spirit Pasal 18B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
“Sehingga, kita dapat melihat bahwa pemekaran daerah melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mempermudah praktek perampasan lahan masyarakat adat karena kekosongan hukum dalam pengaturan kawasan dan tata ruang yang disengaja” pungkasnya.
Dalam peluncuran dan media briefing tersebut hadir pula Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA), Prof. Djohermansyah Djohan. Sosok yang akrab disapa Prof. Djo itu menimpali harusnya pelaksanaan PSN di daerah yang berstatus Otsus pelaksanaannya menyesuaikan dengan kekhususan daerah tersebut.
“Kekhususan tersebut tidak boleh diamputasi oleh regulasi pusat. Kalau tidak, maka tata kelola ulayat berpotensi lebih menguntungkan pemerintah dan swasta ketimbang masyarakat adat. Kita lihat dalam praktek, meskipun UU Otsus Papua mengatur beberapa hal terkait perlindungan masyarakat adat, tetapi masih lemah dalam implementasi sehingga pengambilan paksa tanah adat oleh penguasa masih terjadi.” tegas Djohermansyah.
Temuan Utama Penelitian:
- Pemekaran daerah melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua mempermudah praktek perampasan lahan masyarakat adat karena kekosongan hukum dalam pengaturan kawasan dan tata ruang yang disengaja.
- Melalui revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua (Undang-Undang No. 2 Tahun 2021), Pemerintah Pusat menghapus kewenangan pembentukan Perdasus dan Perdasi dalam urusan pemerintahan, yang memungkinkan Pemerintah Daerah merumuskan kebijakan protektif
- Terdapat 133 peraturan sektoral di berbagai bidang yang ditetapkan pemerintah pusat untuk menjalankan ragam PSN di daerah
- Tanah Papua tak bertuan adalah mitos. Saat ini, lebih dari 1 juta hektar lahan dan hutan Papua Selatan merupakan wilayah adat. Artinya, Papua Selatan bukanlah tanah kosong tanpa pemilik (terra nullius).
- Rakus terhadap hutan dan lahan adat. Masyarakat adat tidak melepaskan tanah adat mereka, tetapi tetap kehilangan hutan dan lahan akibat ekstensifikasi PSN. Hal tersebut memicu praktek perampasan lahan (land grabbing) yang memperburuk ketimpangan penguasaan lahan.
- Ketimpangan lahan yang meningkat. PSN mencadangkan hampir 50% dari total luas administratif Kabupaten Merauke untuk keperluan konsesi perusahaan.
Tulisan ini merupakan republikasi hasil peneliitian Celios dan LBH Papua. Laporan selengkapnya dapat dibaca di: https://celios.co.id/psn-menggerus-otsus-dan-hak-orang-asli-papua/
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan