Rezza Sadewo : Situasi Keluarga dan Komunitas Punk Membuat Saya Belajar Bersikap Adil

248 0

Saya bersyukur sekali karena diterima Sekolah Ansos III 2018 yang diselenggarakan Nera Academia. Terlebih karena dalam Sekolah Ansos ini  mengangkat diskursus gender sebagai salah satu bidang kajian. Rasa syukur juga karena saya bertemu teman baru dan bisa memanfaatkan proses ini untuk belajar membuat analisis tajam yang nantinya mengarah pada perubahan sosial.

 

Perubahan sosial yang saya inginkan adalah hilangnya budaya patriarki yang kuat tertanam dalam masyarakat kita hingga hari ini. Selain patriarki tentu ada masalah ketidakadilan gender di masyarakat yang harus dihilangkan bahkan harus dihancurkan yaitu heteronormatif. Heteronormatif inilah sumber diskriminasi dan persekusi terhadap kawan-kawan LGBT dengan berbagai alasan dan satu diantaranya tidak sesuai norma agama atau norma kebudayaan Indonesia. Alasan yang saya kira karena pembacaan sejarah tentang keberagamaan gender dalam budaya Indonesia kurang banyak.

Menghilangkan masalah ketimpangan gender itu tidak semudah membalikkan tangan. Kenyataannya memang seperti itu, tapi mungkin dengan proses belajar ANSOS ini saya bisa ikut melakukan perubahan sosial.  Kesadaran saya bahwa ada yang tidak baik-baik saja dengan struktur sosial kita adalah berangkat dari pengalaman pribadi saya dalam keluarga.

Pertama ketika saya melihat ibu saya harus berhenti dari pekerjaanya karena dipaksa untuk menemani bapak saat mendapat pekerjaan di Jakarta . Ibu saya harus menangis setiap hari karena Ia kehilangan cita-citanya sebagai guru dan merasa percuma menempuh pendidikan sampai kuliah bila ujung-ujungnya cuma menjadi orang yang mengurusi domestik. Pada akhirnya ibu terpaksa menuruti ayah karena ibu saya orang konservatif dan masih percaya bahwa kodrat seorang istri taat pada suaminya dan hanya mengurusi dapur dan ranjang.

Kedua patriarki yang dilegimitasi oleh budaya Jawa dan agama bukan hanya merugikan perempuan tapi lelaki juga. Ayah saya tahun 2014 memutuskan keluar dari perusahaanya karena bapak saya sudah tidak kuat dengan pimpinannya yang korup.

Bapak saya sangat agamis, pernah saya dibilang murtad waktu solatnya ngegas (cepat, red) banget.

Bapak saya akhirnya  bekerja freelance dan sering menganggur karena tidak mendapat proyek, itu yang membuat stress level-nya tinggi ditambah tekanan ibu saya yang menganggap bapak sebagai laki-laki harus mencari kerja untuk menafkahi keluarganya. Disitu bapak amarahnya sering meningkat bahkan tak jarang melakukan kekerasan verbal ataupun non verbal di rumah. Itu sekali lagi dan lagi menyakiti ibu saya. Bukan berhenti ke Ibu saja,  saya bahkan kerap kali jadi sasaran ketika amarahnya memuncak.  Saya sering dihajar tiba-tiba tanpa alasan yang jelas dan cenderung mencari kesalahan. Disitu saya belajar jangan sampai ketika saya berkeluarga nanti seperti ini.  Saya ingin menciptakan keluarga yang lebih baik dengan kesetaraan, kebebasan dan kesepakatan bersama.

Beberapa waktu sebelumnya saya juga sangat aktif dalam skena punk di kota tempat saya tinggal. Jadi selain dari pengalaman pribadi, kesadaran saya untuk belajar dan melakukan perubahan sosial didapatkan dari (komunitas.red) punk. Jadi mungkin kalo kawan-kawan hanya berpikiran bahwa punk itu cuma segorombolan anak di jalan yang hidupnya tidak jelas seperti mabuk-mabukan, ngamen, dan lebus-lebus; itu salah besar. Pertemuan saya dengan orang lawas (senior.red) skena punk di kota Jember benar-benar merubah hidup dan paradigma terhadap perempuan dan LGBT. Berkat wong lawas (senior.red) punk-nya Jember saya dikenalkan dengan band Bikini Kill yang sangat kencang menyuarakan feminisme lewat alunan musik punk rock dan limpwrist band Queercore yang menyuarakan perlawanan terhadap penindasan terhadap LGBT.

Awalnya saya diperkenalkan lewat musik, kemudian mereka menjelaskan bahwa punk itu adalah counter culture yang artinya memberontak terhadap budaya lama yang dipertahankan sedemikian rupa untuk menindas yang lemah. Saya diajarkan untuk memiliki prinsip prinsip anti kapitalisme, anti fasisme, anti seksisme, anti homophobhia, dan anti rasisme. Pokoknya anti-antian. Bahkan saya pernah diamuk-amuki (dimarahi.red)  dan  kadang ditempeleng karena saya seksis dan homofobik.

Inilah pengalaman dan perjumpaan pribadi saya dengan isu dan masalah gender.  Pengalaman ini menggerakan saya untuk belajar dan terus belajar. Dengan belajar Ansos, saya menyiapkan diri untuk terlibat dan turun tangan untuk melawan ketidakadilan gender dan ketidakadilan lainnya.

Semoga.

Oleh : Rezza Sadewo (email : rezzasadewo@gmail.com). Mahasiswa Arsitektur  ITATS (Institut Teknologi Adhi Thama) Surabaya. Peserta Sekolah Analisa Sosial (ANSOS) III 2018  yang diadakan oleh Nera Academia di Surabaya. Tulisan ini merupakan bagian dari proses Sekolah Ansos di mana tiap partisipan mengekspresikan keprihatinannya pada isu gender, pendidikan dan lingkungan.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *