Setelah Sadar Diejek Mantan

242 0

Sampai kapan aku terus begini? Kapan semua ini akan berakhir? Semua ini sangat melelahkan.

Namaku Acha. Aku menuliskan cerita ini berdasarkan pengalaman pribadiku sendiri. Entah menarik atau tidak, aku kembalikan pada penilaianmu setelah membaca cerita ini.

Aku hanya orang biasa yang butuh cinta dan kasih sayang. Aku ingin makan enak setiap harinya dan punya banyak waktu untuk membaca buku dan menyendiri. Seorang introvert level dewa yang mampu terlihat seperti seorang ekstrovert dan memiliki banyak teman. Aslinya, aku sangat tertutup dan tidak ingin dikenal siapapun. Sesederhana itu pribadiku.

Entahlah…

Mungkin karena aku terlalu tertutup dan tidak mempunyai teman cerita, makanya aku lebih sering memendam semuanya. Nyatanya, semua orang butuh teman cerita. Untuk menjaga kewarasanku, aku putuskan untuk menuangkan semua emosi ini ke dalam tulisanku. Termasuk cerita yang ingin kubagikan ini. 

Saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku belum seutuhnya menyadari hal ini. Namun aku ingat betul dengan semua tingkah anehku saat itu. Aku yang terlalu sering mengecek berulang kali isi rumahku, mengelilingi setiap sudut ruangan untuk memastikan semuanya memang aman dan sesuai dengan isi kepalaku. Rasanya itu seperti ada dorongan yang tidak bisa dihentikan. Apapun usaha yang dilakukan untuk menghentikan semua pikiran itu, aku malah semakin cemas dan takut sehingga memilih untuk melakukan itu semua demi sebuah rasa kelegaan.

Saat aku meninggalkan rumah pun rasa cemas itu semakin menghantui. Saat aku sedang asyik bermain dengan teman sebayaku di luar rumah, mataku selalu saja melirik ke arah rumah. Sampai teman-temanku memandang heran dan memarahiku karena aku mengabaikan mereka.

Kalau kamu mau tahu seperti apa rasanya, aku tidak bisa menjelaskan semua ini dengan sangat sempurna. Mungkin kita bisa bertukar jiwa sehari saja agar kamu mengerti semua ini. Sesuatu itu terus mendorongku, menuntutku, dan membuatku semakin takut bila aku mencoba kabur darinya. Dia terus mengejarku. Menghantuiku dan membuat hidupku semakin berantakan.

Tidak. Ini sangat tidak mudah untuk dijalani. Saat aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas pun dia masih bersamaku. Malah dia terasa semakin erat seperti memelukku. Seolah dia tidak ingin melepaskanku. Semua ini hanya membuatku semakin terlihat aneh di depan teman-temanku. Saat aku berada di sekolah, aku mengecek laci mejaku sebanyak tujuh kali. Memastikan bahwa laci itu benar-benar kosong dan aku tidak meninggalkan barang berhargaku di sana. Aku bahkan menyusun kotak makan atau kotak pensilku di dalam laci itu dengan posisi tegak lurus dan sangat rapi.

Tidak jarang aku merasa marah dan kesal jika temanku duduk di bangku milikku lalu merusak apapun yang ada di dalam laciku. Aku merasa semuanya harus sempurna. Tidak! Semua harus dalam kendaliku.

Ritual yang sering ku lakukan saat masih sekolah dulu adalah aku sering kali kembali ke kelas saat semua teman-temanku sudah pulang. Tidak ada seorang pun di dalam kelas lagi, hanya aku seorang diri. Aku merasa sangat nyaman saat tidak ada seorang pun di sana. Aku tidak ingin ada seorang pun yang tahu ritualku ini. Aku takut menjadi gila. Aku tidak mampu memandang sepasang mata yang seolah berkata: Kamu ini manusia jenis apa? Kenapa aneh sekali?

Tidak ada yang tahu soal ini, termasuk keluargaku. Aku sengaja menutupinya. Dan itu sudah ada bertahun-tahun lamanya, bahkan sampai sekarang. Ya, dia selalu bersamaku. Namanya Tuan Obsesif.

***

Beberapa kali aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang membuat semua ini menjadi kacau seperti ini? Apa yang harus aku lakukan? Semakin hari aku semakin buruk. Aku merasa hidupku kacau sekali. Aku tidak bisa hidup tanpa aturan. Aku ingin semuanya dalam kendaliku. Aku bisa melihat jelas di mana letak ketidakteraturan itu.

Saat aku duduk di bangku perkuliahan pun aku masih terus bertarung dengannya. Bisakah Tuan Obsesif tidak mengusikku lagi? Apa dia tahu seberapa kesal dan marahnya aku pada dirinya?

Saat aku berkendara, aku merasa sangat sulit sekali untuk tidak memperhatikan sekelilingku. Aku ingin menjadi seorang yang cuek. Namun tidak bisa. Aku berhasil dibuat pusing oleh Tuan Obsesif. Saat berada di jalan raya aku melihat ada baliho beserta tulisan di sana. Aku sudah melewati baliho itu, tetapi aku belum selesai membaca tulisan yang ada di sana. Terlihat konyol memang. Kamu tahu apa yang aku lakukan? Aku mutar balik dan kembali ke sana. Aku berhasil mendapatkan baliho itu dan membaca ulang tulisannya. 

Rasanya seperti ada rasa sesak yang ingin dilegakan. Aku sudah membaca tulisan itu sebanyak lima kali. Akan tetapi aku masih merasa belum puas. Isi kepalaku seperti benang kusut. Aku merasa pusing. 

Ah, sudahlah! Aku mengentakkan kaki sambil membaca ulang tulisan itu sampai akhirnya aku merasa sudah lega. Lalu aku meninggalkan tempat itu.

Itu tidak terjadi sekali atau dua kali saja, tetapi hampir setiap kali aku berkendara. Karena itulah aku lebih senang disupirin daripada menyetir sendiri. Aku tinggal menutup mataku jika aku tidak ingin dicerca rasa penasaran dan kecemasan itu.

Semua ini membuatku jauh dari dunia luar karena aku sibuk dengan duniaku sendiri. Di mata orang lain aku terlihat seperti gila, tidak punya teman, dan anti sosial. Namun nyatanya tidak berlebihan seperti itu. Aku terus berusaha menemukan apa yang salah dengan diriku ini. Hingga akhirnya aku mengambil sebuah keputusan yang menurutku sangat tepat.

Saat aku kuliah aku berpacaran dengan seseorang yang lebih waras dariku. Dia pribadi yang baik menurutku. Kami berpacaran selama setahun lebih. Melewati masa suka dan duka berdua. Namun di tengah jalan ada masalah yang membuat aku dan dia tidak bisa melanjutkan hubungan kami.

Aku merasa dia berubah dan dia merasa aku aneh. Kami berdua mungkin butuh waktu yang lebih banyak lagi untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain. Akan tetapi malam itu membuat aku dan dia mengambil keputusan yang salah. Kami bertengkar hebat. Kami berpikir berpisah adalah jalan yang tepat.

“Dasar orang gila! Aku rasa kamu aneh. Pergi aja ke psikiater sana!” 

Perkataannya itu masih terus terngiang dalam kepalaku. Namun kalimat itu menjadi awal dari langkahku menyadari bahwa aku perlu peduli dengan kesehatan mentalku.

***

Selama ini untuk soal percintaan aku selalu gagal. Alasannya karena para perempuan yang menjadi kekasihku menemukan sesuatu yang tidak pernah mereka temukan pada kekasih mereka sebelumnya. Kira-kira seperti apa reaksimu saat tidak sengaja membuka salah satu lemari milik kekasihmu, lalu kamu menemukan banyak pembersih tangan dengan segala jenis merek maupun aroma? Lalu yang lebih mencengangkan lagi karena urutan pembersih-pembersih itu sangat rapi sesuai warna dan bentuknya.

Mantan kekasihku terheran dan geleng-geleng kepalanya saat menemukan banyak jenis barang kesehatan yang aku miliki. Aku menyimpannya dengan sangat rapi di dalam lemari pribadiku. 

Apa yang membuatku terlihat seperti mengoleksi semua hal yang berbau kesehatan? Jawabannya sederhana, aku takut jatuh sakit. Aku selalu cemas memikirkan diriku sendiri. Takut aku kalau aku benar-benar sakit keras. Padahal hanya flu biasa. Sesak napas biasa karena aku terlalu mencemaskan semua hal yang tidak penting. Namun masih saja aku terus merasa jangan-jangan aku mengidap penyakit yang mematikan.

Ada satu hal lagi yang membuatku dipandang sangat aneh. Yaitu saat aku memutuskan untuk tidak melakukan hubungan seksual dengan kekasihku. Sekalipun itu sederhana, seperti ciuman, aku memutuskan untuk tidak melakukan hal itu. Bagiku itu konyol. Bagaimana bisa aku mencium seseorang yang tidak jelas yang dulu mungkin sudah melakukan hal yang sama dengan orang lain? Bertukar ludah? Di sana pasti ada banyak kuman. Lalu muncul di dalam kepalaku beberapa penyakit yang akan tertular padaku. Salah satunya adalah meningitis. Itulah kenapa aku memilih untuk membatasi dan tidak memberi ruang lebih untuk seks.

Mereka semua bilang gaya pacaranku adalah gaya pacaran yang keterlaluan sehat. Iya, begitu kata semua mantan pacarku. Tidak jarang mereka mempertanyakan perihal sebenarnya aku ini sayang pada mereka atau tidak. 

Harus berapa kali aku menjelaskan soal itu pada mereka? Aku sering mengatakan pada mereka bahwa pikiranku memang cacat dalam mencintai mereka. Namun hatiku tidak pernah gagal mencintai mereka dengan cara yang sempurna. Mereka tidak akan pernah menemukan hal itu pada pribadi siapapun selain di dalam diriku.

Aku mengambil langkah yang sangat tepat. Aku putuskan untuk berpisah dengan kekasihku dan fokus pada diriku sendiri. Setiap hari aku bertanya pada diriku kenapa aku begitu terlihat aneh di depan mereka. Hingga akhirnya semua ini terasa semakin berat. Aku tidak bisa menahan rasa sesak yang luar biasa ini. Ingin segera dilegakan. Ini sungguh menyiksaku sampai membuatku tidak menikmati hidup. 

***

Dua tahun yang lalu, aku pergi menemui seorang psikiater setelah berobat dengan dokter spesialis penyakit dalam yang ternyata tidak membuahkan hasil. 

Awalnya aku menyembunyikan rahasia ini. Aku takut disangka gila karena pergi menemui seorang psikiater. Aku membagikan ceritaku pada dokterku. Aku menghabiskan waktu berbulan-bulan, datang menemuinya sekali seminggu di awal pengobatanku dan rajin meminum obat. Sampai akhirnya, aku menemukan jawaban di balik semua keanehan ini.

Aku telat menyadarinya. Namun keadaan dan orang-orang disekitarku yang membuatku sadar bahwa aku membutuhkan seorang dokter. Aku mengidap gangguan obsesif kompulsif. Aku baru dengar istilah itu. 

Namun tunggu dulu…

Setelah aku mengetahui penyebab keanehan dalam diriku, aku berhasil menemukan diriku yang selama ini tersesat. Aku berhasil menemukan kebahagiaanku. Ini adalah anugerah. Jadi, kenapa aku harus malu? Awalnya begitu, sedikit merasa malu. Namun hidup terus berjalan, aku tidak ingin menipu diriku.

Sampai sekarang aku dan Tuan Obsesif berusaha bersahabat. Aku belajar terbuka dan menerima diriku sendiri. Dan aku masih rutin menemui dokterku serta tidak lupa meminum obat. 

Foto Ilustrasi oleh @andre-yuris


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Acha Hallatu

Penulis muda dari Medan yang telah menulis buku Catatan Aku Anak Psikologi dan “Aku, Dia, dan Patah Hati yang Unchhh”. Buku-buku ini tersedia di Google Play Book dan Shopee. Email : hallatuacha@yahoo.co.id. IG : achahallatu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *