Pada masa kontemporer, segala sesuatu dapat menjadi benda seni. Salah satu contoh yang menarik adalah seorang pemuda jahil yang sengaja menaruh sebuah kacamata di sebuah museum. Kacamata tersebut hanyalah kacamata biasa. Tidak ada sesuatu yang istemewa dari kacamata tersebut. Namun, banyak pengunjung museum yang melihat dan mengamati kacamata tersebut. Ada pengunjung yang sudah sadar bahwa kacamata itu hanya sekedar lelucon saja. Ada juga pengunjung yang mengamati kacamata itu secara mendalam. Mereka seakan menikmati kacamata, yang sebenarnya hanyalah buah dari kejahilan seorang pemuda, sebagai suatu benda seni.
Adalah Arthur Coleman Danto, filsuf berkebangsaan Amerika, yang berpendapat bahwa segalanya, terlepas dari apa yang menjadi bahan dasar dari sesuatu, boleh menjadi seni. Bagi Danto, sesuatu menjadi seni ketika sesuatu itu dapat menjelaskan mengenai apa ia (Hauskeller 2015:100). Letak perbedaan seni dengan benda biasa dapat dilihat dari benda itu sendiri, apakah benda itu menceritakan tentang sesuatu (aboutness) atau tidak. Aboutness tidak terdapat dalam benda-benda biasa.
Adanya ekspresi yang berbeda setelah mengamati benda seni merupakan hasil dari interpretasi seseorang terhadap benda seni. Benda-benda itu berbicara mengenai sesuatu (aboutness) kepada orang yang mengamatinya. Sehingga, muncullah kesan pribadi setelah melihat suatu karya seni. Ambil contoh, “Rak Buku” karya Hardi yang mungkin berbicara mengenai sesuatu kepada sebagian pengamat dan mungkin tidak berarti apa-apa bagi pengamat yang lain.
Selain itu, konteks dalam sebuah karya tidak dapat dipisahkan dari karya. Oleh karena konteks merupakan bagian penting dalam karya, maka pemahaman akan konteks menjadi syarat bagi pengertian wajar arti sebuah karya (Hauskeller 2015:100). Konteks menjadi penting karena tanpa konteks suatu karya seni tidak dapat menjadi karya seni. Di luar konteks, karya seni berhenti menjadi karya seni. Sebagai contoh, Fountain karya Marcel Duchamp. Sekilas tidak ada sesuatu yang istimewa pada sebuah urinoir yang bertuliskan R. MUTT 1917. Namun, Urinoir itu dapat dipahami sebagai suatu seni ketika seseorang pengamat mengetahui bahwa Marchel Duchamp ingin menyampaikan kritiknya terhadap banyak orang yang melihat bahwa karya seni harus melewati berbagai saringan agar dapat dipajang di suatu pameran. Pada akhirnya, setelah mengetahui konteks tersebut, barulah dapat dilihat bahwa urinoir Marcel Duchamp merupakan seni yang merupakan kritik terhadap standar ukuran penilaian seni.
Danto juga memberikan saran untuk memikirkan seni melalui tiga cara yakni, 1) seni sebagai daya transformartif, 2) seni sebagai alat untuk pemahaman budaya, dan 3) seni sebagai karya yang mengandung makna.
Seni sebagai daya transformatif pertama-tama dilihat dari bagaimana seni tersebut dapat menciptakan sebuah gerak perubahan pada pengamatnya. Dalam kasus benda sehari-hari yang menjadi benda seni, seni sebagai daya transformatif nampak pada kemampuan benda tersebut, minimal, menyebabkan perubahan paradigma mengenai seni. Bagi pengamat seni yang mengerti bahwa Fountain karya Marcel Duchamp ditujukan untuk kritik, barangkali ia juga akan merubah pandangannya mengenai seni ke arah yang ia inginkan.
Seni sebagai alat untuk pemahaman budaya lebih menunjukkan bahwa seni sekarang lebih sebagai alat ketimbang tujuan. Benda-benda biasa yang menjadi benda seni dapat menjadi alat untuk memahami budaya pada saat itu. Misalnya saja, New Hoover Convertible karya Jeff Koons dapat menggambarkan budaya konsumerisme yang berkembang pada masa itu. Mungkin juga Jeff Koons ingin menggambarkan bahwa pada saat itu, vacuum cleaner merupakan benda yang sangat popular dan menjadi barang yang wajib dimiliki oleh masyarakat. Sedangkan seni sebagai karya yang mengandung makna dapat dilihat dari pemikiran apa yang diekspresikan karya secara non-verbal. Dengan kata lain, makna dari sebuah karya sudah terkandung dalam suatu karya.
Ukuran Keindahan Karya Seni Jaman Ini: Sebuah Refleksi
Tema keindahan sama halnya dengan tema-tema besar filsafat lain seperti keadilan, kebaikan, dan tema-tema yang lain. Tema keindahan juga selalu hadir dalam setiap perkembangan sejarah filsafat sejak Yunani Kuno hingga masa kontemporer. Pada jaman Plato, bahasan mengenai keindahan erat kaitannya dengan dunia ide. Sedangkan, pada Abad Pertengahan, keindahan dihubungkan lebih ke arah yang Ilahi. Pada masa modern, banyak muncul teori-teori seni yang pada akhirnya melahirkan patokan-patokan seni sehingga membedakan mana suatu karya seni dan mana yang bukan karya seni. Pada masa kontemporer, tatanan yang sudah mapan di bongkar dengan menghadirkan karya seni diluar patokan-patokan yang dibuat pada masa modern. Hingga pada akhirnya, membedakan mana karya seni dan mana benda yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari sangat sulit untuk dibedakan.
Ketika semua benda dapat menjadi karya seni, muncullah pertanyaan mengenai ‘apa yang dapat digunakan untuk menjadi ukuran keindahan dalam menilai karya seni?’ Tak dapat dipungkiri jika digunakan ukuran keindahan masa modern, seni kontemporer tidak ada yang indah. Bagi penulis, keindahan suatu karya seni dewasa ini tidak bisa dipatok dengan aturan-aturan baku. Keindahan suatu karya seni dewasa ini haruslah dikembalikan kepada para penikmat karya seni. Pasti akan terjadi banyak kontradiksi mengenai keindahan dari suatu karya seni. Satu kubu berkata bahwa karya seni itu indah, sedangkan kubu lain berkata tidak.
Bukan hanya saja konsep keindahan yang dikembalikan kepada para penikmat karya seni, melainkan juga makna dari suatu karya seni. Dengan tidak adanya makna yang diberikan oleh seniman terhadap suatu karya seni, karya seni akan menjadi lebih kaya makna karena makna karya seni akan sebanyak penikmat karya tersebut. Benda sehari-hari dapat menjadi karya seni apabila benda itu bermakna bagi seseorang. Oleh karena itu, karya seni dewasa ini akan selalu berwarna karena akan selalu terbuka untuk dimaknai oleh banyak orang.
Kesimpulan
Dewasa ini, segala sesuatu dapat menjadi karya seni. Benda-benda yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari seperti cangkir, kursi dan yang lainnya dapat tiba-tiba menjelma menjadi suatu karya seni. Ukuran keindahan dewasa ini menjadi kabur karena tidak adanya batas antara karya seni dan benda-benda biasa. Satu hal yang membedakan hanyalah dalam suatu karya seni berbicara mengenai sesuatu sedangkan benda-benda biasa tidak. Namun, tetap saja sulit untuk membedakannya. Pada akhirnya, semua bisa menjadi seni. Mengenai makna dan ukuran keindahan suatu karya seni perlu dikembalikan kepada para penikmat karya seni. Dengan demikian, makna suatu karya seni dapat teramat kaya karena ia terbuka untuk selalu dimaknai terus menerus.
Oleh : Stefanus Eka Tommy Maryono, Mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
Tinggalkan Balasan