Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) mengecam keras penayangan sinetron “Suara Hati Istri” yang mempertontonkan pemeran Zahra (LCF), seorang aktris berusia anak (15 tahun), sebagai karakter berusia 17 tahun yang menjadi istri ketiga dari lelaki berusia 39 tahun.
Sinetron “Suara Hati Istri” dianggap mempertontonkan jalan cerita, karakter, dan adegan yang mendukung dan melanggengkan praktik perkawinan anak, bahkan kekerasan seksual terhadap anak dengan promosi yang dilakukan melalui kanal Youtube Indosiar, yakni penggunaan judul clickbait pada salah satu episodenya: “Malam Pertama Zahra dan Pak Tirta! Istri Pertama & Kedua Panas? | Mega Series SHI – Zahra Episode 3.
Melalui siaran pers KOMPAKS menilai Tayangan dan promosi dari sinetron ini telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang ditujukan untuk kegiatan penyelenggaraan penyiaran baik TV maupun radio di Indonesia, utamanya Pasal 14 Ayat 2 mengenai Perlindungan Anak yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.”
Tayangan sinetron ini seolah menyampingkan fakta dan realita yang dialami korban perkawinan anak.
” Sungguh miris ketika sebuah sinetron yang ditayangkan melalui saluran televisi nasional telah mendukung, melanggengkan, dan bahkan mendapatkan keuntungan (monetisasi) dari isu perkawinan anak alih-alih melakukan hal-hal yang dapat berkontribusi pada penghapusan kekerasan berbasis gender”
KOMPAKS
Atas penayangan sinetron “Suara Hati Istri” yang melanggengkan praktik perkawinan anak, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS) menuntut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menghentikan sementara tayangan tersebut dan memberikan sanksi berat pada rumah produksi Mega Kreasi Films dan jaringan penyiaran Indosiar yang memproduksi dan menayangkannya.
Juga menuntut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk menginvestigasi tayangan tersebut dan berikan perlindungan kepada aktris anak yang terlibat dalam produksi tayangan tersebut, baik atas dampak produksi yang telah berlangsung maupun dampak dari pemberitaan media.
Untuk diketahui, usia pernikahan legal di Indonesia adalah 19 tahun untuk perempuan maupun laki-laki sesuai UU Perkawinan No. 16/2019 atas perubahan UU No. 1/1974. Selain itu, UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan usia anak adalah sampai dengan 18 tahun. Oleh karenanya, penayangan sinetron ini telah melanggengkan praktik perkawinan anak yang merupakan bagian dari kekerasan berbasis gender dan momok bagi banyak anak perempuan di Indonesia.
Komnas Perempuan pada 2021 mencatat adanya peningkatan ekstrim angka perkawinan hingga 3x lipat pada 2020. Berdasarkan data Badan Pengadilan Agama (BADILAG), dari 23.126 kasus perkawinan anak (dispensasi nikah) di tahun 2019, naik tajam menjadi 64.211 kasus pada 2020. Padahal, perkawinan anak memiliki berdampak buruk pada anak perempuan, baik untuk perkembangan psikis anak, maupun dampak biologis yang bisa mengancam kesehatan bahkan menyebabkan kematian.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan