Kasus ini menarik (red:ironis), sebab yang melakukan represi adalah institusi yang mestinya menjadi ceruk disiplin jurnalisme atau Ilmu Komunikasi tumbuh kuat.
Bagaimana hal macam ini bisa terjadi?
Dalam ulasan ini saya hendak mengajukan perspektif lain -jika bisa dikatakan demikian- untuk menerangkan faktor terjadinya atau mengapa kasus tersebut bisa muncul. Sebagai salah satu lulusan ilmu komunikasi STIKOSA-AWS sekaligus yang sedang menempuh studi lanjutannya.
Saya berasumsi bahwa apa yang terjadi erat hubungannya dengan gejala dari perkara tumbuh kembang disiplin ilmu komunikasi di Indonesia yang dalam beberapa tahun terakhir disoroti para pakar. Bahwa ada kelonggaran pengejawantahan ilmu komunikasi di dalam lapangan ilmiah yang dirancang dan diaktualisasikan oleh kampus.
Selanjutnya, elaborasi saya akan mengacu pada kajian-kajian berikut yang telah terbit beberapa tahun terakhir.
Kajian Ilmu Komunikasi yang Longgar
Akhir tahun lalu tulisan salah satu akademisi ilmu komunikasi, Masduki terbit di The Conversation. Ulasan tersebut mengetengahkan perihal statisnya kajian ilmu komunikasi di indonesia. Sebagai orang yang tengah berkecimpung di kajian-kajian ilmu komunikasi, dengan tak mengabaikan penghormatan saya kepada sekelumit pakar yang terus mencoba mengambil jalur kreativitas dalam studi-studi mereka, saya ingin mengamini temuan dari Masduki itu.
Bahwa di dua kampus di mana saya geluti Ilmu Komunikasi ini, satunya sekarang yang katanya punya visi lebih banyak memberikan ruang praktik lapangan kepada mahasiswanya malah merepresi lembaga per mahasiswa.
Saya belum melihat kebaruan analisa yang kembali digaungkan dan mendobrak yang dilakukan oleh para pakar kontemporer. Sejauh yang saya telisik penelitian masih berkutat pada perkara-perkara lama dengan subjek-objek studi yang menyesuaikan.
Sebelum tulisan Masduki itu terbit, saya lebih dahulu mendapati buku Syarif Maulana yang mencoba mempertanyakan kembali apa itu sebenarnya ilmu komunikasi. Meski buku tersebut belum beranjak betul dari sifat normatif buku-buku ilmu komunikasi lama -saya masih menemukan kemiripan dengan buku Deddy Maulana- Syarif resah melihat ilmu komunikasi yang begitu liar dan gampangnya dimanfaatkan untuk menjustifikasi berbagai pembahasan.
Menurut Syarif ilmu komunikasi tampak seperti ilmu yang tak memiliki tumpuan jelas atau tak ajeg. Sama seperti Masduki, ia juga menyinggung soal term-term nama mata kuliah yang terdengar teknofili, tetapi tanpa inovasi ilmu yang ketat. Kebutuhan terkait itu, kata Masduki, hanya membetot pada tren perkembangan teknologi komunikasi digital yang senantiasa dikungkung oleh kebutuhan pasar.
Tunduknya ilmu komunikasi pada pasar juga diungkap oleh Justito Adiprasetio. Penelitian Justito ini akan menjadi rujukan penting dalam ulasan saya ini. Justito melakukan penelusuran sejarah sekaligus mengungkap bahwa kelahiran ilmu komunikasi kuat dibayangi oleh ideologi kolonialisme. Imbasnya, ilmu komunikasi hanya dipandang sebagai ilmu praktis yang melayani penguasa, dan mirisnya praktik serupa juga diwariskan pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan kian kuat bersama Oligarki pasca reformasi.
Dengan kata lain, pada momen kelahiran hingga pertumbuhanya saat ini, ilmu komunikasi masih dibayangi oleh kepentingan penguasa, ia tetap dijadikan sebagai instrumen kuasa yang di era digital ini kekuasaan itu menyebar dan menjamur.
Menurut Justito, ketidakhadiran teori kritis seperti Marxisme dalam kajian-kajian ilmu komunikasi menjadi salah satu alasan tumpulnya ilmu komunikasi di hadapan peradaban. Selain itu, ia menyinggung tentang teori-teori pascakolonial seperti Orientalisme yang jarang disentuh oleh para sarjana ilmu komunikasi.
Padahal, kata Justito, dekolonisasi ilmu komunikasi penting terus dikejar sebagai upaya untuk mencerabut posisi ilmu komunikasi dari determinasi kolonialisme dan dari paham-paham feodal yang masih terus menggentayangi. Di sini, Justito menunjukkan bahwa dalam ragam penelitian ilmu komunikasi kontemporer (dari 2001-2020) masih belum banyak memberi ruang pada isu-isu yang mengaitkan kata labour dan worker, serta gender dan emancipation.
Studi Justito itu sekaligus mengelaborasi uraian dari St Tri Guntur Narwaya yang meluncurkan buku Matinya Ilmu Komunikasi. Narwaya memfokuskan argumennya pada terjebaknya ilmu komunikasi dalam positivistik. Meski tuduhan tersebut tak dilengkapi dengan data komprehensif, tetapi sama dengan Justito, saya menangkap inti dari kajian Narwaya ini lebih kepada usaha memperlihatkan absennya perspektif kritis dalam kajian maupun ruang ilmiah di mana ilmu komunikasi eksis.
Terpinggirnya Posisi Teori (Kritis) di Kampus
Di STIKOSA-AWS teori tidak menjadi unsur yang kerap didiskusikan panjang dan berbelit. Ia hanya pelengkap dan lebih banyak tersingkir. Bagi beberapa orang, hal itu tak menjadi soal, dengan alasan kampus tersebut lahir dari akademi yang memang diperuntukkan untuk membentuk praktisi media di dunia kerja. Namun, bagi saya karena hal itulah kampus ini menjadi problematik.
Nama awal dari STIKOSA AWS adalah Akademi Wartawan Surabaya (AWS). Didirikan pada 11 November 1964 oleh sekelompok wartawan yang saat itu tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Motivasinya, mesti ada institusi yang mengajari wartawan tentang bagaimana bekerja di masa itu. Maka lahirlah institusi tersebut. Pada tahun 1984, AWS berubah menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Perubahan tersebut, kata Ketua Humasnya, terbaca sebagai bagian dari perkembangan zaman dan kebutuhan pasar.
Kelahiran STIKOSA AWS memang sarat dengan ilmu praktis. Alih-alih menggembleng sarjana akademis yang terbekali dengan kekritisan, STIKOSA AWS lebih fokus menelurkan keterampilan bekerja di dalam industri kapitalistik. Maka tak terpungkiri, ilmu komunikasi di AWS tumpul sebagai sebuah kajian yang teoritis, tak kritis, dan ujungnya tak berkembang.
Identitasnya sebagai kampus ilmiah tak tampak. Yang ada kemudian adalah sebuah institusi layaknya perusahaan industri yang hanya memproduksi produk manusia-manusia yang mau menghabiskan waktu untuk terbenam dalam kerja-kerja tak berujung.
Dengan kata lain, kampus ini masih merupakan pembantu dari penguasa. Masih menjadi roda penggerak pembangunanisme ala orba.
Ada memang ilmu komunikasi yang diajarkan, namun lebih banyak bernuansa proyek developmentalisme yang bersumber dari Amerika. Dibahas oleh Justito bahwa konsep ilmu komunikasi Amerika ini selalu condong melayani rezim.
Lihat STIKOSA AWS hari ini. Fokus meningkatkan skill apa yang dibutuhkan pasar. Mereka mencari bagaimana bentuk pasar sekarang, di mana mereka mesti masuk dan apa mata kuliah yang mesti mereka program untuk menyambut inovasi dan gegap gempita pasar global dengan tetek bengek digitalnya ini.
Singkatnya, meminjam argumen Justito lagi, jika di masa orba kampus ini menjadi tempatnya pekerja media yang melayani rezim penguasa, di masa pasca reformasi ini di mana semestinya ilmu komunikasi bebas, kampus STIKOSA AWS malah terjebak dalam buaian kuasa rezim pasar. Maka wajar kekritisan selalu menjadi resisten untuk kampus ini. Tak mengherankan ketika LPM AS berupaya mengkritisi kerja kampus malah diancam.
Yang menarik adalah meski arena ilmiah yang diberikan kampus sedemikian mandulnya, beberapa organisasi mahasiswa malah tumbuh berbeda. Mereka memutuskan berkembang dengan mengambil kiblat alternatif. Diklat-diklat ormawa ini diselipi dengan kajian-kajian kritis yang kemudian melahirkan generasi-generasi yang berpikiran tajam dan jernih.
Konsekuensinya, hal tersebut berimbas pada perjalanan STIKOSA AWS ke depannya. Budaya mahasiswa (ormawa) dan kampus tak sejalan. Mereka kerap bersinggungan. Mirisnya, pada setiap tegangan-tegangan benturan itu, kampus selalu mengeluarkan jurus pamungkas mereka, sewenang-wenang mengancam. Namun, ormawa akan senantiasa menjadi agensi dalam menerobos struktur. Sebab keadilan mesti terus diperjuangkan. Maka, perlawanan akan terus berkobar. Itu saja.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan