Dari Hutan Gundul Menuju Daulat Pangan

Kisah petani kemiri di Desa Penanggungan, Trawas, Mojokerto, yang berupaya menerapkan pertanian organik dan mengupayakan kedaulatan pangan. Berkat keteguhan mereka, ekonomi dan kesehatan keluarga pun mampu terjaga.

357 0

SEPEDA motor yang dikendarai Slamet membelah keheningan hutan seluas delapan hektare di Desa Penanggungan, Trawas, Mojokerto. Jalan setapak di hutan begitu licin, bekas hujan semalam. Hawa masih terasa sejuk, walaupun matahari telah mendaki jauh di atas horizon. Beberapa kali sepeda motor Slamet hampir tergelincir.

Hutan yang dituju pria berusia 52 tahun itu penuh ditanami puluhan ribu pohon kemiri. Pepohonan tersebut menjulang tinggi setara dengan gardu listrik yang kerap dijumpai di kota-kota besar.

Slamet merupakan Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Alas Trawas. Dua puluh tahun lalu, ia dan 300 kepala keluarga di Desa Penanggungan berduyun-duyun ke hutan sambil membawa bibit tanaman agroforestri. Lahan di hutan tersebut cenderung kering, tetapi mereka kompak bersama-sama melakukan reboisasi di sana.

Lembah Kecubung yang sebagian wilayahnya dikelola oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) untuk Wisata Petik Sayur dan Pemandian . Foto: Rangga Prasetya Aji Widodo/Idenera.

Lahan menjadi tandus bukan tanpa sebab. Meneropong jauh ke masa lalu, warga sempat mempunyai perbedaan pandangan dalam mengelola hutan dengan salah satu perangkat daerah. Saat itu, warga ingin mengelola hutan dengan menanami pepohonan yang berbasis buah, sayur, serta memanfaatkan lahan untuk wisata. Bukan untuk ditebang seperti yang dikehendaki si perangkat desa.

Konflik mulai mereda ketika pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengadakan program Perhutanan Sosial. Sebuah itikad meminjamkan hutan kepada warga untuk dikelola secara kolektif hingga memperoleh manfaat berkelanjutan bagi alam sekitar.

“Dulu hutan ini gundul. Warga dari Forum Rakyat Trawas menanam kluwek, nangka, durian, dan berbagai agroforestri lainnya,” kata Slamet.

Tangannya memegang batang pohon kemiri yang usianya setara siswa lulusan SMA. Sembari bercerita asal kisah mereka menanam pohon kemiri, dia memandang sebidang tanah di hadapannya. Lahan itu seperti lembah yang ditumbuhi berbagai jenis pohon.

Memasuki musim panen, batang pohon yang dipegang Slamet dapat menghasilkan empat karung penuh atau setara dengan 200 kilogram kemiri. Pada 2002, warga menanam 12.000 bibit kemiri yang disebar di seluruh lahan. Dengan rentang waktu 10 tahunan, tidak heran bila kemudian hutan itu ditumbuhi pohon-pohon berukuran raksasa.

Dari hasil panen kemiri, warga dapat menjual ke pengepul untuk menyokong kebutuhan ekonomi keluarga. Slamet bilang, segala jenis pohon yang ada di hutan itu dirawat secara organik oleh warga. Sehingga hasil panen mereka mempunyai harga jual yang tinggi di pasaran. Memakai pupuk buatan pabrik menjadi sesuatu yang haram bagi mereka.

Tidak hanya pohon kemiri. Sekitar 100 meter berjalan kaki dari tempat Slamet memarkir sepeda motornya, tumbuh subur ribuan pohon jati, pohon sengon, petai, kelengkeng, pohon buah sukun, matoa, hingga alpukat. Hampir semua pohon itu telah melewati musim panen berulang kali.

Di pusat hutan, Slamet membangun Rumah Edukasi. Tempat itu dipakai untuk menunjang kegiatan belajar masyarakat. Melibatkan akademisi kampus, kelompok tani, dan instansi pemerintah. Ia menyebutnya dengan program Field Trip atau Coaching Clinic.

Slamet, Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Alas Trawas. Foto: Rangga Prasetya Aji Widodo/Idenera.

“Kami duduk bersama di lahan yang dikelola KTH Alas Trawas untuk belajar mengenai hutan,” tutur alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Komputer (STIKOM) Surabaya itu.

Selain menjadi pusat belajar, ia juga menyediakan spot-spot kuliner organik, serta menyiapkan tempat untuk berkemah bagi wisatawan. Bila wisatawan merasa penat oleh hiruk-pikuk kota, mereka bisa datang ke hutan di Desa Penanggungan untuk menyegarkan pikiran.

Di balik pohon-pohon tinggi itu, terdengar suara kicauan burung menggema di sekitar langit-langit hutan. Burung-burung ini menjadi sarana edukasi bagi wisatawan pula. Mereka bisa mengetahui ragam jenis hewan unggas terbang tersebut yang tinggal secara bebas di alam Alas Trawas.

“Wisatawan menjadi tahu burung A, B, atau C. Mereka juga memiliki kepedulian untuk menyelamatkan burung-burung di hutan. Bukan mengeksploitasi alam, tetapi belajar mengenai alam,” kata Slamet sembari berjalan menuju tempat dia memarkir sepeda motornya.

Saat ia naik motornya, sayup-sayup terdengar suara kambing mengembik. Hewan ternak ini dipelihara di kandang kayu berukuran sekitar 4×1 meter persegi. Jumlah kambing yang dipelihara KTH Alas Trawas mencapai 35 ekor.

Dijelaskan oleh Slamet kambing di KTH Alas Trawas makan rumput yang disediakan para petani. Nah, kotoran yang dikeluarkan kambing ini disimpan, kemudian diolah menjadi pupuk untuk pohon jeruk, durian, dan lain-lainnya. Sementara itu, kalau kambing melahirkan cempe, maka anaknya yang akan dijual oleh para petani.

Dari siklus organik tersebut, petani dapat mencapai kondisi daulat pangan. Setiap warga bisa menghasilkan sumber makanan untuk bertahan hidup, tanpa bergantung pada industri. Hutan sebagai sumber kehidupan tetap terjaga subur. Lahan seluas delapan hektar itu tetap berdaya tanpa campur tangan dari alat-alat berat.

KTH Alas Trawas juga mendorong program Fundraising. Warga memanfaatkan hasil tani, di antaranya mengolah singkong menjadi kerupuk samiler. Kegiatan ini dilakukan di Dusun Ngembes, pemukiman terdekat dari lokasi hutan, yang berpenghuni 30 kepala keluarga. Semua keluarga tersebut memproduksi kerupuk samiler.

Produksi kerupuk samiler di Dusun Ngember rata-rata menghasilkan 120 kilogram kemasan siap konsumsi setiap bulan. Usaha yang dikelola oleh masyarakat sendiri ini sudah berjalan lebih dari 20 tahun.

“Warga desa bisa menjual hasil produksi kerupuk samilernya sendiri di kawasan wisata. Kami yang mengatur alurnya dan menjadi program branding KTH Alas Trawas,” jelas Slamet.

Slamet (52) berdiri di hutan kelola seluas delapan hektar sambil menunjuk salah satu pohon kemiri yang tumbuh di sana. Foto: Rangga Prasetya Aji Widodo/Idenera

Selain hasil pertanian dan peternakan, sumber air bersih juga menjadi sarana memenuhi kebutuhan warga Dusun Pemendung dan Dusun Ngembes di Desa Penanggungan. Air yang bersumber dari hutan itu dimanfaatkan untuk sistem irigasi sawah, minuman ternak, dan kebutuhan sehari-hari warga setempat.

“Bisa dipastikan minuman penduduk di sini tidak membuat hati resah. Sebab, kualitasnya sehat dan tidak tercemar polusi. Muncul dampak sosial yang baik di sini,” imbuh Slamet, mantan pengurus Walhi Jatim tahun 1990-2000 itu.

Begitu juga bagi warga yang memiliki sapi. Mereka tak perlu bingung mencari pasokan pakan ternak peliharaannya. Cukup berjalan kaki atau bersepeda ke hutan untuk memotong rumput liar di sana.

Dari pola-pola itu, warga bisa memperoleh uang hasil jual ternak dan perkebunan. Lalu, uang yang diterima dapat digunakan untuk membangun rumah, menyekolahkan anak-anaknya, dan berobat apabila sakit.

Getok Tular Ilmu untuk Warga

Pola-pola hidup daulat pangan yang dikerjakan KTH Alas Trawas, ditularkan kepada Kelompok Wanita Tani (KWT) Sumber Gelang. Kelompok tani beranggotakan 30 orang lebih ini diketuai Rini Sudarti yang baru berusia 35 tahun.

Saat dijumpai penulis di ruang tamu Kantor Pertanian Organik Brenjonk yang berada di Dusun Penanggungan, Trawas, Mojokerto, ia pun membawa hasil panen sayur-mayur segar yang dikemas dalam kantong plastik. Bangga dengan apa yang dikelolanya, ia kemudian berkisah bagaimana sepak terjang KWT Sumber Gelang.

“Usia komunitas kami sekitar 2,5 tahun. Pertanian organik juga kami jalankan di rumah dengan memanfaatkan polybag dan pekarangan kosong untuk merawat tanaman hingga besar,” jelas Rini.

Dinilai membawa banyak manfaat, Rini diberi kepercayaan untuk mengelola lahan-lahan milik pemerintah desa. KWT Sumber Gelang mendapatkan dukungan dari Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) untuk mengembangkan destinasi wisata bernama Lembah Kecubung. Di sana, mereka mengembangkan wisata petik sayur juga.

Lembah Kecubung memiliki kolam ikan dan area pemandian. Ketika warga panen dan mencuci sayurnya, biasanya ada bagian yang dibuang. Nah, rempesan dari hasil panen itu ditebar ke kolam menjadi makanan ikan. Yang menarik, karena sayuran tadi dikelola secara organik, maka ikan-ikan yang mengonsumsinya pun tergolong organik. Semua sehat untuk dikonsumsi dan memiliki harga tinggi ketika dijual.

Luas wilayah kelola KWT Sumber Gelang di Lembah Kecubung mencapai sekitar 3.000 meter persegi. Rini berkolaborasi dengan Komunitas Pertanian Organik Brenjonk dan Pemuda Tani. Semua komunitas berintegrasi untuk mengembangkan budaya daulat pangan di Desa Penanggungan.

Ketika hasil panen melimpah, Rini membagikan sebagian sayuran kepada tetangga yang tidak memiliki lahan untuk bertani. Dengan cara ini, setiap warga di Desa Penanggungan bisa mencicipi sayuran organik hasil panen di lahan yang dikelola warga sendiri. Jenis sayuran yang dihasilkan antara lain selada keriting hijau, mentimun, terung, kangkung, kacang tanah, kacang panjang, dan cabai.

“Kebetulan ibu saya juga mengelola lahan tani. Saat panen, hasilnya pasti dibagikan ke tetangga yang nggak mempunyai sayuran organik,” ujar alumni SMA Negeri 1 Trawas itu.

Musim mempengaruhi rugi tidaknya para petani. Hasil panen dari lahan yang dikelola lebih menguntungkan ketika memasuki musim kemarau. Sebab, waktu musim hujan, sebagian hasil panen yang ditanam di luar greenhouse menjadi rusak karena tergilas air hujan. Rini perlu membuat penutup agar bibit-bibit yang ditanam tidak terganggu oleh cuaca.

Beras organik bermerek Brenjonk hasil pertanian KWT Sumber Gelang. Foto: Rangga Prasetya Aji Widodo/Idenera

Kegiatan panen KWT Sumber Gelang dilakukan setiap minggu, tepatnya pada hari Senin dan Kamis. Rini membagi pengelola menjadi lima kelompok. Setiap kelompok terdiri dari satu hingga empat orang.

“Sekali panen per kelompok menghasilkan sekitar lima hingga 15 kilogram, tergantung jenis sayuran yang ditanam,” jelasnya.

Budaya pertanian organik dan pola hidup daulat pangan tidak hanya dijalankan oleh KTH Alas Trawas, Komunitas Pertanian Organik Brenjonk, dan KWT Sumber Gelang saja. Namun, warga yang tinggal di Desa Penanggungan pun ikut menerapkan budaya itu.

Seperti apa yang dilakukan Yuli Astuti. Perempuan warga Desa Penanggungan berusia 53 tahun ini tengah duduk di kursi ruang tamu rumahnya ketika ditemui, sembari menikmati alunan tetesan air hujan. Rumah Yuli ini berada di sisi kanan Kantor Pertanian Organik Brenjonk.

Kantor ini mengelola kegiatan Komunitas Pertanian Organik Brenjonk (KPOB) yang bergerak di bidang pertanian organik. Mereka memastikan proses bertani mulai dari hulu sampai hilir konsisten menggunakan pengolahan secara organik.

Budaya itu kemudian diterapkan oleh Yuli pula. Ia sempat menanam sayur organik di greenhouse yang disediakan KPOB. Di dalam greenhouse yang ia miliki, Yuli menanam berbagai macam sayuran seperti kangkung, bayam, dan sawi.

“Tetapi, semua hasil tani itu tidak kami jual, namun kami makan sendiri sekeluarga,” ucapnya.

Rini Sudarti (35) Ketua KWT Sumber Gelang membeber hasil tani berupa sayur-sayur organik di Kantor Pertanian Organik Brenjonk di Dusun Penanggungan, Desa Penanggungan, Trawas, Mojokerto. Foto: Rangga Prasetya Aji Widodo/Idenera.

Jika ia mempunyai hasil tani yang berlimpah, Yuli membagikan sayur organik itu ke tetangga yang membutuhkan. Manfaat lainnya yang diperoleh, lahan greenhouse yang ia garap dapat dipakai sebagai wahana kunjungan mahasiswa yang ingin belajar bertani di Desa Penanggungan.

“Kalau tiba-tiba ada tetangga mau sayuran organik, ya dibagikan saja. Saya nggak mencari uang, ingin sehat saja dengan mengkonsumsi sayuran organik,” jelas Yuli.

Tujuan hidup yang mulia. Tetap produktif di usia senja, tak lupa berbagi dengan sesama dan tetap konsisten untuk menjaga kesehatan tubuh dan alam.

Perlahan, hujan yang mengguyur Desa Penanggungan mulai reda. Mendung gelap di langit pun memudar. Masih ada secercah harapan untuk sebuah kebaikan hidup. Semua bisa dimulai dari memelihara lingkungan dan mengonsumsi makanan sehat.

Liputan ini merupakan kolaborasi jurnalis Idenera.com, Kebijakan.co.id, dan Kabartrenggalek.com. Liputan ini mendapat pendanaan dari Dana Nusantara meliputi Walhi Jawa Timur, KPA, dan AMAN.

Editor: Martha, Andre Yuris


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Rangga Prasetya Aji Widodo

Kontributor Idenera.com. Jurnalis lepas di Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *