Saya adalah seorang perempuan yang lahir dan dibesarkan di Pulau jawa. Saya dilahirkan secara unik karena saya merupakan anak kembar. Ya saya mempunyai saudara kembar. Dari kecil kami diberikan segala sesuatu yang sama, sepatu sama, baju sama, bahkan potongan rambut yang sama. Sehingga itulah yang tertanam dalam diri saya bahwa adil itu berarti sama. Namun karena baju yang sama itulah kami sering bertengkar memperebutkan mana yang milik saya atau milik dia. Segala sesuatu yang sama itu juga kadang membuat saya risih karena tidak sesuai dengan apa yang saya inginkan dan hanya membuat kami bertengkar memperebutkan sesuatu yang paling baik padahal sebenarnya sama saja.
Setelah lulus dari bangku sekolah menengah saya hijrah ke Surabaya. Saya tinggal di sebuah asrama milik para Suster SPM dan di depannya ada sekolah favorit yang akan ramai bahkan macet setiap jam berangkat sekolah dan pulang sekolah. Bagaimana tidak, setiap siswa di sekolah itu membawa mobil pribadi sendiri atau paling tidak diantar sopir mereka. Sangat bertolak belakang dengan anak-anak asrama harus berjalan kaki lumayan jauh menuju sekolah mereka. Di Surabaya ini saya mulai tergelitik melihat ketimpangan yang ada.
Ternyata pengalaman kecil itu membuka mata dan telinga saya untuk melihat ketidakadilan yang lebih besar. Seperti ketika saya memutuskan untuk kost dan bergabung dengan sebuah sanggar anak-anak yang berada di dekat stasiun Wonokromo. Dari sanggar itu saya mulai melihat lebih banyak lagi ketidakadilan. Pendidikan yang sembarangan, buruh yang tidak didengar bahkan sampai pendudukan yang diusir paksa dari tempat tinggalnya. Ada banyak pemberontakan dari mereka yang merasa diperlakukan secara seenaknya. Mereka tidak menuntut hal yang lebih besar dari apa yang dirampas dari mereka , namun tidak ada yang mendengar.
Tahun ini saya akan belajar lebih banyak , melihat lebih banyak dan mendengar lebih banyak. Saya dikirim ke Kabupaten Sintang di Kalimanan Barat untuk menjadi pendamping anak-anak asrama. Di tempat ini saya mulai belajar. Saya diberi kesempatan berdialog dengan tumenggung (pemimpin adat) membicarakan apa saja masalah yang ada di tanah Borneo dan bagaimana mengatasinya. Selain masalah pendidikan yang sangat tertinggal masalah lain adalah masalah sumber daya alam yang dikendalikan, dirusak demi segelintir orang serta masalah adat yang berusaha dirusak demi kenyamanan pengambilan kekuasaan.
Pemerintah berusaha memberikan perhatian yang sama terhadap rakyatnya, namun ‘kesamaan’ yang ada malah menimbulkan permasalahan. Masyarakat di sini dianjurkan membuat sawah untuk bertani, namun budaya dan alam di Borneo tidak cocok. Mereka biasa membuka ladang kemudian menanami yang lama dan mengolah ladang barunya. Hal ini membuat mereka merasa budaya mereka tidak dianggap. Mereka sering dibanding-bandingkan dan diharapkan menjadi sama seperti Jawa. Saya rasa ini terjadi bukan hanya di Kalimantan saja, namun juga di daerah lainnya. Bukankah setiap daerah bahkan setiap individu punya keunikan sendiri-sendiri dan punya kebutuhan yang berbeda? Lantas kenapa harus sama?
Pengalaman yang membuat saya semakin resah ini merupakan secuil penderitaan yang akan dan sedang dihadapi bangsa ini. Timbulnya iri hati dan perasaan tidak dihargai akan menjadi bom waktu bagi perdamaian. Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Latin “Si Vis Pacem, Para Iustitiam” (jika kamu menginginkan perdamaian, tegakkan keadilan). Saya sangat sadar bahwa keadilan sudah sulit didapatkan, namun bukan berarti tidak bisa. Jika tidak bisa melakukan hal besar biarlah hal-hal kecil ini menjadi tabungan untuk sesuatu yang besar nanti. Melihatlah lebih banyak , mendengarlah lebih banyak dan belajarlah lebih banyak untuk mengerti apa yang mereka butuhkan agar tercipta keadilan yang membawa perdamaian.
Oleh : Paulina Liana, Relawan di MAVI peduli pendidikan . Tinggal di Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan