Sound of Freedom: Anak-anak Dalam Cengkraman Prostitusi

Banyak film Hollywood telah mengangkat isu perdagangan manusia sebagai premis: Taken (2018) dan The Equalizer (2014), misalnya; namun nyaris tidak ada yang mengangkat tema itu lebih jauh dari sekedar suguhan tembak-menembak. Komersialisasi dan keterbatasan ruang bagi ide dalam aksi sinema menjadi batu penghalang yang tidak memungkinkan sebuah kenyataan diungkap secara gamblang.

162 0
Sound of Freedom Movie

Kita selalu terbuai kesimpulan bahwa kejahatan perdagangan manusia hanya sebatas tontonan heroisme sang protagonis melawan antagonis. Mungkin begitulah dogma yang telah dianut cukup lama oleh film-film Hollywood. Lagipula apa pentingnya menyuguhkan kenyataan tentang perdagangan manusia bagi penonton yang sekedar suka dengan tontonan yang asyik dan menghibur?

Perdagangan anak untuk eksploitasi seksual menjadi tema utama dari film yang diperankan oleh Jim Caviezel sebagai Tim Ballard, agen khusus Investigate Security Intelligence (HSI) yang menangani kasus-kasus terkait pedofil dan pornografi yang melibatkan anak-anak di bawah umur—orang yang sama yang memerankan sosok Yesus dalam film The Passion of the Christ.

Film berlatar belakang di Kolombia, negara yang terkenal dengan pelbagai jenis mafianya. Dalam film diceritakan dua kakak-beradik yang  dijual ke para pedofil dan mendapat kekerasan seksual yang serius. Mereka bernama Rocio (11 tahun) dan Miguel (8 tahun). Ayah mereka, Roberto tertipu oleh rayuan pedagang anak agar anak-anaknya mau menjadi model. Setelah sesi pemotretan abal-abal berakhir,  Rocio dan Miguel diculik untuk dijual pada pedofil di Kolombia. Roberto hanya bisa menyesali keputusannya saat ia mendapati kedua anaknya hilang.

Pada intisari film, Tim Ballard gusar melihat perbandingan jumlah pedofil yang ia tangkap dengan anak-anak yang ia selamatkan sangat jomplang. Tim menangkap para pedofil namun tak satupun anak yang ia selamatkan. Oleh sebab itu Tim dan koleganya di Kolombia bersikeras menyelamatkan Rocio dan Miguel di tempat berbeda.

Pasca pengalaman itu, pada tahun 2013 Tim mendirikan organisasi nirlaba bernama Operation Underground Railroad (OUR) untuk menyelamatkan anak-anak korban perdagangan manusia. Hingga sekarang mereka mengklaim telah menyelamatkan ribuan anak-anak. Namun, hal yang patut disayangkan, di tahun 2023 Tim secara tiba-tiba mengundurkan diri dari OUR disebabkan tuduhan pelecehan seksual yang dilakukannya pada ketujuh rekan kerjanya di OUR. Jika memang tuduhan itu benar, ini sangat mencederai dan merugikan cita-cita kemanusiaan organisasi lain dalam penyelamatan anak-anak korban perdagangan manusia.

Di lingkungan Hollywood dan Amerika Serikat Film tersebut mendapat respon positif dan negatif. Pada sisi positif film tersebut mengungguli raihan box office dari film populer seperti Mission: Impossible–Dead Reckoning dan Indiana Jones The Dial of Destiny; pada sisi negatif, film itu “terpaksa” harus masuk dalam perseteruan politis antara Partai Republik dengan Partai Demokrat di Amerika Serikat—sebab isu perdagangan anak yang diangkat memiliki kesamaan dengan isu politik pendukung Donald Trump.

Sutradara berkata jika naskah film telah rampung sebelum teori konspirasi QAnon booming. QAnon adalah teori konspirasi yang menuduh di dalam kubu Partai Demokrat bersemayam para pedofil dan kanibal anak. Teori konspirasi QAnon juga yang telah memoles Donald Trump serupa pahlawan yang bisa membuka rahasia kelam Amerika Serikat atas pedofil di kalangan petinggi Partai Demokrat.

Untuk menelisik lebih jauh tentang perdagangan anak seperti yang tersaji dalam film Sound of Freedom, ada baiknya juga menelisik buku dari Lydia Cacho yang berjudul Bisnis Perbudakan Seksual: Menelusuri Perdagangan Perempuan dan Anak-anak Internasional. Dalam bukunya, Cacho menulis tentang kejahatan perdagangan manusia berdasarkan hasil investigasinya di beberapa negara. Selain mengurai sistem busuk perdagangan anak, Cacho juga melihat dan mendengar kesaksian langsung dari penyintas.

Hasil investigasi Cacho penting sebagai pelengkap bagi unsur-unsur lain yang tak mungkin ditampilkan dalam film Sound of Freedom, seperti kesaksian anak-anak yang menjadi korban, sekaligus juga untuk memberi fakta-fakta lain yang terlepas dari polemik film tersebut.

Dari Kemiskinan ke Perbudakan

Kejadian tragis yang dialami anak-anak Roberto juga dialami oleh banyak anak-anak dari belahan dunia lain. Umumnya pedagang anak merayu dengan uang dan popularitas selayaknya seorang artis dengan memanipulasi kondisi kemiskinan yang mereka alami.

Dari Kamboja Cacho menyusuri jalan mengendarai tuk-tuk, angkutan umum khas Kamboja. Dari matanya ia melihat banyak pria paruh baya berusia antara 50 dan 60 tahun ditemani gadis-gadis berusia 12 hingga 14 tahun. Mereka adalah pelanggan asing kulit putih yang diperlakukan dengan hormat. “Kamboja memenuhi syarat sebagai negara asal, negara transit, dan negara tujuan wisata seks, yang berarti di dalam negerinya berlangsung jual, beli, dan eksploitasi kaum perempuan dan anak di bawah umur.” (Cacho, hal. 72)

Cacho juga berkunjung ke tempat penampungan para penyintas perdagangan manusia yang sebagian besar adalah remaja dan anak-anak di bawah umur. “Hampir 43 persen gadis yang telah selamat telah dijual oleh ibu mereka sendiri.” (Cacho, hal. 75) Kemiskinan mendorong ibu-ibu di Kamboja menjual anak-anak mereka yang masih belia ke siapa saja yang berminat membelinya. Pada situasi ini, kemiskinan menjadi determinan.

Di penampungan, enam gadis cilik berusia antara lima sampai sepuluh tahun sedang bermain-main. Mereka adalah penyintas kekerasan seksual dalam prostitusi anak. Dibalik tawa mereka tersimpan duka yang tak termaknai oleh nalar. Bagaimana anak-anak belia itu harus mengalami kekerasan seksual yang sistematis? Oleh sebab itu penampungan memberikan mereka dampingan berkelanjutan dari terapis profesional untuk membuang sisa-sisa proses internalisasi seksisme dan erotisme yang diberikan pada mereka.

Cacho sekali lagi menemui dan berbicara dengan salah seorang penyintas bernama Qui, 17 tahun. Ia dijual oleh pamannya sendiri pada seorang mucikari asal Filipina sewaktu Qui masih berusia 12 tahun. Pamannya berkata jika hanya dengan cara itu Qui bisa lepas dari jerat kemiskinan. Qui salah satu yang tertua, yang lain berusia 7 hingga 10 tahun. Di dalam rumah bordil mereka dilatih untuk menjadi ahli dan penurut. “Mereka yang berusia di bawah 10 tahun tidak akan berhubungan badan sampai ada orang yang mau membayar untuk itu. Mereka yang berusia di atas 10 tahun akan dijual beberapa kali sebagai perawan dengan harga mencapai 300 dolar.” (Cacho, hal. 94)

Pro Kontra Terhadap Prostitusi

Pada tahun 2014 kampung prostitusi Dolly ditutup paksa oleh pemerintah kota Surabaya. Motif moral digunakan pemerintah sebagai legitimasi untuk menutup total tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara itu. Penolakan dari pihak mucikari, germo, pekerja seks, dan beberapa ornop menyeruak. Alasan dari kubu penolak adalah alasan ekonomis: dengan adanya prostitusi Dolly, perekonomian warga jadi terbantu; warga sekitar bisa menjual produk barang maupun jasa, seperti warung-warung kecil, salon, jasa parkir, jasa pengamanan, dan sebagainya.

Dalam hal ini motif moral berhadapan dengan motif kebebasan ekonomi. Perdebatan keduanya sukar mencapai titik temu, sebab motif-motif itu abai terhadap realitas prostitusi sebagai permasalahan struktural yang melibatkan banyak kepentingan individu berkuasa untuk memperkaya diri dengan cara ilegal atau merampas kebebasan orang lain.

Bagaimana cara rumah bordil mendapatkan perempuan-perempuan yang “dipajang” ? Berapa usia mereka ketika para germo merekrut mereka? Ikatan “kerja” seperti apa yang terjalin di antara para germo dengan para perempuan itu? Pertanyaan demikian luput untuk dijawab oleh pihak pro dan kontra prostitusi Dolly, yang hanya melihat prostitusi dari sudut pandang moral-parsial.

Pada konteks prostitusi, konsep filosofis  kebebasan ekonomi serupa pisau bermata dua: Di satu sisi menjunjung tinggi kebebasan para pekerja seks komersial, di sisi lain membiarkan prakondisi determinan bagi terbentuknya industri itu.

Cacho menemui beberapa kalangan feminis dan akademisi yang pro dengan legalisasi prostitusi. Kalangan ini “Kerap berseberangan dengan organisasi-organisasi yang bertujuan menghapus prostitusi (…) Mereka beranggapan jika angka mengenai jumlah korban di dunia sering berlebihan dan sebenarnya ada kemungkinan untuk membedakan dengan jelas antara prostitusi sukarela dan prostitusi paksa.” (Cacho, hal. 256)

Seorang feminis dari Spanyol, Carolina Hernandez, anggota Colectivo Hetaira berargumen:  “Menjadi pekerja seks itu sesuatu yang penting. Kerja seks, demikian sebutan untuk prostitusi dewasa ini, melibatkan mucikari, pelacur, mafia, dsb. Tapi tidak diperhitungkan bahwa menjadi pekerja seks adalah sesuatu yang dipilih secara bebas. Kau mengambil keputusanmu sendiri.” (Cacho, hal. 267) Keyakinan Hernandez tumbuh dari interaksi aktivisme bersama pekerja seks komersial.

Antropolog Meksiko Marta Lamas berujar agar kita tetap menentang segala bentuk eksploitasi yang disebabkan oleh kapitalisme, namun dengan tetap memberi pengecualian bagi motif “kebebasan” yang dipilih oleh pekerja seks: “Dan saya yakin strateginya bukan dengan “menghapus”, melainkan “meregulasi”. Kita harus berhenti bicara soal ”pelacuran” dan mengartikannya kembali sebagai “pekerjaan” asalkan tidak mengandung paksaan.” (Cacho, hal. 270)

Tentu menghargai martabat dan memenuhi hak-hak perempuan itu penting dan mendesak. Namun jika benar adanya bahwa “kebebasan” yang menjadi ideal orang-orang di muka—maka perjuangan akan hak-hak pekerja seks tetap harus diiringi dengan perjuangan untuk menghapuskan perbudakan seksual itu sendiri; yang berarti membongkar hingga ke akarnya—jika tidak perempuan atau anak-anak lain tetap akan menjadi korban baru.

Normalisasi keberadaan prostitusi kadang mengaburkan selubung bisnis perdagangan perempuan atau anak-anak. Kesaksian-kesaksian dari para penyintas—perempuan maupun anak-anak, tidak boleh dipandang sebelah mata dengan lebih memperhitungkan kesaksian pekerja seks sukarela. Dengan kata lain, menyerahkan kompleksitas kejahatan perdagangan manusia untuk eksploitasi seksual hanya pada konsep filosofis “kebebasan ekonomi” dan legalitas hukum suatu negara justru seakan melegitimasi perbudakan seksual dibaliknya.

Dari film Sound of Freedom kita bisa melihat secuil kisah nyata tentang perdagangan anak yang mungkin tidak bisa kita saksikan di film-film lain. Bagi sebagian kalangan kritikus film yang puritan, Sound of Freedom mungkin hanya berfungsi sebagai medium standar untuk propaganda politik, namun bagi para orang tua yang diceritakan di dalamnya itu bernilai lebih: kejahatan perdagangan anak untuk eksploitasi seksual adalah fenomena global dan sudah selayaknya mendapatkan perhatian dari masyarakat global.

Tak ada solusi efektif untuk memberantas perdagangan anak secara signifikan di dunia yang masih dipenuhi oleh kemiskinan. Industri pornografi berkembang pesat seiring dengan berkembangnya dunia porstitusi anak. Perdebatan tentang jalur legal maupun ilegal hanya menjebak kita ke dalam lingkaran setan yang tak terputus—sementara itu di bagian dunia lain para pedagang manusia sibuk memperbaharui tindak-tanduknya.

Referensi:

1.  Sound of Freedom. Disutradarai oleh Alejandro Gomez Monteverde. Angels Studio, 2023.

2. Cacho, L. (2021). Bisnis Perbudakan Seksual: Menelusuri Perdagangan Perempuan dan Anak-anak Internasional. Jakarta: Marjin Kiri


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Darius Tri Sutrisno

Pengajar di Sanggar Merah Merdeka. Sedang buka warung kopi kecil sekali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *