Review film Children of Heaven : Antara Sepatu dan Surga

422 0

Film Children Of Heaven  mengisahkan  Ali (Amir Farrokh Hashemian) yang tidak sengaja menghilangkan  satu-satunya sepasang sepatu milik adik perempuannya, Zahra (Bahare Seddiqi). Zahra dengan kepolosanya   berusaha menyembunyikan kabar buruk tersebut dari ayah mereka  (Mohammad Amir Naji) dan ibu yang sedang sakit (Fereshte Sarabandi). Mereka merancang sebuah rencana  untuk membagikan sepasang sepatu kets milik Ali sendiri sampai mereka bisa menemukan sepasang sepatu baru untuk Zahra. Film ini merupakan film produksi Iran tahun 2000 dan disutradarai oleh Majid Majidi. Film ini mendapatkan apresiasi yang luas dan mendapatkan Academy Award for Best Foreign Language Film.

 

Sepatu dan Surga

Saya mencoba mengambil dua hal yang ada dalam film “ Children of Heaven” yaitu sepatu dan surga. Pertama: Sepatu. Perjuangan Ali mendapatkan sepatu dimulai ketika dia menghilangkan sepatu milik adiknya. Bagi Ali, mengembalikan sepatu milik adiknya atau menggantikannya adalah segalanya. Sepatu adalah surga dalam kaca mata Ali. Kedua; Surga yang kerap digambarkan sebagai keindahan, kedamaian, kepenuhan yang diimpikan semua manusia. Walaupun sangat subyektif saya yakin tidak ada yang menolak surga. Surga bagai saya dan mungkin sebagian besar umat manusia adalah sesuatu hal yang perlu diperjuangkan.

Walaupun perdebatan tentang surga tidak mungkin selesai dan membingungkan tetapi bagi saya tetap menarik. Dalam benak Ali mungkin tidak pernah terbersit pikiran tentang surga,  yang dipikirkan hanya sepatu dan sepatu. Bagi dia, ketika tidak lagi harus bertukar sepatu dengan adiknya, terlambat ke sekolah dan kemungkinan didamprat orang tuanya adalah keutamaan (saya menyebutnya surga). Ali berjuang untuk surganya. Ali adalah golongan manusia yang berhasil dan mampu memaknai realitas. Memaknai realitas  yang dimaksud bisa saja, terkait kesadaran bahwa kepenuhan  manusia  terletak pada pencapaian akan sesuatu (obyek)  dan kemanfaatan obyek untuk dirinya sendiri dan orang lain.

Baca juga : Apakah Tujuan Kita Belajar Filsafat ?

Surga Ali tentu tidak sama dengan orang lain. Ada golongan yang menganggap surga adalah kemungkinan tercapainya ekstase akibat pemakaian obyek sebagai alat kepenuhan individu.  Surga bagi mereka adalah untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain. Pandangan ini merupakan keberhasilan modernitas dan globalisasi untuk mengalienasi individu dari lingkungannya. Dikatakan keberhasilan karena ini karena trap (jebakan) atau ceruk yang dipasang modernitas telah berhasil menyingkirkan manusia dari realitasnya sebagai mahluk sosial.

Janji Globalisasi

Ketika manusia menemukan teknologi film ataupun media massa lainya, harapannya adalah inovasi teknologi tersebut berguna bagi manusia. Pakar komunikasi kemudian mencoba merumuskannya sebagai alat mendidik, menghibur, menginformasikan dan menggambarkan. Menjadi berguna tentu bukan perkara mudah. Modernitas dan globalisasi kerap menjadi alibi untuk menyulitkan harapan nilai guna dari media massa.

Globalisasi menciptakan surga melalui media massa, obyek konsumsi, libido, dan kesenangan. Surga dimuncukkan melalui rekyasa citra dan tampilan. Jean Baudrillard menyebutnya sebagai simulasi  yaitu ketika tampilan terlepas dari realitas konkritnya dalam hubungan social manusia. Secara singkat konsep Baudrillard ini dijelaskan sebagai berubahnya logika konsumsi dari nilai guna (need value) ke arah logika nilai tukar (exchange value). Misalnya: merasa seksi dan pede (baca: percaya diri) ketika menggunakan tanktop, celana merk Levis/ Lea, atau handphone mutakhir atau sebaliknya merasa minder dan ndeso ketika tidak memakai barang bermerek dan sebagainya. Kepenuhan akan obyek konsumsi yang tawarkan modernisasi dan globalisasi adalah surga bagi hedonis, konsumeris dan individualis.

Baca juga : About A Women, Pergolakan Sepi Seorang Perempuan

Entah disadari ataupun tidak media massa (radio, televisi, media cetak internet dan film) adalah jembatan emas bagi pemilik modal / kapitalis sebagai empunya globalisasi. Media menjadi alat produksi dan distribusi realitas palsu/ pseudo reality/simulasi yang mencekoki otak kita dengan makna palsu/ fethisisme. Walaupun tidak bisa mengelak globalisasi dan modernisasi masih ada jalan bagi manusia untuk tidak hanyut. Alternatif adalah :  Pertama , melek realitas yaitu dengan mengembalikan fungsi dan hakekat sosial individu dalam masyarakat. Refleksi, diskusi dan aksi adalah salah satu cara yang bisa diandalkan. Kedua, Melek media, memahami media sebagai cermin realitas adalah kesalahan, media adalah alat produksi dan reproduksi realitas yang di dalamnya terdapat muatan politik media yang bisa disebut sebagai agenda setting. Masih banyak alternative yang bisa dilakukan tinggal kemanusian kita memilihnya.

Apresiasi personal saya terhadap film Children of Heaven adalah “mampu menjawab nilai guna mendidik, menghibur, menginformasikan dan menggambarkan realitas. Pemilihan setting, alur cerita, dialog dan penokohan film ini menghasilan gambaran yang lengkap tentang realitas. Realitas kesederhanaan dan perjuangan untuk hidup. Bagi saya pribadi makna film ini adalah kesederhanaan dan perjuangan untuk hidup dan jadi hidup” (Andre Yuris/2014)

 


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *