“Nyerah sama realistis itu beda tipis, Gy,” kata Keenan. Lalu Kugy pergi karena Keenan menyerah. Keenan memutuskan pergi dari rumah dan keluar dari kampus. Dia ingin jadi pelukis, ia tidak ingin kuliah di ekonomi. Hingga suatu waktu ia melihat lagi dunia ternyata begitu besar dan kejam pada para pemimpi seperti dirinya.
Kugy berusaha menenangkannya, memberitahu tentang kekuatan mimpi-mimpi. Ada berapa banyak pelukis yang kamu kenal di dunia ini, Gy? Kata Keenan pada Kugy. Maka Keenan dan Kugy sama-sama menghilang dan tak berhubungan lagi.
Pendek cerita, Keenan kembali ke Jakarta, ternyata ia dari Bali belajar melukis. Maka ia bertemu lagi dengan Kugy dan akhirnya mereka menikah, Keenan jadi seniman dan Kugy jadi pendongeng. Pesan filmnya adalah percayalah pada mimpimu. Ah Indah bukan?
Saya kira nasib yang sama akan terjadi pada kita. Karena saya yakin Dee menceritakan itu berdasarkan riset dan pengalamannya. Seperti halnya dia menulis serial Supernova atau cerpen Rico de Coro-nya. Maksudku kita-kita yang memutuskan, memilih pindah jurusan yang sudah sampai di semester 3, tidak harus menyerah lagi dan harus percaya pada pilihan kita layaknya Keenan yang yakin.
Meski pun beberapa hal akan terdengar muskhil sekali. Seperti misalnya, kamu bisa dengan mudah menghiraukan teman-temanmu yang sudah wisuda duluan. Kau tahu lah, kita akan tiba pada suatu masa dimana kita akan melihat teman-teman seperjuangan kita wisuda. Kamu lari kemana pun foto yang di upload teman sejawatmu di fb dan di Ig, itu akan datang dengan sendirinya seperti notifikasi sms operator jaringan. Ini nih, kamu seidealis apa pun, kamu pake jimat data statistik banyaknya pengangguran yang sarjana atau menampik-tampik hal itu dengan quotesnya Cobain, hatimu bakalan tetap goyah. Yakin deh.
Lihat foto teman pake toga atau foto teman yang sudah lulus duluan pergi ke Pare, terus mereka upload foto ke facebook dengan background yang ada tulisan Inggrisnya: Scholarship to Japan. Kelar hidup lo!
Dan pada waktu-waktu inilah, semua terasa seperti puisinya Aan Mansyur, aku sendiri dan tidak berada disini. Semua orang adalah orang lain. Kau mulai bertanya-tanya tentang ‘tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu’-nya Gie. Ah, apakah harusnya dulu saya tidak pindah jurusan? Baru semester 3. Semua teman saya sudah lulus. Kita berada pada tekanan batin yang besar sekali disini.
Ada satu kenyataan yang masuk akal bahwa pindah jurusan itu salah. Adalah ketika ada teman kamu yang dari awal mengaku tidak menikmati kuliah dan jurusan yang dia ambil katanya bukan passionnya. Tapi dia wisuda. Lalu dalam suatu waktu dia akan datang pada kita dengan wajah mirip filsuf yang seolah-olah sudah mengilhami banyak makna hidup dan bilang, “ternyata jalani saja dulu mas, pasti kita akan nikmati.”
Dan saya pikir, masuk akal juga. Bahwa mungkin dulu saya belum terlalu mengenal si Jurusan yang saya tempuh. Sama mungkin dengan sistem nikah ala perjodohan. Kamu jangan buru-buru menceraikan suamimu, kamu mungkin belum mengenalnya secara utuh.
Ujung-ujungnya, Kita yang karena hanya ingin sekedar jadi ‘pelukis’, Kita yang hanya karena tetap ingin jadi Ikan yang bisa berenang bukan ikan yang bisa berenang sambil memanjat kalau kata Einstein, Kita yang percaya pada hati nurani (ini kayak iklan partai, sorry), mulai bertanya-tanya tentang kebenaran sikap kita. Saya sih masih berharap kita memang benar-benar memilih jalan yang tepat.
Tapi begini, ada sebuah hukum di alam semesta yang merancang kita untuk selalu menyelesaikan apa yang belum selesai. Baik itu yang berhubungan dengan kita maupun tidak. Dalam tataran spiritual kita diutus oleh Tuhan untuk menjadi pemimpin di dunia. Pemimpin tugasnya ada tiga: menemukan masalah, mencari solusi, dan harus berdampak. Tolong beritahu saya ada berapa banyak dari kita anak muda -yang sarjana tentunya karena mereka lebih kompeten- mampu mendeteksi masalah. Dan bagaimana caranya?
Sedikit sekali saudara-saudara. Ada banyak orang yang cerdas di dunia ini. Sarjana adalah orang cerdas. Tapi cerdas berbeda sekali dengan kritis. Masalahnya begini, kalau kita hanya cerdas, ternyata pikiran kita hanya terpaku pada hal-hal yang simbolis, teori yang sifatnya abstrak. Sedangkan dunia kadang kebalikan dari itu. Tapi memang kita perlu tetap belajar teori karena itu metode kita untuk mengenal masalah-masalah ini. Tapi itu bukan tujuan. Ini sama dengan saya bilang, Kalau kamu kuliah selama ini wilayah langkah kakimu hanya cukup sampai di area kampus, kemudian kamu bekerja dan kerjamu tetap hanya sampai di kantor maka otakmu perlu di rehabilitasi.
Korelasinya adalah pindah jurusan merupakan dampak kinerja alam semesta untuk membawa kita pada situasi atau sudut pandang yang berbeda. Ada satu masalah saat kita kuliah di jurusan pertama kita. Kita merasa terperangkap disana. Maka kita memutuskan keluar dan pindah jurusan. Nah masalah yang sama tetap ada, tapi kemudian lebih mudah untuk kita selami dan kurangi tekanannya. Karena kita lebih santai menghadapinya. Itulah mengapa, orang-orang yang tidak lulus tepat waktu memiliki pemikiran yang berbeda. Hingga ini berujung pada karakter mereka yang kuat.
Begitu pula dengan orang-orang yang terdeteksi sebagai aliansi mahasiswa tua kampus yang terperangkap pada birokrasi yang sifatnya terlalu politis. Maka kedua jenis mahasiswa ini, mulailah mereka mengenal politik. Banyak anak muda dari kita, tidak suka dengan politik. Karena konotasi kata politik yang terdefinisi negatif. Padahal pendapat itu sebenarnya sama dengan teori pengenalan tadi. Kamu belum terlalu mengenalnya jangan takut dulu. Kamu akan mengenal bahwa Setya Novanto adalah ayah dan suami yang baik karena dia punya banyak duit bisa membahagiakan istri dan anaknya. Atau bahwa di Wakatobi adalah tempat yang baik untuk membangun hubungan politik keluarga.
Percaya sama saya, semakin kita tua, hidup kita akan semakin dekat dengan politik. Karena itu, anak muda itu perlu mengenal politik.
Bahwa pindah jurusan dan ‘sengaja’ menunda kelulusan itu benar dan penting. Mungkin ini butuh diskusi panjang. Tapi saya ingin memberi pembelaan begini. Kenapa penting? Karena banyak dari kita yang wisuda, tapi tidak tahu mau kerja apa. Ujung-ujungnya cari kerjaan di kelurahan, dan nikah. Selesai. Karena mereka dari awal telah terperangkap. Mereka tetap memaksa harus bisa berenang ke dasar laut padahal mereka bukan ikan. Mereka 4 tahun hidup dalam kurungan itu, hingga pandangan mereka jadi sempit. Tidak kritis, gampang mengangguk. Jadilah generasi penurut. Klise ya? Ya begitulah.
Pesan moralnya adalah kalau kamu tidak nyaman dengan situasimu sekarang maka pidahlah. Karena kita bukan pohon, kita ini manusia. Tapi bagaimana dengan orang tua kita? Orang tua sodara-sodara, mereka harus kita hormati, ini jelas. Tapi perlu kalian ketahui, menghormati tidak sama dengan mengikuti seluruh apa yang diperintahkannya, sebab -tolong ingat ini- orang tua bukan Tuhan. Saya pikir kita perlu memberi batas bahwa tidak selamanya permintaan orang tua harus kita jalani.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan