Jejak Kerusakan Ekologis Pengeboran Iodium PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang

Sriyati melayani pembeli seperti biasanya ketika Sungai Avur Watudakon tiba-tiba meruap kala hujan turun pada Januari 2021. Awalnya, ia menyaksikan pemandangan itu dengan biasa. Maklum, banjir sudah menjadi kawan akrab warga di Dusun Beluk, Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang.

235 0

Setiap tahun banjir akan selalu menyeruak, entah sekali atau dua kali. Hanya saja, ia beruntung karena banjir tak pernah menyambar warungnya yang mangkal di perbatasan Dusun Beluk dengan Desa Belimbing.

Kene wes wong cilik, mosok kate dikeki soro sisan” (Kita ini orang kecil, masa harus dikasih sengsara juga),” ujar Sriyati pada Sabtu, 27 Januari 2024.  

Namun, lama-lama ia berpikir bahwa banjir yang datang kali ini sungguh berbeda. Biasanya, banjir akan segera surut pada hari kedua atau ketiga. Anehnya, hingga hampir dua minggu genangan air makin menggila dan meluber ke wilayah Mojokerto yang meliputi Desa Tempuran, Desa Kedinding, dan Desa Kucuk.

Kala itu, Mundjidah Wahab, Bupati Jombang, datang untuk menengok warga Dusun Beluk yang tengah sengsara. Ia datang memberikan bantuan berupa air mineral dan nasi bungkus kepada warga yang terdampak banjir.

Ketika warga memintanya untuk melihat seluruh genangan air di Dusun Beluk dengan menggunakan perahu yang susah payah disiapkan, Mundjidah menampik tanpa memberikan alasan. Merasa tak dihargai, seorang warga mendamprat orang nomor satu di Jombang itu.

Saking nemen banjire, bupati ae sampek dipisuhi (saking parah banjirnya, bupati lho sampai dimaki),” kata perempuan berusia 43 tahun tersebut.

Melihat tidak ada tanda-tanda akan surut, warga kemudian bergotong royong membersihkan sampah di Sungai Watudakon. Berjibun karung sampah itu diduga keras merupakan kiriman dari desa lain. 

Syahdan, mereka turut membuka penyaring sampah di bendungan kecil Sungai Watudakon. Sebab, infrastruktur air itu malah membuat sampah tertumpuk dan aliran air tertahan. Banjir akhirnya surut pada hari ke-15 dan warga dapat melanjutkan aktivitas kembali.   

Banjir di Dusun Beluk, Jombok selama 15 hari pada Januari 2021/Sumber: Panji

Ketika banjir datang, seluruh aktivitas warga lumpuh total. Tak ada warga yang berangkat bekerja. Tak ada warga yang berangkat ke sawah. Tak ada pula anak-anak yang berangkat ke sekolah. 

Semuanya terduduk lesu di emperan rumah sambil memasang raut wajah pasrah menunggu banjir akan surut. Hanya tahun 2021 saja warga berduyun-duyun menghentikan banjir yang makin lama makin tak karuan.

Yang pasti, banjir memberikan dampak yang paling buruk kepada petani. Betapa sawah adalah wilayah yang pertama kali dilalui luapan Sungai Avur Watudakon sebelum meluber ke pemukiman penduduk. Ada sekitar 50 hektar sawah yang terendam banjir.  

Terkait itu, Arifin, petani di Dusun Beluk bercerita bahwa banjir membuat tanaman padi miliknya menjadi mati. Sehingga, ia mesti menanam lagi dan mengulang perawatan padi dari awal.

Bila tak ada uang untuk itu, ia terpaksa pergi ke bank untuk meminjam modal. Menurutnya, bila petani meminjam uang Rp15 juta di bank, maka bunga yang diperoleh Rp1,8 juta per musim tanam atau per tiga bulan.  

“Kita bisa mengembalikan itu kan kalau padinya bagus. Lah kalau padinya tak sesuai harapan? Ya mau gimana lagi, kita kan pastinya mencari pinjaman lain untuk membayarnya. Jadinya kan gali lubang tutup lubang,” katanya pada Minggu, 28 Januari 2024.

Pengalaman yang demikian membuat ia tak mau lagi pergi ke bank dan berharap banjir tak akan datang lagi. “Ya, semoga tahun ini nggak ada banjir lagi lah,” pungkasnya lirih. 

Penyebab Banjir Guyur Pemukiman

Desa Jombok memiliki empat dusun, yaitu Dusun Beluk, Dusun Plosorejo, Dusun Segunung, dan Dusun Jombok. Daerah yang terendam banjir ialah Dusun Beluk.

Panji, warga Dusun Beluk menduga bahwa penyebab banjir tak hanya kesalahan pembangunan infrastruktur air, melainkan juga penurunan muka tanah akibat pengeboran iodium yang dilakukan PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang sejak tahun 1926.

Ia bercerita bahwa banjir pertama kali melanda Dusun Beluk pada tahun 2010. Sebelum tahun itu, banjir tak pernah datang walau kondisi Sungai Watudakon dangkal. Sebagai sarjana Teknik Sipil, ia berusaha mencari akar masalah bencana itu.  

Pada tahun 2011, ia bersama beberapa kawan mencoba melakukan uji kondisi tanah di Dusun Beluk. Hasilnya, Dusun Beluk mengalami penurunan muka tanah lebih dari 50 cm. Itu terjadi selama 85 tahun dari rentang PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang didirikan hingga uji kondisi tanah itu dilakukan.

“Zat cair itu kan menghuni ruang-ruang di dalam tanah. Ya otomatis ketika cairan diambil itu akan menimbulkan ruang kosong. Ketika ada beban berat, entah itu beban hidup atau mati, tanah akan turun. Untungnya sampai saat ini tak pernah terjadi sinkhole,” tutur Arifin, pada Sabtu, 27 Januari 2024.

Namun, pendapat itu disanggah Yuli Inayati, Kepala Bidang Pengendalian, Pengawasan, dan Penegakan Hukum Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jombang. Menurutnya, tidak ada korelasi sama sekali antara penurunan muka tanah dengan banjir. 

Selama mempelajari dampak pemanasan global, ia mengaku tak pernah menemukan bila penyebab banjir berasal dari penurunan muka tanah.

“Dampak pemanasan global yang saya pahami, salah satunya kan meningkatkan permukaan air laut. Itu yang kemudian membuat pesisir tenggelam. Setahu saya, kalau permukaan tanah turun ya dampaknya ke kondisi air bersih kita yang berkurang,” ujarnya pada Senin, 12 Februari 2024.

Kendati demikian, Wahyu Eka Setyawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur membantah Yuli dan mengkonfirmasi Panji. Menurutnya, aktivitas pengeboran cairan di dalam tanah dapat menyebabkan banjir. Apalagi bila dilakukan secara intensif dan berkelanjutan.

“Ya jelas, yang namanya mengebor dan mengeruk. Otomatis struktur tanah menjadi berubah, dari padat menjadi rapuh. Lalu jika ada hujan lebat sementara cengkraman tanah berubah, ditambah tidak ada vegetasi penahanan air. Maka peluang banjir akan tinggi, sebab air tidak ada yang mengendalikan dan menyerap,” jelasnya saat dihubungi melalui WhatsApp Messenger pada Jumat, 16 Februari 2024. 

Pengambilan iodium yang intensif itu dapat dilihat dalam penelitian Maisyatul Hanik dan Edy Budi Susanto yang berjudul PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang: Produksi Yodium Dalam Upaya Penanggulangan GAKY Tahun 1970-1990. Mereka menjelaskan bahwa iodium yang dihasilkan dari pengeboran PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang pada 1926-1945 sebesar -+ 60 ton/tahun, pada 1949-1955 sebesar -+ 60 ton/tahun, pada 1956-1959 sebesar -+ 36 ton/tahun, pada 1974-1981 sebesar 24,6 ton/tahun, dan pada 1986-1990-an sebesar -+80 ton/tahun. 

Peningkatan yang pesat pada tahun 1990-an itu terjadi karena pemerintah menggunakan metode pengolahan lebih canggih setelah melakukan kerja sama dengan para ahli iodium Jepang. Hal ini diukur bila dibandingkan pada tahun 1956 dan 1970-an ketika hasil produksi cenderung merosot.

Dengan jumlah yang demikian, tentu tak heran bila penurunan muka tanah terjadi yang kemudian memicu Dusun Beluk menjadi langganan bencana alam banjir. 

Setelah Banjir, Hama Tikus Datang

Kini, PT Kimia Farma Plant Watudakon Jombang hanya berfokus menjalankan kegiatan farmasi dan tak lagi memproduksi iodium untuk fortifikasi garam yodium. Karenanya, perusahaan itu menutup seluruh aktivitas pengeboran mulai Februari 2024.

Namun, jejak kerusakan ekologis yang ditinggalkan oleh perusahaan itu begitu parah. Setelah banjir menghantam habis tanaman petani, banyak tikus yang berdatangan. Hama tikus paling parah terjadi di Dusun Plosorejo, yang terletak di sebelah Selatan Desa Jombok.

Pasalnya, habitat tikus yang ada di Dusun Beluk telah rusak, sehingga banyak tikus kemudian berpindah ke Dusun Plosorejo. Mereka memakan dan merusak habis tanaman petani yang ada di sana. Akibatnya, banyak petani yang merugi dan tidak bisa menikmati hasil panen. 

Ranjau Setrum petani Dusun Plosorejo, Jombok

Margono, Petani di Dusun Plosorejo bercerita bahwa tahun 2021 sempat menanam bawang merah di sawahnya. Alih-alih mendapatkan hasil yang gemilang, tanamannya justru tandas dimakan tikus. Ia pun tak mendapatkan bawang merah barang secuil pun. 

“Petani itu memang petarung. Jadi petani harus jadi orang yang sabar dan ikhlas,” kata Margono pada Minggu, 28 Januari 2024.

Untuk menanggulangi itu, ia bersama petani lain membuat ranjau setrum. Ranjau itu dipasang di sekeliling sawah sebelum Adzan Maghrib berkumandang. Mereka menggunakan diesel dengan bahan bakar Gas LPG untuk menghantarkan listrik. Dengan metode alternatif ini, setiap tikus yang tersentuh ranjau akan mati. 

Pada tahun 2021 silam, petani dapat memperoleh ratusan tikus dalam sehari. Di tahun 2024, mereka cukup beruntung karena tikus tak sebanyak tiga tahun lalu. 

“Seperti bapak ini, di musim tanam hari pertama mendapatkan 50 tikus. Di hari kedua dapat 45 tikus. Dan, di hari ketiga dapat 15 tikus,” katanya sambil menunjuk karibnya sesama petani.

Namun, metode alternatif itu bukan tanpa resiko. Ada saja petani yang kesetrum dan konon sampai meninggal. Sementara bantuan racun tikus yang diberikan pemerintah, menurut Margono, tak cukup efektif menuntaskan masalah hama tikus. 

Ia mengakui bahwa racun tikus memang dapat membunuh tikus. Namun, jika pemakaiannya terus digenjot, maka tanaman dapat menjadi rusak. Burung hantu juga digunakan untuk mengentaskan hama tikus pun bisa mati bila memakan tikus yang keracunan. Dan, tikus yang keracunan acapkali menghancurkan tanaman yang ada di hadapannya sebelum mati.

Karena itu, tak ada pilihan yang efektif bagi petani selain menggunakan ranjau setrum.

“Ya memang serba salah jadi petani. Petani ingin hasil dengan cara pasang setrum. Terus kalo ada kejadian orang kesetrum petani yang disalahkan dan bisa dipidana. Tapi kalo nggak pakai setrum tanaman dimakan tikus petani kan jadi rugi. Gitu pemerintah mau bantu nggak?” pungkasnya.

*Demi keamanan Narasumber kami mengganti nama mereka dengan samaran Sriyati, Panji, Arifin, dan Margono.

*Liputan ini merupakan bagian dari “Story Grant Bencana Akibat Kerusakan Ekologis” yang diadakan The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) dan Ekuatorial. Terbit pertama kali di Idenera.com pada 24 Februari 2024.

Editor: Rangga Prasetya Aji Widodo 


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Muhammad Akbar Darojat Restu Putra

Jurnalis Pers Mahasiswa, Kontributor Idenera

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *