Jujur saja Tentang Demo

168 0

Masih jadi aktivis dulu, saya suka sesekali demo, sesekali ya. Bukan suka sekali. Tidak seringkali. Biasanya ikut demo itu yang mengkritisi dengan kajian dan poin-poin jelas. Atau ada nilai seninya.

Dua demo yang saya ingat baik adalah demo hardiknas di era SBY, naik sepeda onthel keliling Jogja. Mengkritisi pemerintah tanpa merepotkan masyarakat. Karena dengan demo berkeliling naik onthel sambil yang dibonceng pegang tulisan protes, pesan bisa lebih tersampaikan simpatik. Ini yang paling saya kenang, karena jujur memang bukan penyuka demo anarkis.

Kedua, demo memprotes eksekusi mati Ruyati di Saudi kala itu bersama kawan-kawan gerakan Cipayung di Jogja. Pakai dramatikal segala untuk menyerap pesan dari demo itu sendiri. Jangan sampai demo lebih banyak monolog dan orasi gagah tanpa refleksi.

Beberapa hal yang saya tak suka dari demo, adalah candu bagi sebagian orang buat sekadar demo memuaskan fantasi intelektualnya. Lalu yang ujung-ujungnya teriak mundur tanpa alasan dan kajian logis. Serba segala sesuatu ujungnya si Pulan mundur, si Maju mundur, cantik.

Penulis saat masih mahasiswa dan ikut berdemonstrasi di Jogjakarta. Foto : Dok. Pribadi Thom Sembiring

Sisanya adalah trend menjadikan demo sebagai ajang cari panggung. Supaya kelihatan keren. Biasanya demo begini, tanpa persiapan mendalam. Sifatnya asal teriak. Kalau ditanya nanti seluruh peserta aksi, bakal sulit mengelaborasi poin dalam aksi mereka sendiri. Model begini, kalau tak terpaksa saya menghindar.

Rapat aksi terakhir demo yang saya ikuti di Jogja beberapa tahun silam, saya ajak kawan-kawan untuk berefleksi selain berdiskusi. Pakai hati selain adu pemikiran. Misalnya, selain kajian poin aksi, adalah bagaimana manajemen aksi keseluruhan berjalan baik dan pesan tersampaikan.

Ini yang paling penting, pesannya tersampaikan. Karena demonstrasi tujuannya kan menyalurkan aspirasi yang tak terwakili oleh para anggota dewan yang mulia. Maka jangan sampai demo jadi ajang pamer diri, pamer gagah dan pamer foto selfie saja.

Perlu mengetahui psikologi massa. Apakah kalau demo di satu titik, bakal mengganggu atau tidak. Sebab kalau rakyat sudah terganggu, ya percuma. Atau demo di perempatan yang hanya dilintasi pengendara. Mereka yang berhenti karena lampu merah, paling banyak 60 detik berhenti, apakah mereka bisa memahami pesan dengan teriakan yang mubazir, dll.

Poster tuntutan perserta aksi di Surabaya (26/09/2019). Foto : Andre Yuris

Saat itu, penyampaian aspirasi model Change.org juga sudah muncul. Sehingga didorong kawan-kawan memanfaatkannya dengan baik. Demo model orasi dan kebanyakan teriak, mulai kehilangan pendengar. Maka mesti kreatif benar.

Belum lagi kalau demo cuma sepotong sepotong tanpa keberlanjutan. Besok demo harga BBM naik, lusa demo perlindungan TKI, bulan depan demo belis alias mahar naik. Tak simultan dan tak membuat mahasiswa mendalami benar sebuah isu demonstrasi ditengah banyaknya tugas kampus.

Sampai saat ini, saya kalau diajak bertemu adik-adik mahasiswa. Selalu saya dorong agar demo mereka lebih naik level sebagai lapisan masyarakat intelektual. Terlebih di alam demokrasi dengan segala saluran yang bisa dipakai. Mulai dari tulisan hingga sosial media. Dengan begitu, kapasitas mereka lebih teruji dan berguna bagi masa depan negeri saat mereka memimpin.

Paling canggih beberapa tahun lalu, ada mahasiswa yang melakukan Judicial Review ke MK untuk protes sebuah UU yang dilahirkan dari Senayan. Itu jadi contoh paling keren yang selalu saya jadikan rujukan.

Tapi apakah demo dengan model sekarang keliru? Tidak juga. Hanya saja, masa dari zaman angkatan 66 yang terbatas demokrasinya hingga era YouTuber sekarang, tak ada inovasi gerakan dari mahasiswa. Bukankah mahasiswa adalah agen perubahan? Masa merubah metode demonstrasi saja susah. Gimana nanti jadi pemimpin bangsa.

Poster tuntutan perserta aksi di Surabaya (26/09/2019). Foto : Andre Yuris

Maka saya pribadi masih membela mahasiswa yang dengan keterbatasan mereka, berusaha bersuara. Menyalurkan hak konstitusional mereka dalam alam demokrasi. Tapi bukan berarti membela kekurangajaran sebagian mereka yang hanya bisa kisruh.

Ada sih teman, bahkan banyak. Teman yang paling merasa intelektual, kalau demo itu mesti berlawanan secara fisik dengan Polisi unyu-unyu yang baru menyelesaikan pendidikan. Merasa terlihat keren dan paling aktivis kalau sudah bisa berhadapan langsung dengan Polisi sampai ribut. Mereka mungkin keseringan nonton Polisi film India yang korup dan juahat. Jadi imaji mereka kebawa saat demo. Ehm.

Itu sih kembali pada gaya masing-masing. Hak mereka juga buat begitu. Meski saya pribadi kadang merasa ada yang aneh dengan model demikian. Terus terang saja.

Poinnya, selama saluran demokrasi masih ada dan suara masih bisa disalurkan tanpa kekerasan, itulah yang pertama dan utama. Kecuali bahwa demokrasi dipasung dan anda tak lagi bisa lihat foto Dian Sastro di Instagram, atau saya dilarang posting banyak-banyak di Facebook serta media pun dikekang, ya bisa ditimbang opsi lain. Tapi sekali lagi ingat, tujuan demo itu apa dan bagaimana membuatnya efektif didengar serta menggerakkan perubahan.

Jadi, kawan-kawan mahasiswa, tak perlu risau dengan tudingan dibayar dan segala macam saat turun ke jalan. Mereka yang dibayar ya dibayarlah. Mungkin mereka kesulitan bayar uang kuliah yang mahal. Perusuh, berhadapan dengan hukumlah.

Tapi anda yang masih lurus, teruslah bergerak meningkatkan kapasitas diri dan gerakan. Siapa tahu kelak akan muncul Aksi Mahasiswa 4.0 di era zaman now yang lebih efektif mendorong perubahan. Coba cari jawaban atas kurang maksimalnya senior anda yang dulu jadi demonstran, kok melempem saat ada dalam kekuasaan.

Poster tuntutan perserta aksi di Surabaya (26/09/2019). Foto : Andre Yuris

Revisi metode gerakannya, siapa tahu kelak saat anda memimpin, metodenya pun tak mengulang gaya aktivis lama yang lamban sekali bikin perubahan. Makanya senior anda yang rapat di komisi DPR RI itu pun lamban dan kerap bikin Rapat Dengar Pendapat sore atau malam hari, saat semua orang sudah lelah. Bikin UU pun justeru saat sudah mau lengser masa jabatan.

Please, revisi segera gerakan dan pola konsolidasinya ya. Supaya gerakan mahasiswa tidak dibully oleh mereka yang sebenarnya menikmati hasil jerih payah kalian. Supaya dalam 5 tahun ke depan, kita bisa lihat gerakan mahasiswa dengan nilai A +.

Berapa jumlah kita? Banyak. Satu itu untuk masa lalu. Banyak itu untuk hari ini, karena kalian sejatinya banyak dan kuat. Banyak yang bisa kalian lakukan untuk perubahan. Teriakan satu, wujudkan saja dalam kedalaman hati agar benar-benar mewujud tak sebatas dalam teriakan.

Salam sempak. Selalu kompak!


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Tom Sembiring

Pegiat Gerakan Jangkar Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *