Mustofa Sam, 35 tahun, pendiri Kampoeng Dolanan meramaikan suasana di Jalan Tunjungan, Surabaya, pada Minggu (28/6), pukul 06.00. Ia menggelar lapak buku dan permainan tradisional. Anak-anak pun tampak ceria menikmati patil lele, hula hoop, dan egrang.
Lelaki itu telah mengabdikan hampir satu dekade dari hidupnya untuk menggerakkan Kampoeng Dolanan. Pada tahun 2016, Kampoeng Dolanan terlahir dari lingkungan pemukiman padat penduduk di dekat gedung penyimpanan gerbong kereta api di Jalan Kenjeran IV, Surabaya.
Ketertarikan Mustofa berawal dari keprihatinan atas dampak buruk yang ditimbulkan oleh ketergantungan anak-anak pada gawai. Ia mengamati bahwa anak-anak terjebak dalam dunia virtual yang berakibat pada merosotnya kepekaan sosial mereka dan meredupnya pengetahuan mengenai permainan tradisional.
“Orang tua memiliki peran penting dalam mengenalkan dan menghidupkan kembali permainan tradisional pada anak-anak,” katanya. Ia berpendapat bahwa kurangnya waktu yang dihabiskan orang tua bersama anak-anak dalam mengenalkan permainan tradisional telah mengakibatkan mereka kurang paham tentang kekayaan budaya.
Pandangan Mustofa sejurus dengan penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 yang menegaskan bahwa 33,44% dari anak-anak usia 0-6 tahun telah terpapar dan aktif menggunakan gawai. Data ini semakin diperkuat bahwa 24,96% anak-anak tersebut mampu mengakses internet secara mandiri. Angka ini memperlihatkan adanya tren kecanduan gawai yang semakin menguat pada kalangan anak-anak.
Pada tahun 2018, Menteri Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Rudiantara, telah mencoba mengajak orang tua untuk melakukan pengawasan dan pembatasan terhadap penggunaan gawai kepada anak-anak. Namun, ajakan tersebut masih belum sepenuhnya diterapkan oleh orang tua.
Sebagai upaya meredam tren tersebut, Kampoeng Dolanan muncul menjadi harapan bagi anak-anak untuk mengenal permainan tradisional. Dengan kerendahan hati, Mustofa mengalihkan energinya untuk mendidik anak-anak dan orang tua mereka mengenai pentingnya melestarikan permainan tradisional.
Meski ia bukan seorang pendidik formal, Mustofa menganggap bahwa pengetahuan seseorang bukanlah monopoli pendidik di dalam kelas. Baginya, setiap orang memiliki potensi untuk memberikan wawasan yang berharga kepada sesama.
“Dalam kunjungan yang kami lakukan ke berbagai daerah, reaksi anak-anak terhadap permainan tradisional sangat positif dan antusias,” katanya. Mustofa menyatakan bahwa minat anak-anak terhadap permainan tradisional mulai memudar akibat pola asuh orang tua yang kurang mendukung.
Mendukung pandangan itu, Putri Aisyiyah, seorang peneliti dari Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Negeri Surabaya (Unesa), mempertegas bahwa kecanduan anak-anak pada gawai merupakan tanggung jawab orang tua yang kurang memberikan pengawasan. Akibatnya, anak-anak menjadi kurang terarah dalam bermain dan kurang berinteraksi sosial.
Putri Aisyiyah menekankan pentingnya peran orang tua sebagai contoh teladan bagi anak-anak dalam penggunaan gawai. “Orang tua tidak hanya melarang, tetapi juga memberikan solusi yang konstruktif bagi anak-anak dalam menggunakan gawai,” tegasnya.
Dengan demikian, upaya Kampoeng Dolanan dan orang tua dalam membimbing anak-anak untuk memakai teknologi dengan bijak, membawa harapan akan masa depan yang lebih sadar dalam melestarikan permainan tradisional.(*)
Reporter: Hanif Rahmansyah. Editor: Rangga Prasetya Aji Widodo. Kredit Foto: Dokumentasi Kampung Dolanan
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan