Rumah Seni Pecantingan Menghidupi Kesenian

Rumah Seni Pecantingan terletak di Desa Pecantingan, Kecamatan Sekardangan, Kabupaten Sidoarjo. Bangunan kuno itu berjarak 3 kilometer dari Alun-alun Sidoarjo. Suasana di Rumah Seni Pecantingan begitu asri, memadukan alam dan budaya tradisional yang kental.

285 0
Rumah Seni Pecantingan, Sidoarjo

Zalfa Robby (34), sibuk mengecek bangunan belakang, sebuah tempat khusus untuk memproduksi karya seni. Tak berapa lama, lelaki berambut gondrong itu menghampiri kami. Ia lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kini, ia dan dua kawan, menjadi pengurus induk di Rumah Seni Pecantingan.

Lelaki itu berkata bahwa Rumah Seni Pecantingan sudah ada sejak lama. Namun, tahun 2001 mengalami vakum. Sebab, mereka tidak mempunyai regenerasi kepengurusan dan mengalami perubahan nama hingga tiga kali.

Awalnya, tempat itu bernama Sanggar Seni Pecantingan. Lantas, berganti nama menjadi Rumah Budaya Pecantingan karena berbagai alasan. Waktu berselang, tempat itu memiliki nama baru menjadi Rumah Kayu Pecantingan. Terakhir, nama yang dipakai Rumah Seni Pecantingan, nama itu bertahan hingga sekarang.

“Penggunaan nama Rumah Seni Pecantingan mulai tahun 2022, berarti masih setahun. Artinya, pergantian nama berulang kali itu disebabkan oleh kepengurusan, antara aktif dan tidak,” katanya, Sabtu (9/9/2023).

Penggunaan nama “pecantingan” merujuk pada Desa Pecantingan, Kecamatan Sekardangan, Kabupaten Sidoarjo. Namun, pengurus Rumah Seni Pecantingan hingga kini mencari makna dari nama “pecantingan” itu.

Di kawasan Rumah Seni Pecantingan terdapat 3 bangunan, yaitu bangunan depan yang dimanfaatkan sebagai Kedai Kopi Mbah Canting, bangunan tengah yang digunakan sebagai tempat pentas kesenian, dan bangunan belakang sebagai tempat produksi kesenian.

Langgam bangunan itu tidak menggambarkan suasana urban. Corak bangunan masa lalu mendominasi tiga bangunan tersebut. Ditambah ornamen kayu yang menghiasi setiap sudut ruangan, kolam tambak yang teronggok, dan tungku tempat merebus polo pendem atau umbi-umbian. Suasana asri ini membuat pengunjung merasa terhipnotis, seolah tidak berada di Sidoarjo.

“Kami mencoba mengimajinasikan kembali tempo dulu. Kami sedang menggambarkan suasana Sidoarjo ketika 200 tahun yang lalu dan kami mengkonstruksi itu,” ujarnya.

Corak arsitektur kuno di rumah itu, memang sudah ada ketika Robby menginjakkan kaki pertama kali. Mereka tak pernah melakukan renovasi bangunan. Memakai modal yang ada, pengurus menambah pernak-pernik bangunan depan dan tengah agar bergaya kuno.

Bahkan, menu yang ditawarkan Kedai Kopi Mbah Canting pun tak lepas dari menu tradisional yang berbahan dasar rempah-rempah. Seperti kopi susu jahe, teh jeruk nipis, tape, dawet, janggelan atau cincau, dan sinom. Sedangkan, untuk menu makanan, terdapat asem-asem bandeng, sambel penyetan, dan aneka mie. Tak lupa, menu kudapan seperti tempe goreng, pisang goreng, tape goreng, dan juga aneka polo pendem.

 “Sebenarnya konsep besarnya, di dalam Rumah Seni Pecantingan itu, kita membangun Project Delta. Jadi, bagaimana kita memahami, mempelajari dan menyadari Sidoarjo, dari segi geologi dan daratan, untuk bisa kita aplikasikan dalam bentuk kesenian,” ucapnya.

Selain Kedai Kopi Mbah Canting, Rumah Seni Pecantingan memiliki berbagai program, seperti Program Netra Rungu untuk nonton film bareng, Program Forum Tukar Tambah untuk mengadakan diskusi, dan Program Open Lab untuk pertunjukan seni.

 Program Netra Rungu dan Program Forum Tukar Tambah digelar dua minggu sekali, sementara Program Open Lab diadakan tiga bulan sekali. Setiap program itu memiliki Penanggung Jawab (PJ) masing-masing. Khusus untuk Program Open Lab langsung ditangani pengurus induk.

Semua program itu terbuka untuk umum. Rumah seni pencantingan tidak membatasi siapapun untuk datang. Tidak heran, banyak orang dari berbagai latar belakang seperti akademisi, aktivis, dan penikmat seni terlibat aktif dalam program itu. Kendati, sudah memiliki program yang cukup padat, Rumah Seni Pencantingan berencana menambah program lagi.

“Kami akan masuk pada ranah pangan. Tapi, memang masih belum. Sedang kami jalankan, membuat sebuah ekonomi mandiri. Arahnya mungkin seperti itu. Bikin lahan pangan dan kami coba produksi, setidaknya itu bisa menjadi konsumsi dalam lingkup kecil untuk keseharian. Di satu sisi, dari pangan ini, kami bisa bentuk menjadi tempat studi,” jelasnya.

Semua program itu sebenarnya untuk mengembangkan kesenian. Hasil yang diperoleh dari dua program itu, digunakan untuk menghidupi pengurus. Sisanya, untuk mendukung berbagai kegiatan kesenian yang diadakan Rumah Seni Pencantingan.

Robby dan dua kawan, hadir sebagai pengisi kekosongan seni di Sidoarjo. Daerah itu memiliki bentuk kesenian subkultur dan tradisi yang beragam, namun usaha memproduksi karya, mendistribusikan karya, dan membangun jaringan antar komunitas seni belum pernah dikerjakan. Berkat program itu, Rumah Seni Pecantingan dapat berjejaring dengan Rumah Budaya Malik Ibrahim, Dewan Kesenian Sidoarjo, dan berbagai komunitas seni lainnya.

 “Jadi, memberikan sebuah diskursus, bagaimana kita mengapresiasi seniman, dan bagaimana seniman mengapresiasi karyanya,” pungkasnya.(*)

Kontributor: Muhammad Akbar Darojat Restu Putra dan Sayyid Qutub Nabillah. Editor: Rangga Prasetya Aji


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *