SEBAGAI salah satu agama besar, Islam memiliki lebih dari satu milyar penganut dan tersebar di seluruh dunia, dan bahkan di banyak negara Asia dan Afrika serta beberapa negara Eropa, umat Islam merupakan mayoritas.
Keberhasilan ajaran Islam dalam meraih pengikut- pengikut baru di luar Hijaz, Saudi Arabia, negeri asal agama ini muncul tidak lepas dari tiga hal istimewa yang disebutkan oleh penulis Inggris termasyhur H.G.Wells dalam The Outline of History. Pertama,dengan tawhid. Ajaran tawhid memberikan kesederhaan ajaran Islam sehingga tiadanya doktrin yang rumit tentang konsep ketuhanan. Kedua, ketiadaan paham kependetaan. Pandangan ini memberikan implikasi bahwa tidak adanya kelas elit yang merasa mewakili Tuhan, karena tanggung jawab ini dipikul bersama. Ketiga, kesetaraan dalam agama Islam, sehingga begitu mudah menjadi muslim tanpa membedakan latar belakang, ras, ataupun status sosial.
Daya tarik Islam yang demikian itu juga yang membuat penduduk nusantara memeluk Islam saat ajaran Islam yang dibawa dari Asia Barat dan Selatan sampai ke negeri subur ini. Di luar perdebatan Islam masuk ke nusantara dibawa oleh da’i- da’I dari Arab, khususnya Yaman langsung, atau melalui proses persiaisasi dari kalangan anak benua India, yaitu pedagang Gujarat, India, akan tetapi poin utamanya adalah ajaran Islam kemudian merasuk ke dalam kehidupan masyarakat nusantara sampai saat ini.
Penetrasi Islam ke dalam wilayah nusantara yang relatif damai sering diartikan oleh beberapa pemikir barat dan bahkan muslim wahabi sebagai sebab penyebab apa yang mereka tuduhkan sebagai Islam khas nusantara yang sinkretis, tidak murni, mengandung bid’ah, tahayul dan sebagainya. Salah satu contoh khas dari pandangan itu ada bahkan pada tokoh sekelas Clifford Geertz yang menulis bahwa Islam masyarakat Jawa pada dasarnya hanya lapisan luar, sementara dalam hatinya, masih berdasarkan ajaran – ajaran non Islam. Pandangan Geertz dan muslim- muslim wahabi puritan ini tidak berdasar, karena dua alasan. Pertama, bahwa akidah muslim nusantara, baik Jawa, Maluku, Sumatra, Melayu dan sebagainya itu sejak dari tahun 1500an sampai sekarang itu juga memiliki kesamaan dengan akidah Islam yag diyakini dan diamalkan dengan kesungguhan sebagaimana yang diamalkan di banyak negara muslim lainnya dari Nigeria, Mesir,Syria, Iraq, India, dan sebagainya sebagai sesama Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah (aswaja), misalnya tradisi bermadzhab, melakukan tabarruk ke makam awliya, merayakan maulud Nabi SAW, dan merebaknya tarekat- tarekat mu’tabarah, yang tidak hanya dilakukan di nusantara, tapi juga di belahan negara muslim yang lain. Jadi bisa diartikan bahwa perspektif Geertz sangat dipengaruhi oleh bias kaum modernis yang justru mengandung pemikiran anti natifisme di satu sisi, dan justru dipengaruhi modernisasi barat pada saat kemunculannya. Penolakan perspektif Islam versi wahabi ini sudah dilakukan oleh para ulama sejak dulu tanpa kepentingan oportunisme politik seperti yang ditunjukkan oleh Zamakhsyari Dhofier (1985:185) bahwa K.H. Fakih telah menulis buku khusus menolak paham wahabi yang anti natifisme dan malah wahabi dianggap sebagai anti Islam. Kedua, apabila masyarakat nusantara tidak sungguh Islam sebagaimana tafsir Geertz dan kaum wahabi maka bagaimana mereka bisa menjelaskan bagaimana ajaran- ajaran Islam begitu merasuk dalam kehidupan sehari – hari masyarakat nusantara? misalnya tentang gotong royong, dan juga kehidupan praktikal sehari- hari seperti pola makan, musik, dan bahkan bahasa Melayu merupakan bahasa yang sangat dipengaruhi oleh Islam.
Memahami latar penting sejarah Islam ini menjelaskan bahwa bagi masyarakat Indonesia yang berakidah islam ala Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah (aswaja) dan terutama yang berorganisasi atau berasal dari keluarga organisasi NU maka menjadi muslim sangat erat berkaitan dengan kenusantaraan dalam hal ini keindonesiaan tanpa perlu merasa perpecahan pribadi antar menjadi seorang Indonesia atau menjadi muslim. Warga muslim nusantara sebagaimana masyarakat muslim lainnya sangat menyadari bahwa tindakan – tindakan mereka di dunia berdasarkan pada apa yang mereka yang yakini kebenarannya, yaitu ajaran Allah. Perspektif ini muncul karena masyarakat muslim memandang Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh teladan ( uswah) yang memiliki fungsi penyampai ajaran wahyu ilahi (nubuwwah) dan keduniawian. Nabi SAW adalah nabi sekaligus manusia, dan tindakannya merupakan teladan bagi umat Islam sedunia untuk menginterpretasikannya dalam dialektika kehidupan mereka pasca Nabi SAW.
Penafsiran- penafsiran Islam ini yang kemudian menjadi dasar tingkah laku (etika) muslim yang dikaitkan sebagai syariah, dan setiap muslim, dari yang terpelajar sampai awam memiliki tanggung jawab untuk mempelajari hal ini. Pandangan itu menjadi sebuah ajaran baku kelompok muslim manapun tidak terkecuali Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah (aswaja). Organisasi NU yang didirikan pada tahun 1926 oleh para ulama sebagai pewaris para nabi a.s. merupakan organisasi yang berakidah Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah (aswaja), dan sangat aktif memperjuangkan perspektif kemanunggalan keislaman dan keindonesiaan sekaligus tanpa mengalami keterpecahan pribadi, karena perspektif keislaman dan keindonesiaaan itu berdasarkan perspketif teologis yang kuat dan berakar.
Dalam lintas sejarah, peran NU dalam memberikan landasan refleksi teologis atas etika kaum muslimin tanah air sangat besar. Kalau ditarik ke belakang dalam lingkup sejarah, ketika peran organisasi politik modern Sarekat Islam yang begitu besar sebagai pengaruh “keberhasilan” politis etis Belanda, dan perjuangan politis Islam, maka NU merupakan organisasi yang menjadi landasan teologis yang yang menjadi harapan bangsa. Jika Sarekat Islam menjadi sebuah gerakan muslim dalam bidang politik, maka NU merupakan rumah teologisnya. Keduanya merupakan organisasi natifis anak bumiputera yang sangat merasa nyaman dalam ruang keislaman dan keindonesiaan. Tidak mengherankan karena rapatnya hubungan kedua kelompok ini, beberapa tokoh NU merupakan sekaligus tokoh SI, misalnya K.H. Wahab Hasbullah yang merupakan tokoh SI cabang Mekkah.
Sejarah mencatat bahwa NU sebagai organisasi yang dibentuk oleh para ulama itu tidak pernah dikeluarkan dari SI karena keteguhannya dalam membela ukhuwah Islamiyyah bahwa musuh utama adalah kolonialis Belanda, sementara SI garang ketika menghadapi organisasi- organisasi Islam yang dipandang tidak produktif dalam menggalang persatuan bangsa dan muslim tetapi meributkan amalan- amalan yang termasuk sudah established seperti qunut subuh, tahlilan, usholli dan lain- lain. (Tentang tindakan SI yang mengeluarkan organisasi- organisasi Islam tertentu karena menerima dana Belanda, dan ribut dengan bid’ah, baca Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 dan untuk Sarekat Islam sebagai satu gerakan natifis nusantara baca A.P.E. Korver dalam Sarekat islam: Gerakan Ratu Adil?).
Melihat sejarah berjuang bersama Sarekat Islam ini jelas menunjukkan bahwa sejak awal organisasi NU merupakan organsisasi Islam yang berakar pada keindonesiaan, dan mencari solusi bagi masalah – masalah Hindia Belanda dalam masa kolonialisme. Ketika peran politik Sarekat Islam mundur, maka peran NU sebagai organisasi kemasyrakatan yang berlandaskan akidah Islam menjadi semakin penting, misalnya dalam masa revolusi fisik tahun 1945- 1949. Pada masa perjuangan kemerdekaan dengan darah itu, NU misalnya memberikan resolusi jihad melawan pendudukan penjajahan asing pada tahun 1945.
Warga muslim yang dibimbing oleh para ulama yang ada dalam naungan organisasi NU dengan semangat memenuhi seruan jihad melawan penjajah meski pun lambang dan bentuk negara dipandang oleh sekelompok orang yang sempit pandangan dipandang sebagai “tidak Islami”. Bendera Indonesia yang merah putih, lagu kebangsaan Indonesia yang “Indonesia Raya”, dan bentuk pemerintahan yang republik dipandang sebagai bipolar bertentangan dengan bendera kalima tawhid, tiada lagu kebangsaan yang ashabiyah, dan harus khilafah.
Dalam perspektif NU yang memiliki segudang ulama besar ,pandangan seperti ini dinilai sangat dangkal. NU memandang bahwa ajaran Islam itu bisa terlaksana meski lambang – lambang “islami” itu tidak terpasang. Persoalan ini sudah dibahas dalam muktamar NU bahkan pada sama Hindia Belanda di Banjarmasin pada tahun 1935. Pada saat itu muncul pertanyaan bahwa apakah nama negara kita menurut syariah merupakan agama Islam. Jawaban lengkapnya adalah, “Sesungguhnya negara kita Indonesia dinamakan negara Islam karena telah pernah dikuasai sepenuhnya oleh orang Islam, walaupun pernah direbut oleh kaum kafir penjajah, tetapi nama negara Islam selamanya.”.
Jadi bagi perpsektif teologis sunni yang menjadi pandangan NU, pelaksanaan ajaran Islam bisa berkembang selama keteraturan itu ada dan itu memiliki kaitan ideologis sampai ke masa terbentuknya negara – negara khilafah Sunni dan bahkan setelah kehancuran Baghdad saat pasukan non muslim menguasai banyak wilayah non muslim, misalnya bangsa Mongolia, yang justru Islam berkembang dalam kondisi seperti itu di sana. Jadi sejak awal, keislaman tidak harus dipandang sempit sebagai perjuangan perebutan kekuasaan melainkan aktualisasi nilai Islam dalam kehidupan sehari – hari dipandang oleh ajaran sunni jauh lebih penting, karena dalam fakta sejarah klaim negara – negara yang mengklaim memperjuangkan simbol- simbol Islam justru menjadi kontra produktif karena menjadi ajang pertumpahan darah antara sesama muslim, seperti misalnya dalam perang kesultanan Turki Usmani melawan pemerontakan kaum wahabi yang didukung Inggris pada masanya.
Dengan resolusi jihad 1945, dan penerimaan bendera merah putih , dan lagu “Indonesia Raya” dan Sukarno sebagai presiden tidak bisa dipungkiri menjadi semangat menyala bagi warga NU dalam perang di Surabaya dan dipandang sebagai sabilillah saat palagan itu terjadi, bahu membahu dengan organisasi- organisasi kebangsaan “sekuler” yang lainnya, dan akhirnya pun sampai pekik “Allahuakbar” yang Islami dipakai oleh Bung Tomo, yang berasal dari organisasi sekuler untuk memakainya. Dengan demikian NU telah menjadi faktor penghubuing antara kubu muslim yang legal formal dengan kaum nasionalis sekuler yang umumnya merupakan kaum muslim yang tidak taat ataupun non muslim.
Fatwa NU itu juga yang memantik semangat warga muslim di sekitar Surabaya untuk ambil bagian ber sabilillah dalam melawan kolonialis yang hendak bercokol kembali. Hal ini memperteguh pandangan bahwa Nu adalah organisasi yang sangat natifis keindonesiaan, kebangsaan dan berpribadi muslim, dan akan sangat jelas dengan fatwa – fatwa muktamar NU tahun 1946 yang diadakan pada masa revolusi di Purwokerto. Dari 5 fatwa yang dihasilkan 4 di antaranya berkenaan dengan perjuangan melawan imperialisme (bandingkan dengan fatwa – fatwa muktamar Nu pertama tahun 1926 yang menghasilkan 27 fatwa tapi semuanya itu berkenaan dengan kasus- kasus ibadah murni). Atas pertanyaan pertama tentang bagaimana hukumnya kita berperang menolak musuh yang sudah menduduki tanah air Indonesia sebagaimana yang ditanyakan cabang Jombang, maka muktamar memutuskan bahwa memerangi para penjajah dan kaki tangannya merupakan fardhu ain bagi tiap- tiap jiwa, baik laki –laki , perempuan, dan anak – anak di wilayah yang didiuduki kaum penjajah, demikian juga dengan penduduk yang berada dalam radius 94 km dari tempat pendudukan itu.
Muktamar juga memberi fatwa untuk memberi zakat pada para pejuang karena pemerintah tidak bisa mencukupi member dana bagi mereka itu, dan yang cukup ektrim adalah dalam penguburan pada mereka yang gugur demi tanah air ini, yaitu tidak perlu dibawa pulang ke rumah masing- masing tapi dikubur di tempat mereka gugur, jadi dalam teologis Islam mereka yang patriot gugur membela tanah air mereka yang berbendera merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan tidak berpemerintahan khilafah itu, mereka mendapat kelayakan dimakamkan secara syuhada (sabillillah) dalam hukum Islam. Jadi mereka para pejuang yang gugur itu oleh NU dipandang sebagai patriot maupun pejuang di jalan Allah (mujahid).
Kesetiaan NU pada Republik Indonesia yang berdasarkan pada kebangsaan Indonesia dan tidak pada simbol –simbol “Islam” ini sejak masa berdirinya, berlanjut pada masa pergerakan nasional, dan perjuangan revolusi fisik juga dilanjutkan dengan ketidakragu- raguan untuk menolak mereka, para petualang politik yang menggunakan nama Islam demi keuntungan sektarian dan komunalis mereka, seperti yang ditunjukkan oleh kaum DI/TII yang mengangkat S.M. Kartosuwiryo sebagai Amir (Kepala Negara) sebagai ganti dari Sukarno, tokoh pergerakan nasionalis kebangsaan “sekuler”. Sesuai dengan paradigma bahwa setiap muslim harus menjalankan hukum syara’ secara benar, maka warga NU menyadari bahwa karena ajaran Islam menghendaki bahwa sebuah negara harus dipimpin oleh seorang amir, maka bakal terdapat permasalahan menyangkut dualisme kepemimpinan, yang harus dipilih salah satu. Dengan tegas NU tidak menunjukkan wala’ (kesetiaannya) nya pada Kartosuwiryo yang mengklaim membentuk negara berdasarkan “Islam” dengan simbol- simbolnya yang nyata tampak “Islam” seperti bendera bulan bintang, uang yang diterbitkan dengan tanda- tanda Islam, dan pembentukan tentara yang dengan gagah dinamakan tentara Islam.
Alih – alih mendukung Kartosuwiryo dengan petualangan DI/TII nya yang memakai nama Dar Al Islam, NU memilih mendukung Sukarno yang Dar Al Pancasila. Pemilihan setia terhadap pemerintahan Sukarno ini terdapat dalam muktamar NU yang diadakan pada tahun 1954 di Surabaya yang mengakomodasi keputusan konferensi alim- ulama di Cipanas pada tahun 1954 yang menyatakan bahwa Presiden Ir. Sukarno dan alat- alat negara adalah Penguasa Pemerintahan yang sah secara darurat sebab kekuasaannya. Fatwa ini dengan jelas mengakhiri kegundahan sementara kalangan umat muslim Indonesia di beberapa daerah yang memilih di antara Sukarno dan Kartosuwiryo. Fatwa ini memberikan konsekuensi bahwa produk- produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintahan “sekuler” Sukarno dan aparatnya, baik polisi, kehakiman, dan juga tentara dibaca sebagai aspirasi Islam yang dapat dibenarkan secara teologis, dan produk – produk hukum pemerintahan “Islam” Kartosuwiryo justru yang dipandang sebagai tidak Islami karena masuk katagori “bughat”, pembangkang. Fatwa NU ini juga menjelaskan mengapa di kantung-kantung NU terutama di Jawa Timur, pendukung Kartosuwiryo tidak berarti. Pendukung – pendukung NU hanya ada di aderah- daerah yang pada saat itu tidak banyak memiliki cabang- cabang NU secara signifikan misalnya Aceh, dan di Sulawesi Selatan (Kahar Muzakkkar), bahkan sejarawan bisa bertanya benarkah motif agama merupakan hal yang utama dalam pemberontakan itu, misalnya di Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), serta Kebumen (Kyai Sumolangu) yang menunjkkan bahwa pemberontakan –pmeberontakan itu lebih disebabkan karena ketidakpuasan atas kondisi para eks pejuang yang tidak mendapat tempat pasca revolusi.
Dengan banyaknya eks pejuang muslim di Jawa Timur yang berafiliasi dengan NU, maka masalah ini terselesaikan dengan kesadaran eks pejuang untuk kembali ke masyarakat kembali meski mereka kecewa dengan kondisi yang tidak membaik bagi mereka pasca revolusi, tapi mereka tidak melakukan tindakan yang kontra produktif terhadap tanah air yang mereka perjuangkan sendiri berdirinya dengan darah dan air mata. Hal ini tidak lepas dari peran organisasi NU dalam memperjuangkan keserasian antara Islam dan kebangsaan pada masa itu. Dari fakta di atas terlihat bahwa dengan menerima Presiden Sukarno dan aparat- aparatnya serta produk hukumnya dan bukan Kartosuwiryo sebagai pemimpin yang sah secara agama, maka warga NU tidak memiliki hambatan untuk menerima negara kebangsaan dan tidak memandang bahwa menerima Pancasila sebagaimana khususnya melalui tulisan yang muncul pada tahun di sebagai asas organisasi pada tahun 1984 tidak sebagai melawan kehendak Allah. Hal ini membuat NU menjadi salah satu pilar kebangsaan yang jika tidak terpenting, maka yang sangat penting untuk melanjutkan cita- cita para pendiri bangsa ini yang menerima kebangsaan dan kesetaraan umat manusia Indonesia sama di mata hukum, dan memiliki hak yang sama sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, sebuah landasan perjuangan bangsa ini yang pembentukannya juga dirancang oleh para sesepuh muslim bangsa ini, dan tokoh – tokoh NU terlibat di dalamnya, sehingga NU jelas- jelas sebagaimana seperti yang dikatakan Kacung Maridjan (1992:146) sebagai “mempertegas bahwa NU merupakan bagian sistemik dari politik Indonesia”.
Penerimaan NU terhadap Pancasila, tidak berdasarkan sebuah gagasan oportunis atau startegis taktis tapi merupakan, “benar- benar dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan, dan pemahaman NU terhadap sejarah” (Sitompul dalam Kacung Maridjan, ibid, 151). Memahami kesediaan NU atas prinsip negara kebangsaan, dan kesetiaannya membela prinsip ini dalam sejarah perjuangannya, tidak lepas dari akidah Islam ala Ahl Al Sunnah Wa Al Ja’maah itu sendiri. Tindakan NU menerima Pancasila dan prinsip kebangsaan bukan dipandang sebagai sebuah taktis yang sewaktu- waktu bisa diubah jika memegang kekuasaan, akan tetapi sebagai suatu keniscayaan yang dianggap benar di hadapan Allah sebagai pemegang kebenaran di kehidupan kelak. Kacung Maridjan menjelaskan bahwa dalam perspektif NU, Islam itu bersifat menyempurnakan, sehingga bila ada sesuatu yang baik di dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Islam, maka ia termasuk sebagai Islam, dan Pancasila dipandang sebagai ideology yang tidak bertentangan dengan Islam.
Tokoh NU K.H Achmad Siddiq menyebut lima butir luhur Pancasila merupakan “kalimatin sawa’in baynana wa baynakum” (QS 3:64), yang dipandang bagus bagi landasan kehidupan bernegara dan bermasyarakat dengan segala kemajemukannya (Maridjan, 1992:151). Dalam prinsip Ahl Al Sunnah Wa Al Ja’maah juga terdapat pandangan Al Muhafadhatu ’ala al qadimi shalih wa akhdu tajdidu al ashlah yang menunjukkan bahwa NU tidak mau sia- sia membuang nikmat karunia dengan hadirnya bangsa Indonesia nusantara yang sudah ada dari dulu dan diteruskan dengan pergulatan melawan kolonialisme dan menjadi lebih baik menjadi rusak oleh perbuatan kaum muslim sendiri yang komunalis dan menunjukkan kerusakan di muka bumi, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip dasar Islam yang merupakan kasih bagi alam. Ajaran Ahl Al Sunnah Wa Al Ja’maah mengajarkan suatu bentuk tawassuth terhadap ekstrimitas dari sejak kelahirannya. Hal ini dalam sejarah agama misalnya dilihat dari bagaimana sunni mendayung di antara ekstrimitas rasional muktazilah dan kekakuan skripturalis kaum khawarij., yang bentuk barunya ada di tanah air kita sekarang ini juga.
Sebagai sebuah organisasi sunni, NU mendayung dalam dunia ekstrimitas yang ada di tanah air ini agar supaya negeri yang didirikan dengan darah dan sejarah kelam perbudakan dan penghisapan ini tidak runtuh oleh kaum komunalis sempit. Perspektif moderat, kaum tengah (tawassuth) itu sering disalahartikan oleh orang luar sebagai sikap oportunis politik NU, dan itu sangat tidak tepat. Organisasi NU adalah sebuah organisasi keagamaan yang mendasarkan perspektifnya pada aliran Ahl Al Sunnah wa Al Jama’ah yang sangat berbeda dengan kaum khawarij dalam menyikapi relasi hubungan antara ulama, rakyat dan pemerintah. Teladan NU, yaitu ulama – ulama terdahulu juga dikenal sebagai kaum yang kritis terhadap pemerintah yang hidup abai terhadap rakyat, akan tetapi ulama –ulama sunni sangat berhati- hati untuk melakukan tindakan kekerasan karena itu dianggap sebagi dosa besar (kabair).
Sejarah mencatat bagaimana Imam Ghazali rahimahullah misalnya sangat tidak suka terhadap ulama yang bajunya licin karena suka menaiki tangga istana raja, dan menyampaikan kritiknya tidak dengan kekerasan, tapi dengan membangun, demikian juga dengan Ibrahim Al Adham, Imam Syafii, dan Imam Hanafi. Itu juga yang dipahami bahwa NU berusaha menjadi perekat antara ulama, rakyat dan penguasa dalam sejarah Indonesia apalagi Indonesia merupakan masyarakat dunia dengan jumlah umat muslim terbesar, dan dengan minoritas non muslim yang sangat besar pula (umat Kristen Indonesia secara jumlah lebih besar jumlahnya daripada ASEAN Kristen lainnya, dengan minoritas Tionghoa perantau juga sangat besar, dan Bali merupakan tempat tinggal kaum Hindu di luar India sebagai mayoritas). Tradisi sunni yang bisa kritis terhadap pemerintah dalam memperjuangkan kebenaran tapi tidak dengan cara kekerasan seperti yang dilakukan khawarij memberi makna bahwa peran NU sangat besar dari dulu, sekarang dan lebih – lebih tantangan ke depan dan sungguh beruntunglah Indonesia memiliki organisasi keislaman yang memiliki semangat tawassuth ini.
Oleh : Bagus Hariyono, Dosen Fakultas Sastra Universitas Dr. Soetomo Surabaya.
Daftar Pustaka:
Korver, A.P.E. 1985. Sarekat Islam (Gerakan Ratu Adil?). Jakarta: Grafitipers.
Kuntowijoyo.1991. Paradigma Islam. Bandung: Mizan.
Maridjan, Kacung. 1992. QuoVadis NU. Jakarta: Erlangga.
Nawawi,Imam. n.a. Fatawa Imam Nawawi. Bayrut:
Dar Al Fikr. Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Thomas, Arnold. 1981. Sejarah Da’wah Islam. Jakarta: Penerbit Widjaya.
Wahid, Abdurrahman (et.al).1993. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia.Bandung: Rosdakarya.
Wells, H.G. 1951. The Outline of History. London: Cassell and Company, LTD.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan