“Surga Nyata Bawah Laut,” slogan daerah wisata Kabupaten Wakatobi yang sering kita dengar. Nanti dulu, jangan percaya. Sebab, di Wakatobi, surga bukan hanya di lautan, melainkan juga ada di daratan.
Daya pikat Wakatobi tak hanya pemandangan bawah laut dan alamnya saja, tetapi juga situs sejarah, ragam sajian tarian dan tradisi daerah, pun limpahan aneka kuliner yang diwariskan oleh nenek moyang kami yang termasyhur dengan budaya maritimnya
Sukar untuk menampik kenyataan bahwa pada suatu ketika di masa lampau, demi untuk menyintas hidup, nenek moyang kami tidak hanya bercocok tanam, tetapi juga melaut dan merantau dengan tujuan berniaga. Sejarah banyak mencatatnya. Semua itu tidak hanya tergambar lewat topografi pulau-pulau kecil di Kabupaten Wakatobi yang merupakan daerah pesisir, atau lewat beberapa kebudayaan dan bahasa yang kami adaptasi. Namun, juga diperkuat lewat fakta bahwa daerah kami kaya akan aneka olahan pangan yang berumur panjang, yang tidak mudah basi, berupa olahan hasil laut dan kebun yang dikeringkan.
Ragam kuliner berumur panjang inilah yang diduga kuat membersamai perjalanan nenek moyang kami dahulu hingga sampai tujuan. Olahan kuliner macam itu digunakan sebagai bekal ketika hendak melaut berhari-hari, juga ketika berlayar berminggu-minggu menjajakan barang dagangan dari satu pulau menuju pulau lainnya. Pun olahan itu difungsikan demi memenuhi persediaan pangan keluarga di masa paceklik saat musim kemarau dan angin ribut.
Dari berbagai macam olahan pangan itu, ada satu yang paling menonjol, ialah Tombole. Panganan olahan ini tidak hanya menunjukkan identitas budaya maritim di daerah kami, melainkan sangat potensial menjadi bagian dari pengembangan ekosistem pariwisata dan ekonomi kreatif di Wakatobi, umumnya di Sulawesi Tenggara.
Tombole Jadi Oleh-oleh
Tombole terbuat dari ubi kayu yang awalnya diolah menjadi kaopi (ubi yang sudah diperas airnya menggunakan alat khusus). Kemudian dihancurkan menjadi tepung sesuai kebutuhan lalu ditambahkan bahan-bahan lainnya sebagai penambah cita rasa seperti bawang merah, daun sereh, batang kelor, kelapa parut, dan gula sesuai selera jika suka manis. Lalu dibungkus menggunakan daun nangka atau janur yang telah dibentuk seperti pembungkus lepet.
Setelah dibungkus, barulah tombole dibakar dengan cara bakar batu. Jadi terlebih dahulu orang-orang akan membakar batu dalam jumlah yang cukup banyak. Setelah dirasa benar-benar panas, batu-batu tersebut dipindahkan ke sebidang tanah yang telah digali atau dipersiapkan untuk mematangkan tombole. Batu-batu panas tersebut akan disusun sedemikian rupa dan di dalam batu akan diselipkan setiap bungkus tombole.
Pembakaran akan dilakukan hingga tombole benar-benar matang bahkan cenderung dark. Bisa dibayangkan betapa keringnya tekstur tombole ini. Sudah bukan rahasia lagi bahwa olahan pangan kering akan lebih berumur panjang bahkan tanpa perlu tambahan pengawet.
Tombole memiliki ciri yang satu ini, kering. Inilah yang membuat tombole banyak menemani perjalanan sebagai bekal melaut dan merantau. Dan, ini juga yang patut digaris bawahi sebagai kuliner lokal, tombole potensial untuk dibawa pergi jauh bahkan ke negeri seberang. Maka dari itu ia bisa menjadi oleh-oleh khas Wakatobi, tinggal ditambah kemasan yang menarik dan ramah lingkungan.
Memanfaatkan Pangan Lokal
Tentu sebagaimana umumnya sumber karbohidrat lain di daerah kami, tombole juga dibuat menggunakan bahan dasar ubi kayu atau singkong. Struktur tanah yang didominasi batuan karst di daerah kami sungguh tak cocok untuk ditanami padi bakal nasi yang kini banyak dikonsumsi di negeri ini. Memang ada biji-bijian seperti jagung dan kacang merah pula yang ditanam pada musim penghujan, tetapi hanya ubi kayu lah yang sanggup bertahan hidup di segala musim.
Faktanya, tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini terkenal mudah tumbuh di segala jenis tanah dan musim, inilah penyebab ia begitu cocok dengan jenis tanah dan musim di daerah kami. Ini juga mengisyaratkan bahwa pada suatu masa, sebelum adanya beras, daerah kami benar-benar memanfaatkan ubi kayu sebagai makanan pokok.
Wa Masna (52), warga Pulau Tomia, membenarkan bahwa dahulu kala semua kebun warga ditanami ubi kayu di sepanjang musim.
“Iya, dahulu warga di Usuku hampir seluruhnya punya kebun dan selalu ditanami ubi kayu,” ujarnya.
Jika ditilik lebih dalam, kehadiran tombole telah turut andil sejak dulu kala dalam hal ketahanan pangan. Tidak hanya pada pangan keluarga, tetapi juga daerah dan negara pada umumnya.
Melibatkan Warga Kampung
Tidak hanya sumber olahan pangannya, hetombole’a atau proses pembuatan Tombole juga terbilang unik dan, ini yang terpenting, selalu melibatkan orang banyak di kampung. Proses pembuatan tombole menggunakan proses bakar batu mirip tradisi bakar batu di beberapa suku di Indonesia. Jadi, prosesnya mesti dilakukan musim kemarau supaya api tidak mudah padam dan melibatkan banyak orang. Boleh dikatakan bahwa ini merupakan semacam upacara kebahagiaan, bentuk silatuhrahmi antara keluarga dan kerabat, juga menyambut musim kemarau usai hujan berkepanjangan.
Salah satu penanda akan dilakukanya hetombole’a adalah datangnya bulan Safar yang itu bertepatan dengan musim angin barat di pulau Tomia.
“ihiya ana no ppusa ako na safara’a ko hetombole mo i lalo wa Ina (Dahulu kala jika bulan Safar telah datang, kami akan bergegas membuat tombole di kebun nenek),” jelas Wa Masna.
Pada waktu-waktu itu, orang akan beramai-ramai ke kebun. Ada yang datang bersama keluarga, tetangga dan handai taulan. Dari anak-anak hingga dewasa, laki-laki maupun perempuan. Tak heran jika kemudian tombole yang diproduksi atau dihasilkan itu sangat banyak. Bahkan bisa mencapai beberapa keranjang besar hingga berkarung-karung.
Menarik membayangkan proses hetombole’a masuk ke dalam kalender pariwisata. Bahwa warga kampung pada musim kemarau atau bulan Safar akan berbondong ke kebun, dan mereka akan ditemani wisatawan yang tengah berfoto atau terlibat dalam pembuatan tombole tersebut.
Sayangnya, tradisi hetombole’a ini mulai perlahan tergerus di Tomia. Faktornya banyak, mulai dari pembangunan infrastruktur yang menyingkirkan kebun-kebun dan budaya maritim, hingga tidak adanya literasi budaya yang baik kepada anak muda.
Oleh karenanya, saya melihat ada potensi yang besar tombole maupun tradisi hetombole’a ini hidup kembali di era kontemporer, yakni lewat sistem pariwisata dan ekonomi kreatif. Mengingat, apa yang mendorong atau dibalik pariwisata dan ekonomi kreatif adalah sistem ekonomi yang melibatkan budaya lokal dan warga kampung.
Oleh : Eka Putri Puisi dan Febriansyah, Anak Muda Wakatobi.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan