Guru : Berubah atau Ditinggal

222 0

Menjadi guru saat ini berbeda dengan menjadi guru dua puluh tahun lalu. Guru dua puluh tahun lalu menjadi sumber informasi utama selain buku. Perannya begitu dominan terhadap informasi yang diterima siswa. Pembelajaran di kelas berpusat pada guru (teacher centre).

Saat ini, keadaannya tidak lagi demikian. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Selain buku mudah diperoleh, siswa saat ini dapat mengakses informasi dengan mudah melalui internet. Akses e-book, website, atau kanal-kanal internet begitu sangat mudahnya untuk mendapatkan informasi. Hal ini bisa menjadi sumber informasi lain bagi siswa saat ini. Sehingga, informasi yang didapat siswa dari seorang guru bisa jadi terbatas dari pada yang mereka dapatkan dari internet. Atau minimal, infomasi dari guru hanya jadi salah satu sumber informasi tentang suatu hal yang diterima oleh siswa. Singkatnya, saat ini guru tidak lagi jadi sumber informasi tunggal.

Konsekuensi logis dari perubahan jaman itu, maka karakteristik siswa dua puluh tahun berbeda juga dengan siswa hari ini. Siswa saat ini termasuk dalam kategori yang disebut para ahli sebagai generasi milenial atau bahkan generasi alfa. Mereka lahir di abad yang serba tergantung pada teknologi. Mereka sangat akrab dengan teknologi. Sehingga jangan heran jika mereka begitu melek teknologi. Hal ini sangatlah berdampak pada cara mereka belajar, cara mengakses dan mendapatkan informasi dan tentu saja cara mereka memahami tentang kehidupan, termasuk cara mereka memandang guru.

Hal di atas tentu menjadi tantanggan bagi seorang guru di jaman ini. Bagiamana eksistensi guru dihadapan siswa tetap terjaga. Maka pilihannya adalah guru mau berubah atau “ditinggal”. Ini perlu dipikirkan secara serius oleh para guru masa kini. Sebab kalau ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin eksistensi guru akan semakin memudar dan mungkin akan lenyap begitu saja  karena terdistrupsi teknologi. Hal itu bisa terjadi kalau guru hanya sebatas bertugas sebagai pengajar (pemberi informasi). Maka legitimasinya di depan siswa benar-benar akan dicaplok dan tergantikan oleh teknologi. Untuk itu guru harus berperan lebih dari sekedar pengajar dan harus terbuka mengikuti perkembangan jaman.

Salah satu sikap keterbukaan guru yaitu dalam hal menyampaikan informasi dan pengetahuan di kelas. Guru harus terbuka pada alternatif pilihan dan jawaban yang mungkin terjadi. Guru tidak boleh kekeh dengan pendapatnya sendiri, apalagi merasa paling benar di hadapan siswa. Guru harus terbuka pada alternatif informasi yang mungkin muncul di kelas.

Pengalaman saya sebagai guru selama kurang lebih lima tahun ini menunjukan bahwa, apa yang saya pelajari bisa jadi sudah dipelajari oleh para siswa melalui internet. Beberapa siswa malah banyak bertanya hal-hal yang belum pernah saya pelajari sebelumnya. Atau minimal sudah pernah mendengarkan tentang sesuatu hal itu, namun belum mendalaminya. Oleh karena itu, Saya harus terbuka kepada alternatif jawaban mereka. Atau malah saya belajar dari mereka tentang beberapa hal yang belum pernah saya pelajari. Saya tidak perlu sungkan, untuk mengakui kekerbatasan saya dalam beberapa informasi yang mereka minta.

Keterbukaan guru terhadap perkembangan jaman sejalan yang disampaikan oleh Paulo Freire seorang pedagog kritis dari Brasil. Menurut Freire, guru harus menjadi pembelajar. Ruang kelas adalah ruang pertukaran informasi. Siswa bukan kertas kosong yang harus diisi informasi oleh guru. namum baik guru maupun siswa adalah sejatinya pembelajar. Siswa belajar dari guru dan sebaliknya, guru bisa belajar banyak hal dari para siswanya.

Mempertahankan Eksistensi Guru

Memahami permasalah diatas, saya mengajukan beberapa usulan yang bisa menjadi bahan refleksi bagi setiap guru dijaman ini. Hal ini tidak lain supaya eksistensi guru dihadapan siswa tidak terdisrupsi oleh kehadiran teknologi yang semakin pesat, yang akan membuat Guru akan “ditinggal” oleh para siswa dimasa depan.

Pertama, guru harus menjadi fasilitator. Hal ini juga sejalan dengan yang dianjuran kurikulum 2013 yang mengatakan bahwa guru adalah fasilitator. Proses pembelajaran harus berpusat pada siswa (student centre), merangsang kreativitas dan kekritisan para siswa. Segala sumber informasi bisa digunakan. Siswa diberi kebebasan untuk mengakses sebanyak-banyaknya alternatif jawaban terhadap suatu persoalan dalam proses pembelajaran.

Dengan demikian tugas guru dikelas adalah mengarahkan dan memfasitasi alur dalam proses pembelajaran. Komunikasi dalam proses pembelajaran di kelas dijalankan bukan satu arah, melainkan dua arah. Guru baiknya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendebat dan saling berargumentasi yang masuk akal,  sehingga proses pendidikan melahirkan siswa yang kreatif dan kritis.

Kedua, peran guru sebagai pendidik harus ditonjolkan. Hemat saya, peran ini yang tidak bisa digantikan oleh internet, kalau saja guru mampu menjalankannya dengan baik. Dengan peran ini eksistensi guru dihadapan para siswa tetap ada. Menjadi pendidik berarti mengahdirkan diri secara total bagi para siswa. Guru perlu menjadi pendengar yang baik, mengarahkan, memberi nasehat bahkan menjadi konselor bagi siswanya. Sehingga kehadiran guru betul-betul dirasakan oleh siswa bukan hanya sebagai pemberi informasi, tetapi lebih dari itu, mampu memberikan keteladanan, keteguhan dan penguatan serta pengarahan bagi para siswa. Tugas menjadi pendidik adalah tugas yang harus disadari oleh seluruh guru, meskipun tugas ini kadang bukalah perkara mudah di jaman ini.

Ketiga, guru harus menjadi pembelajar sejati. Sebagaimana yang saya sampaikan diawal, guru bukanlah satu-satunya sumber infomasi dijaman ini. Bisa jadi informasi yang diperloeh guru selama di bangku kuliah terbatas dan bahkan sudah using atau tidak relevan lagi dengan jaman sekarang. Oleh karena itu, guru harus memiliki sikap pembelajar. Guru pembelajar adalah guru yang terus belajar dengan hal-hal baru. Bisa saja belajar itu dari siswanya, sehingga proses pembelajaran di kelas itu bukan saja diperoleh oleh para siswa namun diperoleh juga oleh gurunya. Sikap pembelajar ini akan membawa guru semakin maju dan berkembang. Dengan demikian proses pembelajaran juga akan selalu menarik dengan pertukaran informasi-informasi baru antara guru dan siswa.

Keempat, guru harus menjadi penggerak. Dalam hal ini, Paulo Freire mengatakan bahwa, “ruang kelas itu adalah ruang pergerakan, dengan guru sebagai kepala gerakannya”. Ungkapan ini tentunya  masih relevan sampai dengan saat ini. Ruang kelas tidak hanya tempat untuk belajar yang berkaitan dengan teks-teks book, namun lebih dari itu, ruang kelas harusnya menjadi ruang pergerakan, yang belajar tentang perkembangan masyarakat. Sehingga, lulusan sekolah adalah orang-orang yang diharapkan menjadi manusia yang respek terhadap perkembangan masyarakat, yang tidak hanya mementingkan isi perutnya saja, melainkan sebagai penggerak, karena baik guru maupun siswa adalah satu kesatuan dengan masyarakat.

Oleh: Yeremias Mahur, Guru dan Mahasiswa Pascasarja Universitas Negeri Surabaya


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Yeri Mahur

Guru dan Alumnus Magister Manajemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *