“Kalau aku menjadi mereka, mungkin aku takkan bertahan” ujarku dalam hati. Masalah tentang coming in dan coming out seorang LGBT selalu tak mudah dipahami oleh orang macam kita, heteroseksual. Tapi, sudah sewajarnya ketika kita memiliki masalah, yang harus kita lakukan adalah menyelesaikannya. Mau dari sudut pandang mereka yang LGBT atau yang bukan.
Masalah adalah hal yang mutlak dalam kehidupan kita. Pemecahan masalah sudah menjadi salah satu kemampuan esensial dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Siapa pun, apapun kita. Kita semua akan memiliki rintangan dan harus menyelesaikannya.
Kalimat awal itu, ku tulis memang benar menjadi refleksi pribadiku. Saya pernah mengalami hal yang sama. Perasaan sedih atau tertekan menjadi hal yang wajar ketika kita kecewa, tidak diterima, dibombadir dari kanan kiri dari orang yang merasa paling benar. Saat kita berupaya menemukan jati diri, lantas keluarga, sahabat, teman, dan lingkungan tak menerima kita. Dunia seperti runtuh rasanya.
Saya tak bermaksud mengubah, mempengaruhi, atau memperdayaimu untuk mengubah keyakinanmu, agamamu untuk kembali berpikir. Berefleksi tentang apa yang kamu percaya dan atau imani itu salah atau benar. Tapi, sudah sewajarnya sebagai manusia yang manusiawi maka lebih baik kamu tidak berprasangka. Barangkali bisa berupaya mencari informasi yang berimbang untuk mencari tahu, mengamati dan menentukan kebenarannya. Sehingga, kamu bisa menentukan posisi.
Situasi serupa tentang coming out dan coming in seorang LGBT juga pernah ku alami, cerita tentang sepupuku. Beberapa waktu kemudian saya berjumpa dengan mas Enno dan beberapa kawan disebuah komunitas. Bagi mas Enno, yang penting itu coming in. Bagaimana kita menerima diri apanya sebagai subjek yang nyata dan sadar serta bertanggung jawab pada pilihannya. Berbeda dengan Zita, yang akhirnya coming in setelah 11 tahun setelah menolak dirinya sendiri.
Namun, kita tahu itu lah manusia. Manusia yang selalu berubah. Selalu dinamis. Mengalami perubahan terus menerus. Mungkin ada benturan. Rasa kecewa, marah yang meyeruak. Tapi, dengan berpegang teguh pada apa yang kita yakini dan sadari di dalam diri kita sendiri, kita sudah menjadi manusia. Begitu mas Enno dan Zita. Mas Enno meyakini, “Sesungguhnya Tuhan tidak pernah membeda-bedakan seseorang pun di antara mereka”. Mas Enno yakin, Tuhan tahu siapa kita melebihi diri kita sendiri. Jadi, lakukan saja apa yang menurutmu baik, di hadapan Tuhan dan sesame kita.
Ibarat himpunan dalam matematika, ada dua lingkaran besar dan di dalamnya ada bagian kecil yang terasir, itu lah bagian seksualitas. Seksualitas hanyalah gambaran kecil dari diri mas Enno dan Zita. Itu bukan keseluruhan identitas mereka. Ah.. Coba saja kamu kenal mereka. Karena, setiap perjumpaan mestinya tanpa prasangka.
* Oleh : Saras Dumasari, Peserta Sekolah Ansos Nera Academia 2017. Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa Timur.
** Tulisan ini merupakan bagian dari proses sekolah Ansos, setiap partisipan menuliskan pengalaman perjumpaanya dengan komunitas belajar yang kemudian menjadi sumber untuk pendalamam materi-materi sekolah ansos. Atas persetujuan partisipan, tulisan-tulisan mereka akan dipublikasikan secara berkala di www.idenera.com
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan