Interaksi intensif dan inspiratif saya dengan dulur-dulur keturunan suku China berlangsung ketika SMA. Di Yogyakarta, khususnya di kampung saya, keturunan China sepertinya dipandang beda. Saya ingat, ketika masih Sekolah Dasar ada satu keluarga China dengan tiga anak seusia saya masuk dan tinggal di kampung saya. Namun, saya dan teman-teman tak pernah menjadikan anak-anak China itu teman bermain. Ada keenganan dan kecurigaan yang tumbuh di pikiran kami kala itu.
Sebagai keturunan Jawa, apalagi tinggal di Yogyakarta, saat kecil saya tidak terbiasa berinteraksi dengan saudara-saudara dari suku China. Sebenarnya juga dengan suku-suku lainnya yang secara fisik nampak jelas berbeda dengan kami. Seperti ketika ada anak dari Papua datang, waktu itu kami penasaran dengan warna kulit, rambut kriwil dan terutama kupingnya. Ya, gosipnya kupingnya sangat besar dan njepaplang.
“Seperti kuping alien.” kata seorang teman waktu itu, menjelaskan bentuk kuping yang terlalu melebar ke kanan dan kiri.
Baca juga : Dibalik terbitnya buku “Ada Aku di Antara Tionghoa dan Indonesia”, Aku berlutut di hadapan Cino Suroboyo
Lalu saya dan teman-teman yang penasaran berlagak sebagai dektektif kecil layaknya Lima Sekawan yang ingin menyelidiki anak baru di kampung itu. Kami mengintip dari kejauhan lalu mengendap-endap untuk melihat seperti apa kuping anak Papua. Sampai tiba-tiba ayahnya muncul di hadapan kami dan kami terbirit-birit lari tak karuhan.
Namun kemudian kami menerima Andre, anak Papua itu sebagai teman karena dia ternyata pintar bermain bola. Dia pandai menggiring bola dan mencetak gol. Tim yang dibelanya sering menang. Sehingga kami berebut menjadi teman baiknya, agar Andre mau masuk tim kami kalau tanding bola.
Sedangkan dengan anak-anak China yang datang duluan tidak seperti itu. Mereka seolah punya dunia sendiri. Mereka bermain-main dengan saudaranya sendiri, tak pernah bergabung dengan kami. Apakah mereka dilarang orang tuanya untuk mendekati kami, anak-anak kampung lusuh dan penyakitan? Mengapa mereka tak berbaur dengan warga? Apakah benar yang dikatakan orang-orang tua kalau orang China sombong dan pelit? Pemikiran negatif semacam itu mudah sekali muncul saat itu.
Sekarang saya cukup beruntung energi negatif sarat kecurigaan itu tak lagi jadi santapan pikiran ketika berhadapan dengan teman-teman keturunan China. Reformasi pola pikir itu terjadi ketika saya di SMA.
Saya masuk SMA diawal era reformasi. Krisis moneter dan gerakan demonstrasi mahasiswa telah menumbangkan kekuasaan Soeharto. Sebagai anak SMA yang apolitis waktu itu, saya cuma paham adanya demontrasi kakak-kakak mahasiswa, aparat keamanan menyerang demonstran dengan brutal, dan kerusuhan merebak di berbagai kota di Indonesia. Termasuk santer terdengar isu kerusuhan bernuansa rasial yang menyerang rumah dan usaha yang dimiliki etnis China. Sampai toko-toko dan rumah-rumah di pinggir jalan banyak terpasang tulisan “MILIK PRIBUMI”.
Di Yogyakarta sendiri, menurut saya waktu itu walau memanas situasinya relatif aman. Sempat ada kerusuhan dan bentrok sampai menimbulkan korban jiwa serta beberapa toko dan fasilitas umum hancur namun sepertinya tak separah kota-kota lainnya. Setelah situasi kondusif, saya dan teman-teman masih bisa melanjutkan sekolah.
Di bangku SMA saya mulai mengenal dan memahami teman-teman keturunan China dengan lebih baik. Sekolah saya siswanya lelaki semua, siswa-siswa China nampak mendominasi diantara siswa keturunan Jawa, Batak, dan lainnya. Selain terkenal kaya-kaya, mereka juga relatif lebih pandai dibandingkan saya dan teman-teman dari suku lainnya. Walau ada beberapa kondisi anomali seperti orang China tapi dari keluarga miskin dan ada juga teman Jawa yang masih trah keraton yang kaya raya, namun seperti streotip umum lainnya, itu menempel begitu saja tanpa butuh kroscek kebenarannya. Di SMA saya waktu itu steotip yang tabu dibicarakan terbuka malah diekspos dan jadi obrolan biasa.
“Dasar Jowo malesan!” itu celetukan yang wajar saja diucapkan teman China ketika saya atau teman lainnya merayu dia untuk meminjamkan buku PR, karena lupa mengerjakan tugas.
“Ayolah, ojo dadi Cino medit..” biasanya begitu kami membalas ejekan itu.
Jowo ndeso, Cino kere, Hitachi (hitam tapi China), dan banyak ungkapan lain yang terkadang aneh dan kasar didengarkan telinga sehingga menimbulkan rasa geli namun menjengkelkan, biasa saja terdengar saat itu. Semua siswa sepertinya harus iklas jadi objek olok-olokan yang kadang menyerempet ke ranah rasialis dan fisik. Jika sudah begitu mereka harus bisa membalas juga. Siapa yang mengejek harus siap juga dapat ejekan.
Tidak membedakan siapa dia, apa sukunya, siapa orang tuanya, seberapa kaya leluhurnya, seberapa hebat bapaknya, semua bisa dapat omongan yang memerahkan telinga. Jika tidak tahan, cara tepat untuk membalasnya jelas tidak dengan melaporkan ke guru apalagi ke orang tuanya, namun harus bisa membuat olokan lebih lucu atau lebih telak ke pengolok itu.
Berkelahi gara-gara olok-olokan ya kadang bisa terjadi. Namun itu tetap jadi urusan pribadi.
Tahan uji dan cerdik membela diri itu yang bisa dipelajari dalam situasi yang tak umum itu. Semua siswa seolah punya trik sendiri. Ada yang membalas olokan dengan celetukan yang lucu. Ada yang diam saja, mengabaikannya sampai pengolok-oloknya bosan sendiri. Ada yang begitu polos dan baik sampai tak ada yang tega menyenggolnya. Dalam situasi itu tak ada perbedaan lagi antara siswa China, Jawa, Batak, Papua atau keturunan Gunung Kidul sekalipun. Semua harus pintar bersiasat dan beradaptasi. Hikmah dari situasi ini ternyata mampu meruntuhkan sekat-sekat rasialis diantara kami. Terbiasa bebas dan terbuka menyampaikan pemikiran dan perasaan malah membuat kami harus bisa bertanggung jawab terhadap ucapan dan tindakan kami sendiri.
Kesetaraan, kejujuran, dan keterbukaan menjadi pintu masuk ke dalam lingkaran persahabatan dan persaudaraan. Akhirnya olok-olok rasialis tak lagi memiliki energi negatif yang menyinggung perasaan, karena bisa diterima dan ditanggapi biasa saja. Justru itu jadi tanda kedekatan. Akhirnya tak ada lagi niat merendahkan, yang ada hanyalah ekspresi persaudaraan.
Di luar luar lingkungan SMA, di masyarakat, kata-kata rasialis dan ejekan bernuasa SARA jelas terlarang diucapkan. Interaksi masyarakat terkondisikan untuk bersikap normatif, menghargai basa basi, dan menghindari konflik. Potensi-potensi konflik diredam dengan cara diabaikan, disembunyikan, disangkal, dan dianggap tidak ada. Walau jadi aman, namun potensi bahaya di situasi ini tetaplah ada. Bagaimana seorang penderita kanker bisa sembuh jika dia sendiri menyangkal bahwa dirinya sakit kanker?
Begitu pula dengan potensi konflik karena perbedaan suku, stereotip keliru, dan kecurigaan yang dipupuk turun temurun dan menjadi warisan. Bagaimana bisa itu semua diselesaikan jika tak diawali dari upaya untuk membukanya dan mengakuinya bahwa perbedaan itu nyata? Potensi konflik rasialis itu ada? Persepsi keliru itu bisa terjadi kapan saja?
Padahal keturunan suku China sudah lama ada di Nusantara ini sejak lama. Mereka sama-sama pendatang, seperti suku Jawa, Batak, Dayak, dll. di bumi Indonesia ini. Bahkan suku-suku yang mengaku pribumi konon juga keturunan suku kuno dari Yunan, di daratan China sana. Namun karena suku bangsa China datang terakhir serta memiliki tampilan wajah dan kulit yang berbeda dengan suku yang lebih dulu datang maka dianggap mereka bukan pribumi. Etnosetrisme ini terus ada dan berkembang di masyarakat.
Secara turun temurun, anak-anak yang mengaku pribumi mendapatkan warisan untuk curiga terhadap orang China. Ini berbahaya karena dapat menjadi bahan bakar terciptanya konflik sosial. Namun herannya kondisi ini seolah didiamkan bahkan terkesan dipelihara.
Memiliki kesempatan berinteraksi dengan jujur dan terbuka dengan teman-teman keturunan China membuka mata saya. Sebelumnya saya terkungkung dalam stereotip umum yang salah tentang keturunan China. Jelas mereka, keturunan China, itu lebih pintar dan lebih kaya karena mereka terbiasa bekerja keras. Mereka harus bekerja keras karena mereka menyadari bahwa mereka harus bisa hidup dan mandiri di tanah ini. Perjuangan tanpa kenal putus asa itulah yang mengantar mereka meraih kesuksesan. Kebanyakan orang cuma melihat ketika mereka sudah sampai puncak, bukan ketika mereka jatuh bangun bekerja keras siang dan malam.
Berani berinteraksi secara jujur dan menganggap mereka tidak berbeda dengan teman-teman dari suku yang lain membuat saya memiliki sahabat baik seorang keturunan China. Saat ini dia telah sukses sebagai kontraktor. Itu kesuksesan yang tak terbayangkan akan dia raih ketika melihatnya saat SMA dulu. Karena dia walau China, termasuk China kere hore.
Saya pikir, di saat inilah waktu yang tepat untuk kita mulai melepaskan stereotip negatif tentang keturunan China di Indonesia. Memperlakukan keturunan China yang sudah jadi warga negara Indonesia secara berbeda, menjauhkan mereka dari masyarakat dengan mengabaikan keberadaan mereka, memanfaatkan mereka hanya untuk kepentingan ekonomi, serta mengurangi hak sosial politik mereka, semua perlakukan tidak adil itu haruslah diakhiri di Indonesia ini. Keturunan China yang ada di Indonesia adalah warga negara Indonesia. Sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya.
Teman-teman keturunan China pun harus proaktif. Jika terus menerus ikhlas diperlakukan beda, jika terus menerus mendapatkan perlakukan diskriminatif dan diam saja, akhirnya ya akan terus menerus dibully, dirisak. Sangat perlu dulur-dulur keturunan China membangun kekuatan dan keberanian untuk membalas ejekan dan perlakuan diskriminatif itu dengan cara yang cerdas dan bijak. Seperti juga sangat perlu untuk berefleksi melihat ke diri sendiri dan teman-teman sesuku, apa yang menyebabkan orang China sering jadi sasaran kebencian suku-suku lain di Nusantara ini.
Di SMA saya dulu, kami juga akhirnya bisa membangun persahabatan bahkan persaudaraan diantara bermacam suku karena kami akhirnya memahami, walau kami berbeda-beda, namun kami itu sama. Tidak ada yang lebih istimewa. Tidak ada yang lebih hebat karena latar belakang identitas suku, agama, status sosial, dll. Semuanya latar belakang itu pada akhirnya ya biasa-saja, tak perlu jadi sombong karenanya. Tak perlu merasa hebat karena atribut identitas itu sebenarnya hanyalah tempelan dari kesejatian diri kita saja, dari identitas kemanusiaan kita.
Jawa ya Jawa. Batak ya Batak. China ya China. Biasa saja. Lalu selanjutnya apa? Apa yang membuatnya lebih istimewa? Tentu bukan karena suku, tentu bukan karena agama tapi jelas karena sumbangsih untuk masyarakat sekitar, untuk memberi makna positif dalam setiap kehadiran.
Bisakah kita meneruskan perjuangan Gus Dur itu?
*Oleh : Adven Sarbani: Dosen di Akse Widya Mandala Surabaya, aktivis gerakan Masyarakat Anti Fitnah (MAFINDO) Surabaya, gusdurian freelance.
**Naskah ini diterbitkan dalam buku “Ada Aku di Antara Tionghoa Indonesia”. Atas kesepakatan, dipublish melalui www.idenera.com sementara waktu untuk kepentingan kegiatan Bedah Buku yang akan diselenggarakan tanggal 10 April 2018.
*** Mohon untuk tidak membagikan link dan atau meng-copy sebagian atau seluruh teks ini kerena terikat hak cipta pada penerbit.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan