Nera Academia : Sudah satu tahun kuliah di Warung Mbah Cokro

235 0

Tepat setahun  sejak tanggal 14 Februari 2017, Nera Academia berkegiatan di Warung Mbah Cokro.  Warung kopi yang terletak di Prapen ini jadi satu-satunya  tempat bagi Nera Academia melaksanakan kegiatan diskusi populer yang dinamakan Nera Talk selama setahun terakhir. Pada tahun-tahun sebelumnya, Neratalk juga dilaksanakan di warung dan kafe, namun selalu berpindah tempat.

 

Pada tanggal 14 Februari 2017 lalu Nera Academia mengadakan Neratalk dengan judul VaHoaxTine.  Pada tanggal yang sama ditahun ini,  bersamaan  dengan Hari Valentine (14/02/2018), Nera Academia mengangkat judul Neratalk “Warung Kopi Sebagai Entitas Budaya”.  Judul “Warung Kopi Sebagai Entitas Budaya”, oleh Nera Academia diangkat dari proses refleksi proses, dinamika serta perjumpaan antar orang maupun komunitas di warung Mbah Cokro  selama setahun.

“Sejak mengenal Warung Mbah Cokro setahun lalu, kami sudah nyaman dengan konsep, suasana, sajian makanan serta kopinya. Bertemu dengan komunitas lain, kemudian menjalin kerjasama banyak terjadi di sini. Rasa-rasanya kami atau saya pribadi menemukan rumah baru” kata Andre Yuris, CoFounder Nera Academia.

Andre mengatakan,  Neratalk sebagai kegiatan diskusi populer dikemas agar sedapat mungkin dilaksanakan di ruang terbuka. Warung menjadi pilihan utama karena heterogenitas dan lalu lintas perjumpaannya ramai.  Diskusi populer akan hidup ketika ada keberagaman latar belakang pemikiran sehingga  diskusi , tukar gagasan dan ide jadi lebih berwarna. Kondisi  diskusi seperti ini  memungkinkan terjadinya perjumpaan dan dialog yang mendorong proses alamiah kohesifitas sosial di masyarakat.

Zurqoni, pendiri Warung Mbah Cokro yang didapuk sebagai pemantik diskusi menceritakan kisah dibalik warkop yang berloksi di Jalan Raya Prapen Surabaya ini.  Alumni Stikosa AWS Surabaya ini mengatakan idenya tidak lepas dari pengalaman  yang ia dirasakan waktu SD tahun 80an.  Menurut Mas Zurqon, pada era itu restoran cepat saji seperti KFC sangat sulit masuk di Indonesia karena lidah orang Indonesia tidak terbiasa. Namun mereka pintar memanfaatkan cela budaya dan pasar.

” Dibuatlah iklan-iklan  yang menunjukkan makanan itu enak serta bergaya modern. Mendoktrin  life style kita . Era 90an, KFC  dibuat play ground, anak-anak dibawa untuk bermain dan bapak-ibunya makan. Kalo disadari ini kadersasi. Kenapa warkop kita ketinggalan? ya kurang adaptif.” kata Presiden Mbah Cokro ini.

Terkait menguatnya fenomena warung kopi,  Zurqoni mengatakan sejak awal mencoba memahami diri sebagai amuba, punya ego namun rela dibagi dengan yang lain.  Membagi diri menjadi kepentingan bisnis dan idealisme. Baginya warkop tidak hanya semata-mata entitas bisnis namun juga tempat bertumbuhnya ide, bahkan jadi tempat kaderisasi. Itulah yang jadi inspirasi nama Warung Mbah Cokro, Indonesia masih ada.

” Saya kagum dengan HOS Cokroaminoto. Punya anak kos seperti Soekarno, Semaoen, Kartosoewirjo, yang kemudian hari jadi orang yang mampu mengubah Indonesia. Warung ini,  ide dan cita-citanya mencontoh apa yang dilakukan Mbah Cokro dahulu” lanjutnya.

Hal itu terlihat dari penataan dan desain warung ini, dimana tersedia  ruang pameran, mimbar seni dan tempat diskusi.  Pengunjung tidak hanya  ngopi sambil ngobrol dalam kelompok kecil tapi juga bisa terlibat dalam diskusi atau obrolan dalam kelompok besar.  Panggung sengaja dibangun   di tengah-tengah untuk  pertunjukkan musik, puisi, teater, diskusi, nonton film bahkan sesekali ada pentas ludruk.

Terkait dengan peran warung kopi sebagai  entitas budaya,  Krisnanto Wahyu, sosiolog dari Universitas Katolik Darma Cendika (UKDC) Surabaya mengatakan bahwa budaya cangkruk lekat dengan kebiasaan masyarakat Jawa. Budaya kumpul di warkop pada masyarakat Jawa Timur disebut cangkrukan sedangkan  di Jawa Tengah disebut kongko-kongkoan.

” Dulu ketika melawan Soeharto mahasiswa melawan dengan diskusi, cangkrukan di depan kampus. Dilirik intel bergeser ke tempat lain, pindahnya ya ke warung kopi. Di warung kopi banyak orang, bercampur baur dengan masyarakat  sehingga apa yang dibicarakan pun akhirnya menggerakan berbagai kalangan rakyat yang sebelumnya jauh dari  wacana  reformasi itu.” lanjut Krisnanto Wahyu.

Warung kopi menurut Krisnanto kemudian tidak hanya sebagai tempat ngalor ngidul semata, warkop menjadi ruang  wacana hingga aksi.  Warkop juga perlahan mengambil peran kampus sebagai pusat diskusi.  Birokarsi kampus yang berbelit serta pengawasan disertai ancaman, mengkebiri wacana kritis mahasiswa. Mahasiswa yang menginginkan kultur kritis kemudian lari dan terwadahi dengan baik di warkop seperti di Mbah Cokro.

” Kampus tidak lagi jadi tempat bertukar pikiran tapi hanya menjadi tempat “seperti pabrik” bukan utk belajar, tapi menghasilkan calon pekerja ditambahi sistem pendidikan yg menghasilkan para pekerja bukan para pemikir” ungkap dosen Fakultas Hukum UKDC ini.

Sulistyanto Soejoso, pegiat pendidikan kota Surabaya yang turut hadir dalam diskusi mengatakan, sangat menggembirakan ada upaya sadar membangun kesadaran kritis melalui diskusi. Sulis mengatakan  warkop sebagai oase dan punya peran yang luar biasa seperti yang terjadi  di Aceh dimana warkop jadi muasal terjadinya pergerakan.  Namun Pak Sulis juga menyayangkan peran sekolah dan kampus  yang  tidak menjamin  atmosfer  yang mengagirahkan orang untuk  bertukar pikiran.

“Proses persekolahan kita menggerus kekritisan.  Semakin tinggi lulusan semakin tampak robot-robot  bernyawa” kata  Sulistyanto.  Juven, moderator diskusi Neratalk “Warung Kopi Sebagai Entitas Budaya” dalam resume diskusi mengatakan bahwa warung kopi menjadi kian penting bila berkaca pada gejala jaman ini. Warkop pada mulanya adalah entitas budaya yang didalamnya ada dialog dan gerakan. Kemudian perlahan tergerus dengan bermunculnya waralaba modern yang menekankan konsep kenyaman individual. Warkop kemudian mencoba beradaptasi secara instan misalnya dengan memasang jaringan internet. Warkop kemudian sepi dari dialog dan diskusi, sama seperti kampus-kampus yang sepi diskusi karena mahasiswa diperdaya sedemikian rupa agar jadi individualis. Kampus yang semula jadi ekosistem kritis, jadi hambar dan kaku.

“Beruntung, kita masih punya orang dengan niat seperti Mas Zuqron. Dikala diskusi itu jadi asing di kampus, di Warkop Mbah Cokro  malah tiap hari ada saja even diskusi dan ekspresi kebudayaan. Warung Kopi, benar kata Mas Zuqron  tidak hanya entitas bisnis namun juga entitas budaya. Rasanya kita semua sepakat bahwa warkop telah menjadi alternative common space seperti yang diungkap Pak Kristanto.  Nera Academia menambahkan, warkop telah menjadi ruang akademis, ruang intelektual, ruang ekspresi  dan pertukaran wacana kritis. Tidak berlebihan rasanya kalau kami menganggap Mbah Cokro sebagai kampus. Kami sudah kuliah di Mbah Cokro selama setahun, teman-teman lain silahkan mendaftar dengan sering datang dan ngopi disini ” ungkap Juven menuntup diskusi malam itu.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Ria Tekat

CDO Nera Academia, Guru Fisika & Alumni FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *