Emmanuel Levinas : Wajah sesamaku mengatakan terimalah aku, jangan membunuh aku

450 0

Konsep “Yang Lain” (L’ Autrui)

Emmanuel Levinas berusaha mengayuh makna yang lain (l’autrui atau the Other). Bagi Levinas, Yang Lain adalah pembuka horizon keberadaan kita, bahkan pendobrak menuju ketransendenan kita. Bagi dia Yang Lain itu ada dan indah. Manusia pada hakekatnya terasing atau alien satu sama lain. Maka untuk menjembatani itu pertemuan atau perjumpaan menjadi suatu momen etis. Perjumpaan yang dimaksud adalah perjumpaan dengan yang lain.

 

Yang lain adalah orang lain atau sesama manusia, pribadi yang lain sebagai person dalam keluhuran martabatnya. Pandangan ini merupakan kritik diri atas roh totaliter yang mengabsolutkan ego dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah, yang lain selalu didekati sebagai obyek, suatu bagian dari skema inteligibel ego. Hal itu memperkosa keunikan dan alteritas yang lain sebagai yang lain, lain dari aku.

Pribadi yang lain tidak boleh diperlakukan sebagai ‘benda’. Karena pada hakekatnya eksistensi kita adalah sebuah ketelanjangan, karena ketelanjangan kita merupakan eksitensi privat. Eksistensi privat itu adalah ranah interioritas yang berkembang terpisah dari dunia. Namun dalam masyrakat kita tidak tahluk dengan ketelanjangan itu, atau juga digelisahkan oleh ketelanjangan Yang Lain. Dalam masyarakat terungkap suatu eksterioritas di mana relasi aku dengan yang lain menemukan tempat. Aku bukan merupakan solitude being melainkan adaku selalu terhubung dengan relasi dengan Yang Lain. Aku membutuhkan yang lain sebagai yang lain. Bukan yang lain sebagai alter ego, atau aku yang lain, tapi yang lain dalam keyanglainannya.

Perjumpaan dengan Yang Lain

Setiap kali saya menangkap hal-hal baru, “yang lain” itu menjadi bagian dari kekuasaanku dan kehilangan keberlainannya, sebab ia menjadi bagian dan masuk dalam totalitasku. Namun, sesungguhnya “yang lain” tidak pernah bisa kukuasai, sebab dari kehausan kekuasaanku muncul sosok “yang lain” yang belum aku ketahui yang memasung keinginanku yang tiada habisnya untuk sekali lagi menguasainya. Keinginanku terus-menerus, di satu pihak, untuk menguasai, dan di lain pihak, ketakberhinggaan “yang lain”, yang selalu muncul, akhirnya menyadarkan diriku pada transendensi yang tidak dapat pernah kukuasai. Dengan kata lain, “yang lain” sesungguhnya berada di wilayah luar dari diriku dan tidak pernah bisa masuk dalam totalitasku yang ambisius. Di hadapan “yang lain”, saya hanya bisa tunduk dan menyerah.

Pengalaman dasar manusia dalah perjumpaan dengan yang lain. Dalam perjumpaan itu, kita sadar bahwa kita langsung bertanggungjawab total atas keselamatannya. Langsung dalam arti bahwa tanggung jawab itu membebani kita, mendahului komunikasi eksplisit kita dengan orang lain. Pengalaman itu bersifat etis. Menurut Levinas, moralitas adalah pengalaman paling dasar manusia. Ia selanjutnya menunjukan bahwa pengalaman dasar itu pengalaman tanggung jawab mutlak saya terhadap orang lain yang bertemu saya, di mana sinar kesucian ilahi ikut terlihat. Di sini Levinas dalam analisa eksistensial fenomenologis paling dasariah, menunjukan bahwa pengalaman moral adalah titik tolak segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia dan bahwa pengalaman dasariah itu sekaligus merupakan kesadaran akan adanya Yang Ilahi di belakangnya.

Emmanuel Levinas (Sumber: levinas.nl)

Tanggung Jawab terhadap Yang Lain (la responsibilité pour autrut)

Levinas ingin menunjukan bahwa secara fenomemologis pada saat berhadapan dengan sesama kita langsung menyadari diri dipanggil olehnya untuk bertanggung jawab atas keselatannya. Apakah kita mengiyakan atau menolak panggilan itu, adalah masalah belakangan (namun, itulah masalah yang dalam kesadaran mendapat perhatian kita, di mana lalu juga etika normatif mau membantu dalam menentukan sikap mana yang tepat bagi sesama itu).

Levinas berfokus pada saat pra-reflektif di mana kita untuk pertama kali menyadari bahwa ada sesama menghadapi kita. Di saat itu, kita seakan-akan “disandera” oleh saudara itu, sehingga terikat total oleh tanggung jawab atas keselamatanya. Dalam kesadaran pra-reflektif itu juga termuat panggilan kepada kebaikan, tuntutan primordial untuk bersikap baik dan tidak jahat terhadap dia itu. Dan bahwa panggilan itu merupakan pancaran dari Yang-Baik-Tak-Berhingga di dalamnya kita bertemu dengan saudara. Respondeo Ergo Sum (aku bertanggungjawab, maka aku ada).” Manusia etis menurut Levinas adalah yang bertanggungjawab terhadap sesamanya. Ia menandaskan, “

Ia menunjukan bahwa fenomena pertemuan dengan orang lain ini menjadi dasar untuk memecahkan pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat: bahwa ada seorang Engkau, bahwa ada realitas di luar kesadaran saya. Jadi bahwa pengertian manusia memang sampai pada realitas itu sendiri, bahkan bahwa saya menjadi diri saya hanya karena engkau, bahwa saya ada dan identik dengan saya (karena dalam pengalaman tanggung jawab purba itu saya secara langsung dan tak tergantikan menyadari diri bertanggungjawab atas keselamatan orang lain itu), bahwa sikap yang pertama adalah kebaikan dan bukan kejahatan, dan bahwa orang lain maupun kita ada karena adanya Yang Mahabaik.

Suatu perbuatan etis tertentu lahir dari respons yang diberikan atas kehadiran yang lain. Respons dalam bentuk jawaban, yaitu jawaban atas panggilan orang lain. Respons terhadap suatu jawaban mesti dibarengi dengan sikap siap untuk menanggung segala konsekuensi dari jawaban yang diberikan. Sikap menanggung suatu jawaban adalah tanggung jawab.

Signifikansi etis wajah

Levinas mengatakan, “wajah sesamaku mengatakan terimalah aku, jangan membunuh aku.” Wajah memberitahukan perintah untuk “jangan membunuh”, ini kelihatan secara pasti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dan tanpa syarat. Wajah memberi perintah kepada setiap orang untuk bertanggungjawab atas yang lain.

Wajah tidak dimaksudkan dengan hal fisis atau empiris, seperti keseluruhan yang terdiri dari bibir, hidung, dagu, dan seterusnya. Seandainya sama dengan sesuatu yang bersifat empiris begitu saja, wajah akan termasuk totalitas juga. Yang dimaksudkan dengan wajah adalah orang lain sebagai yang lain menurut keberlainannya. Jadi, kualitas-kualitas fisis atau psikis yang bisa saja tampak pada sebuah wajah (tampan, muda, cemerlang, dll) tidak penting bagi Levinas.

Wajah berarti situasi di mana di depan kita orang lain ada dan muncul. Kita berhadapan wajah ke wajah tanpa pengantara. Ia hadir sebagai orang tertentu melalui wajahnya. Wajah itu menyapa kita. Barangkali ia minta uang atau ia hanya menatap kita dengan situasi diam.  Lewat wajahnya kita berhadapan dengan orang lain. Sebuah situasi yang sebenarnya biasa, tetapi menurut fenomenologi lur biasa. Wajah itu telanjang (la visage nu). Artinya wajah yang begitu saja, wajah dalam keadaan polos. Wajah yang menyatakan diri sebagai visage significant, wajah yang telanjang di mana mempunyai makna; langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.

Penampilan wajah adalah suatu kejadian etis. Itulah langkah penting dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh acuh tak acuh saja. Ia mewajibkan saya. Ia mengunjungi saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia menghimbau saya agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan yatim piatu”.

Levinas menggagas sebuah pemikiran etis tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap orang lain sebagai wujud konkret dari perjumpaan manusia melalui wajah ke wajah itu. Filsafat wajah-nya menarik untuk ditilik. “Wajah” yang dimaksud bukan sekedar bagian dari organ tubuh manusia yang terletak di bagian depan kepala. Yang dimaksud dengan Levinas dengan istilah ini adalah situasi dimana ada orang yang muncul di depan kita. Ia hadir sebagai orang tertentu melalui wajahnya. Dalam wajah sesuatu yang transenden menyatakan diri.

Wajah adalah sebuah personifikasi ketakberdayaan yang mengimbau suatu tindakan etis. Ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam wajah itu, orang lain tampak sebagai orang tertentu, orang lain. Orang lain menyatakan diri sebagai yang betul-betul lain dari saya. Konsekuensinya adalah bahwa wajah sebagai wajah tidak dapat dikuasai, dipegang atau diperbudak. Kedua, dalam wajah itu orang berada sama sekali di luar kita. Ia tidak berbicara tentang bagaimana tanggung jawab moral, apa itu bertindak secara moral atau bagaimana reaksi yang harus diambil ketika orang lain berhadapan dengan kita, melainkan pada apa yang terjadi di saat wajah itu menatap kita. Ketika seoseorang berhadapan dengan orang lain, ia menjadi tidak bebas lagi, tidak bisa bersikap apatis tetapi ia harus bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab itu bersifat total. Total dalam arti bahwa kita tersubstitusi bagi orang itu. Bebannya menjadi beban saya, tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab saya. Saya bahkan bertanggung jawab atas kesalahan orang lain: orang itu, dengan segala beban yang ada padanya adalah beban saya.

Manifestasi yang lain adalah wajah. Maka, wajah adalah sebuah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing, yang telanjang. Semua figur ini menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Epifani wajah adalah suatu kejadian etis. Kejadian yang membuka kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang mengandung di dalam dirinya suatu undangan etis. Undangan yang meminta suatu respons, yaitu respons dalam responsibilité.

Ia menegaskan bahwa baru ketika berhadapan dengan orang lain, saya menjadi saya, saya menemukan identitas saya, menemukan keunikan saya. Inilah yang menjadi inti dari paradigma filosofis Levinas tentang filsafat wajah.

Levinas berfokus pada saat pra-reflektif yang memuat data panggilan untuk kebaikan, tuntutan primordial untuk bersikap baik dan tidak jahat terhadap dia yang lain, dan bahwa panggilan itu merupakan pancaran dari yang baik-Yang-Takberhingga yang menjadi cakrawala di mana didalamnya kita bertemu dengan yang lain.

 perjumpaan wajah

Ilustrasi: indonesiana.tempo.co

Keunikan Yang Lain

Baca juga : Apa sebenarnya akar kekerasan kalangan terpelajar?

Persoalan yang justru diperuncing dalam pemikiran Levinas adalah kritiknya terhadap kencenderungan reduksionis dalam sejarah filsafat, dari pra-sokrates sampai dengan Heidegger. Bagi Levinas, tradisi filsafat barat merupakan “the philosophy of the same” karena segala usaha untuk membangun suatu totalitas merupakan pemerkosaan terhadap keunikan yang lain.

Dan segala usaha untuk mengeksplisitasi dan memahami keunikan manusia merupakan pelecehan terhadap alteritas (keberlainan yang lain, yang sama sekali lain) manusia sebagai persona. Segala usaha untuk memahami diri sesama merupakan kegagalan. Keunikan sesama sebagai pribadi hadir dihadapan “wajah yang telanjang”. Di sini Levinas memakai nama “DiaYang Lain” untuk menerapkannya pada manusia. Manusia adalah misteri yang sulit dipahami. Manusia adalah valde aliud atau yang sama sekali lain bagi sesamanya. Karena dalam diri sesama yang unik itu Aku melihat DIA Yang Transenden, maka aku harus menghormati sesama, bahkan harus tahkluk dan taat.

Menurutnya, ontologi atau metafisika esensialisme telah memperkosa keunikan. Bagaimana “ada” menjadi dasar keunikan dan sekaligus menjadi dasar kesamaan? Pertanyaan ini yang manu dijawab Levinas. Bahwa eksplisitasi keunikan hanya menjadi latar belakang bagi penindasan terhadap yang lain. Filsafat yang demikian adalah filsafat totalistis.

Diskursus Akhir

Emmanuel Levinas merupakan pengubah isu etika pasca-modern. Dengan berfokus pada fenomenologi yang lain, ia ingin meradikalkan Yang Lain yang telah lama dilupakan dalam diskursus seluruh filsafat barat. Descartes yang mengabsolutkan kesadaran, Husserl yang mengedepankan paradigma subyak-obyek, dan Heidegger yang mengumandangkan ontologi fundamental, ditolak Levinas. Paradigma semacam ini telah menjadi kerangka dasar pemikiran totaliter yang mengabsolutkan ego in se. Bagi Levinas pemikiran seperti ini bersifat narcistis, egosentris. Padahal data paling dasar keterpanggilan manusia adalah melihat yang lain. Bukan hanya melihat, tapi merespon impuls etis yang didapat melalui perjumpaan wajah ke wajah dengan suatu sikap tanggung jawab. Ini bukan suatu etika normatif, melainkan suatu fenomemologi moral yang begitu saja disisihkan dalam sejarah.

Akar dari penindasan, pemerkosaan, pembunuhan terhadap sesama adalah kegagalan dalam melihat yang lain sebagai yang lain, kegagalan melihat wajah yang lain. Kisah Auswitch terekam dalam jiwa Levinas sebagai momen pedih di mana keluarganya sendiri menjadi korban. Analisis Levinas dalam fenomenologi yang lain berhubungan dengan kejadian miris itu. Apalagi diskriminasi terhadap orang Yahudi di Eropa, menjadi sebuah terminus a quam bagi analisis terhadap keunikan dan alteritas yang lain. Dengan mengeritik metafisika esensialisme, Levinas sebenarnya mengungkapkan bahwa hanya Tuhan yang unik an sich. Keunikan manusia hanya ada dalam tataran horisontal, yakni relasi antara manusia. Namun dalam relasi vertikal manusia berada dalam satu kategori yakni yang terbatas, yang tergantung pada Dia yang adalah Der Ganz Andere (Dia Yang Sama Sekali Lain). Kita patut berterimakasih pada Levinas karena telah berjuang mengungkap cacat cela filsafat modern yang memutlakan kesadaran dan mencoba menggali kekayaan data kesadaran secara fenomenologis dan kakayaan yang lain. Akhirnya manusia etis levinasian adalah dia yang berada bagi yang lain. Dia yang bertanggungjawab terhadap yang lain. Manusia secara pra-refleksif sebenarnya terpanggil untuk bertanggungjawab terhadap sesama.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Fian Roger

Pegiat Jurnalisme Warga di Ruteng, Flores. NTT.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *