Ariot, nama sapaan dari pria gondrong dan ber percing itu menjadi pembuka penampilan kesenian Sengkuni 5. Pemuda tersebut alumni Jurusan Seni Rupa, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya.
Sebelumnya, 30 hari menjelang acara Sengkuni 5, Ariot mendapatkan panggilan dari panitia untuk tampil. Ia bercerita menyanggupi tawaran itu. Uniknya penampilan Ariot pada malam itu merupakan spontanitas.
“Ketika dihubungi panitia kurang lebih 1 bulan menjelang acara. Dalam jangka waktu 1 bulan, saya nggak ada persiapan apa-apa. Jadi, penampilan saya itu spontanitas saja. Spontanitas tanpa batas, Hahaha!” ucapnya.
Penampilan Ariot hanya berbekal seonggok kursi besi lipat, korek api, dupa, dan lonceng kecil. Sebelum ia menyuguhkan pertunjukan, dari backstage menuju panggung, Ariot mencopot lonceng yang biasa ia pakai.
“Lonceng yang biasa saya pakai sebenarnya cuma buat bunyi-bunyian aja. Lonceng ini saya bawa kemana-mana, biar orang tahu kalau aku ada,” ujar pria bertato itu.
Dengan kursi besi lipat yang sudah tersedia di depan panggung, kemudian ia menaikinya. Posisi berdiri dengan tangan kanan menjuntai ke atas, terdengar suara “ting… ting…” bunyi lonceng kecil yang ia kaitkan pada gesper pinggang.
Suara bunyian lonceng kecil terdengar berulang. Ternyata, tidak hanya bunyian lonceng yang ingin ia sampaikan pada penonton. Bunyian dari lonceng kecil itu, menurut Ariot, mengandung esensi.
“Lonceng yang saya mainkan menggambarkan kebisingan dan mengganggu pikiran. Saya mengharapkan penonton bisa resah dan bertanya-tanya, sebenarnya orang itu ngapain?” katanya.
Sembari memainkan lonceng kecil, tangan kiri Ariot memegang dupa yang dibakar dengan asap yang mengarah ke langit. Ariot menyebutkan, jika membakar dupa merupakan simbolisasi dari doa atau salah satu dari perjalanan spiritualitas.
“Dupa sebagai simbolisasi dari spiritualitas. Ketika membakar dupa, asap mengarah ke atas. Pun, serupa dengan doa, akan dan pasti mengarah ke atas pula,” tegasnya.
Ariot menyampaikan bahwa kursi memiliki pemaknaan filosofis dan dari cita-cita, tujuan, atau harapan.
“Bagi saya, kursi bisa diartikan sebagai tujuan, cita-cita atau Impian dari tiap-tiap individu yang ingin dicapai,” tegasnya.
“Takkk… Takkk…” suara lemparan dari benda kecil yang kerap digunakan sebagai pemantik api. Selain sebagai alat pembakar dupa, ternyata korek api juga digunakan Ariot dalam aksi panggungnya.
Dalam aksinya di atas panggung, pria yang memakai jaket denim coklat itu beberapa kali melemparkan korek pada barisan dupa yang telah disusun ketika penampilan sedang berlangsung.
Ariot mengungkapkan bahwa melempar korek merupakan bentuk ajakan interaksi dengan para penonton.
“Tadi ketika aku melempar korek itu, sebagai pemantik pada audiens agar mau berinteraksi ketika perform masih berlangsung,” ungkapnya.
Sayangnya harapan itu hanyalah bayangan dari Ariot semata. Nyatanya, Ariot tak mendapatkan interaksi seperti yang ia pikirkan.
“Ketika penampilan saya berlangsung, penonton bisa merespon penampilan saya. Sayangnya penonton tidak merespon. Tapi, menurutku itu juga bagian dari respon,” katanya.
Obrolan singkat ini kemudian ditutup dengan harapan Ariot pada penonton pertunjukan seni untuk memiliki rasa kepekaan terhadap pertunjukan yang disaksikan.
“Seniman dituntut untuk peka terhadap apapun. Karena kita di lingkungan seni, yang ada di sini bukan awam seni, jadi otomatis menjadi masyarakat seni. Seharusnya, penonton peka terhadap pesan yang saya bawakan ketika perform. Tapi tidak masalah, ketidakpekaan itu bagi saya juga suatu respon,” pungkas Ariot.
Editor: Rangga Prasetya Aji Widodo
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan