Radio Braille Surabaya Jagokan Konten Auditif

186 0

IDENERA – Jika media arus utama memilih konten visual sebagai prioritas, berbeda dengan Radio Braille Surabaya (RBS). Media inklusif yang telah soft launching pada Sabtu (3/12/2022) di YPAB Jalan Gebang Putih No 5 Surabaya itu, justru mengandalkan konten-konten berbasis audio dalam memproduksi karya jurnalistiknya.

Tutus Setiawan (42) Pimpinan Redaksi RBS menjelaskan bahwa pemahaman masyarakat mengenai media elektronik radio perlu diperkaya. Pasalnya, radio itu tidak selalu memiliki jaringan frekuensi, studio yang besar, dan hanya dapat didengarkan memakai alat-alat yang memiliki antena besi panjang.

“Dari hasil diskusi yang kami lakukan, ‘radio’ itu adalah media yang mengeluarkan ‘suara’. Jadi, ‘radio’ itu bukan alat konvensional yang berbentuk kotak, analog diputar, lalu muncul suaranya, bukan seperti itu. Perkembangan teknologi yang ada, media-media yang menitikberatkan pada audio itu kami sebut dengan radio,” katanya.

Di sisi lain, ia menjelaskan bahwa konten-konten jurnalistik RBS yang berbasis suara akan ditayangkan melalui kanal YouTube. Melalui YouTube, lelaki paruh baya itu berharap suara-suara reportase mereka bisa dijangkau lebih banyak pendengar, agar masyarakat familiar dengan keberadaan disabilitas.

Redaksi Radio Braille Surabaya-RBS (dari kanan) Tutus, Atung, Sugik, dan Hanan saat Soft Launching di Surabaya, 3 Desember 2022. Foto :Rangga

“Mengapa kami memilih platform YouTube? Bahwa konsumen yang paling banyak saat ini, ditemukan di YouTube. Namun, tidak menutup kemungkinan, kami juga ada radio sendiri. Jadi, media sosial itu kami jadikan perantara untuk menyuarakan dan membesarkan RBS,” tegasnya.

Sugi Hermanto (39) Koordinator Produksi RBS mengakui keterbatasan disabilitas dalam menyajikan konten-konten bergambar. Sehingga, ia bersiasat untuk memperkaya deskripsi berupa suara saat menyuguhkan berita-berita untuk masyarakat.

“Kami sadar, kemampuan kami dalam menampilkan produk visual tidak sebagus teman-teman. Jadi, alasan kami memilih YouTube lebih karena konsumen. Namun, kami akan menonjolkan ke auditif, sehingga informasi yang kami sampaikan melalui suara akan lebih detail,” tuturnya.

Selain memakai YouTube, Sugi menegaskan bahwa RBS pun memiliki kemungkinan untuk merambah ke platform-platform berjenis podcast, contohnya Spotify. Hal itu, supaya hak-hak disabilitas yang masih belum tersuarakan dapat didengar lebih banyak orang.

“Kenapa kami menamakan itu ‘radio’? Karena kami akan menonjolkan ‘suara’. Kami tidak menutup kemungkinan, seperti kata mas Tutus, nanti bisa diubah menjadi audio podcast di Spotify. Cuma teknik penyampaian dan distribusi, kami berupaya seperti teman-teman radio,” ungkapnya.

Hanan Abdullah (25) Koordinator Distribusi Konten dan Media Sosial RBS sudah terbiasa dengan konten-konten suara. Radio sudah sejak lama menjadi rujukan utama penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi, terlebih untuk menghapus stigma-stigma buruk dari masyarakat.

“Konsumsi ilmu pengetahuan tunanetra saya memang dari lahir itu auditif, jadi apapun yang bersifat audio itu ‘makanan’ utama saya. Jadi, kalau radio itu ya utama banget, karena selain dari membaca sesuatu yang bersifat digital, seperti buku digital, dan sebagainya, sesuatu yang audio itu informatif banget,” katanya.

“Apalagi ada semacam stigma ya kalau orang tunanetra itu agak kudet gitu kan katanya. Nah, kita tahu, untuk mengubah stigma itu, bagi diri saya sendiri, ya dengan radio, dengan konten apapun yang auditif, bersifat audio,” imbuhnya.

Atung Yunarto (50) Koordinator Konten RBS menyampaikan jenis-jenis konten yang akan diproduksi media inklusif tersebut. Seperti, konten edukasi, yang berupaya menyuarakan kebutuhan disabilitas kepada publik. Konten reportase, untuk mengangkat isu-isu populer memakai perspektif disabilitas. Kemudian, konten ekspresi, memuat prestasi dan inovasi dari penyandang disabilitas.

Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer saat sesi diskusi Soft Launching Radio Braille Surabaya. Foto : Rangga

“Kami ingin memiliki inovasi-inovasi atau kreativitas untuk menggapai narasumber, melalui tema-tema yang kami angkat. Walau ada masalah akses untuk mencapai objek/subjek pemberitaan kami. Selain itu, soal biaya, karena harus mobile. Tapi, kami upayakan agar tidak menjadi hambatan,” tegasnya.

Eben Haezer, Ketua AJI Surabaya menyampaikan harapan untuk RBS. Ia ingin penyandang disabilitas tunanetra dapat memperkenalkan diri sebagai jurnalis kepada masyarakat. Sehingga peran, kompetensi, dan pemberitaan yang dihasilkan dapat memotivasi banyak orang.

“Mimpi saya, suatu saat nanti mereka akan datang ke publik, ke kantor-kantor dinas, ke tempat walikota, mengetuk pintu dan mengenalkan dirinya sebagai, ‘Pak, Bu, saya adalah jurnalis Radio Braille Surabaya (RBS), saya ingin wawancara’,” katanya.

“Mereka berani keluar untuk deklarasi ke publik bahwa, ‘Saya adalah jurnalis’, itu nanti yang menjadi nilai tambah mereka. Harapannya bisa mendorong banyak motivasi dari kawan-kawan disabilitas lainnya, bukan hanya dari tunanetra,” pungkasnya.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Rangga Prasetya Aji Widodo

Kontributor Idenera.com. Jurnalis lepas di Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *