SETELAH HAMPIR 17 tahun sejak diterbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomer IX/MPR/2001 (TAP MPR RI IX/MPR/2001) tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia, hingga saat ini implementasi dalam tataran normatif dan empiris belum dapat dirasakan masyarakat luas, utamanya bangsa Indonesia sendiri.
Dalam tataran normatif, meskipun upaya-upaya ke arah harmonisasi peraturan-peraturan perundang-undangan terkait dengan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan yang saling tumpang tindih bahkan saling bertentangan satu sama lain telah dilakukan, akan tetapi hasil nyata dari upaya tersebut masih belum juga dapat dituangkan dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan yang berkualitas[2].
Dalam tataran empiris, berlarut-larutnya ketimpangan distribusi penguasaan SDA dan kecenderungan eksploitatif pada ranah pengelolaannya disinyalir sebagai penyebab terjadinya konflik vertikal dan horisontal di dalam masyarakat, terpinggirkanya hak-hak masyarakat hukum adat (MHA) beserta kearifan lokalnya, ketidakadilan akses perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam/sumber daya agraria (SDA) bagi kelompok rentan (perempuan, kaum miskin perkotaan, dan pedesaan) [3].
Berkaca pada sejarah, pentingnya pengaturan terkait dengan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan SDA di Indonesia telah menjadi keprihatinan yang mendalam founding peoples[4] Negara Indonesia, seperti Mochammad Tauhid, Soekarno, Mohammad Hatta, Notonegoro, Sajogyo, dll. Keprihatinan tersebut didasarkan atas bentuk pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan SDA di Indonesia yang menyebabkan kesengsaraan yang mendalam dan berkepanjangan bagi bangsa Indonesia karena semangat pemerintahan jajahan yang melakukan “pengurasan”[5]. Hebatnya, meskipun disertai banyaknya ancaman, baik dari dalam negeri dan/atau luar negeri, keprihatinan yang dirasakan oleh founding peoples terkait dengan drainage yang dilakukan pemerintahan jajahan tetap mampu menghasilkan undang-undang yang dapat dikatakan sebagai undang-undang yang dinilai paling monumental sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, yakni Undang-Undang Nomer 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang mampu “merombak struktur hukum agraria peninggalan Belanda”[6].
Kini, sayang sekali, di dalam perkembangannya, permasalahan terkait dengan agraria seolah menjadi suatu permasalahan yang dinilai primitif dan ter-/di-pinggirkan dalam dunia pendidikan sejarah perjuangan kemerdekaan di Indonesia yang lebih didominasi dengan sejarah perjuangan dalam tataran politis, jika tidak militer saja[7]. Bahkan, di dalam buku “pegangan” wajib mahasiswa hukum di Indonesia terkait dengan hukum agraria di Indonesia, sejarah penyusunan dan perumusan serta semangat kemerdekaan yang melatarbelakangi diterbitkannya UUPA, dipilih untuk tidak dimuat[8].
Generasi “buta-agraria” dan “melek-agraria”
Endriatmo Soetarto menyatakan bahwa Orde Baru merupakan penyebab lahirnya generasi-generasi “buta-agraria” (agrarian illiteracy), yakni generasi yang tidak memperoleh pengetahuan yang memadai terkait ke-agraria-an. Orde Baru lahir pada tahun 1966, yakni 46 tahun yang lampau dan mencapai masa keemasannya pada “bonanza minyak” pada awal 1970an hingga akhir 1980an, artinya generasi-generasi saat ini (yang lahir antara tahun 1970an-1980an) merupakan generasi-generasi buta-agraria tersebut. Generasi-generasi inilah yang saat ini duduk sebagai kekuatan penggerak sejarah bangsa dan menentukan arah yang hendak dituju bangsa Indonesia.
Peminggiran isu-isu terkait dengan agraria, utamanya Pembaruan Agraria (untuk tidak menyebutnya dengan landreform), yang menghasilkan generasi “buta-agraria” tidak dapat dilepaskan dari “kebijakan” pen-tabu-an pengkajian bahkan pembicaraan terkait isu agraria pada masa Orde Baru. Pada masa-masa tersebut kajian agraria, UUPA, dan landreform diidentikkan dengan organisasi terlarang (Partai Komunis Indonesia), maka tidak heran apabila nasib bahasan-bahasan agraria dianaktirikan (jika tidak disebut dengan bernasib sama dengan organisasi terlarang tersebut) padahal Indonesia menyatakan diri sebagai negara agraris, dan UUPA merupakan undang-undang yang memuat penjabaran sila-sila Pancasila yang paling konsisten[10], serta landreform (pembaruan agraria) merupakan langkah wajib dalam proses social transformation menuju masyarakat yang dicita-citakan[11].
Sekali lagi ditunjukkan oleh sejarah bahwa kebijakan yang dihasilkan oleh generasi “buta-agraria” dan pihak-pihak yang mengambil keuntungan dari semakin banyaknya generasi “buta agraria” di negara yang secara de facto agraris (namun de jure entah ke mana), yang berdasar Pancasila dan kebijakan agrarianya bertujuan pada terwujudnya “sebesar-besar kemakmuran rakyat”, dan yang masyarakatnya memerlukan social transformation menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila, adalah kebijakan yang lebih bersifat pragmatis serta hanya untuk memenuhi kepentingan sesaat (yang menguntungkan orang seorang, pihak-pihak tertentu, serta golongan-golongan tertentu dalam masyarakat) dan lupa akan semangat awal konteks kesejarahannya, yakni prinsip anti “exploitation de l’homme par l’homme” untuk mewujudkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” di bidang agraria.
Memang bukan hal yang mudah untuk mewujudkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” apalagi terkait dengan pengaturan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan SDA. Perumusan dan penyusunan UUPA saja (undang-undang yang disebut “monumental” itu) memerlukan waktu 15 tahun hingga diterbitkannya pada 24 September 1960. Namun, yang patut digarisbawahi adalah bahwa lamanya proses perumusan dan penyusunan UUPA tidaklah dipengaruhi oleh ketidaksadaran terhadap pentingnya SDA dalam rangka mewujudkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” melainkan lebih kepada keadaan negara yang terus disibukkan dengan mempertahankan tegaknya negara menghadapi ancaman baik secara fisik dan ideologis dari dalam dan luar negeri[12]. Generasi-generasi yang “melek agraria” lah, dengan kecintaan yang tulus, serta pengabdian tiada batas kepada bangsa dan negaranya, yang mampu merumuskan dan menyusun undang-undang monumental tersebut, meskipun sebagian ahli berpendapat bahwa UUPA masih memerlukan penyempurnaan namun tidaklah mengurangi nilai undang-undang tersebut untuk disebut dengan “monumental”.
Diantara dua pilihan
Kini, hampir 20 tahun pula angin segar reformasi telah berhembus, dan suatu generasi yang disebut dengan generasi “buta agraria” telah diwariskan. Pilihan selalu ada dalam menyikapi kebuta-agrariaan yang telah diwarisi. Pertama, meskipun merupakan suatu tantangan yang cukup berat, adalah “mentahirkan” kebuta-agrarian tersebut. Di dalam upaya ini, dibutuhkan kesungguhan, kebesaran hati, dan kehati-hatian untuk merombak sistem pendidikan secara keseluruhan dan kebudayaan secara menyeluruh dalam rangka mentahirkan generasi “buta agraria” yang telah diwarisi dan mencegah lahirnya generasi “buta-agraria” yang baru. Upaya pemberantasan “buta-agraria” harus pula diposisikan sejajar dengan pemberantasan “buta huruf” pada waktu-waktu sebelumnya. Pemberantasan “buta agraria”, seperti pemberantasan “buta huruf”, harus pula dilakukan secara massif, menyeluruh, namun mendalam karena kebutaan dan sentimen negatif terhadap istilah tersebut pun telah merasuk cukup dalam dan mempengaruhi struktur sosial masyarakat secara keseluruhan dalam rangka menyadari arti penting agraria dalam mewujudkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang inheren dengan “anti exploitation d l’homme par l’homme”.
Kedua, memilih untuk tetap tidak mau tahu terhadap permasalahan kebuta-agrariaan sambil terus mendengungkan dan menggembar-gemborkan jargon “Indonesia negara agraris”, “keadilan sosial”, “reformasi total”, “perjuangan untuk rakyat banyak”, atau “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pilihan ini lebih mudah dilakukan, meskipun tidak menyentuh akar permasalahan yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanakan amanat TAP MPR RI No. IX/MPR/2001. Pelaksanaan amanat TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 akan segera menemui kesulitan karena dalam tataran “pikiran” masyarakat luas tidak ditemukan relevansi pembaruan agraria bagi perwujudan kesejahteraannya, alih-alih “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Namun, jika kita tidak malu kepada generasi “melek-agraria” yang dengan segala keterbatasannya mampu menghasilkan produk perundang-undangan yang “istimewa”, tanpa bermaksud meremehkan upaya-upaya yang telah dilakukan selama ini, upaya kedua bisa jadi menjadi pilihan. Dan “AYO!! TUTUP MATA dan LUPAKAN!! segala bentuk Penjajahan” dan “TERUS LAKUKAN!! Exploitation d l’homme par l’homme”” serta “HILANGKAN!!” amanat TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 dan kutipan pidato Presiden Soekarno berikut ini.
“ Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan omong besar tanpa isi. … gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform, adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen.” [13]
Referensi
Caldwell, Malcom dan Ernst Utrecht, 2011. Sejarah Alternatif Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe bekerja sama dengan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.
Harsono, Boedi, 1970. Undang-Undang Pokok Agraria: Sedjarah Penjusunan, Isi, dan Pelaksanaannja, Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Kartodirjo, Sartono, 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lutfi, Ahmad Nashih, 2011. Melacak Sejarah Pemikiran Agraria, Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor. Yogyakarta: Pustaka Infada dan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.
Notonegoro, 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Ricklefs, M.C. , 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soetarto, Endriatmo, 2012. Dalam “Kata Pengantar” Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan. Yogyakarta: STPN Press bekerja sama dengan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor.
Soetiknjo, Iman, 1987. Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumardjono, Maria, 2008. Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Wiradi, Gunawan, 2009. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. KPA, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan AKATIGA.
Footnote: ____________________________________________
[1] Tulisan ini pernah diunggah oleh penulis pada http://www.academia.edu/3377592/Mentahirkan_Generasi_Buta_Agraria dengan judul “Negara Agraris Diantara Dua Pilihan: Melahirkan atau Mentahirkan Generasi “Buta-Agraria” (Agrarian Illiteracy)”, dan dalam tulisan ini dilakukan penyesuaian dan perubahan seperlunya.
[2] mis. Undang-undang pertanahan yang baru, yang bermaksud untuk menyempurnakan undang-undang sebelumnya, belum juga dapat diterbitkan hingga saat ini entah karena alasan teknis atau kualitas rancangan perundang-undangannya yang tidak berkualitas dan tidak memenuhi syarat peraturan perundang-undangan baik dari segi formal dan materialnya.
[3] Maria Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Hlm. 89.
[4] menurut Ahmad Nashih Lutfi istilah ini digunakan untuk menghindari bias gender. Bandingkan dengan istilah “founding fathers” (Ahmad Nashih Lutfi, 2011, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria, Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor, Yogyakarta: Pustaka Infada dan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor).
[5] Boedi Harsono melukiskan dengan kata “drainage” (Boedi Harsono, 1970, Undang-Undang Pokok Agraria: Sedjarah Penjusunan, Isi, dan Pelaksanaannja, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan.)
[6] Sebagaimana Iman Soetiknjo mengutip Patrick Mc Ausland. (Iman Soetiknjo, 1987. Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
[7] bandingkan penulisan sejarah antara Sartono Kartodirjo (tahun 1999 dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) dan M.C. Ricklefs (tahun 2007 dalam Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press) dengan tulisan sejarah Malcom Caldwell dan Ernst Utrecht (tahun 2011 dalam Sejarah Alternatif Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Djaman Baroe bekerja sama dengan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor) serta Gunawan Wiradi (tahun 2009 dalam Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, KPA, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan AKATIGA).
[8] bandingkan antara Boedi Harsono dalam buku UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi dan Pelaksanaannya, Hukum Agraria Indonesia yang diterbitkan sebelum tahun 1970 dengan edisi revisi tahun 1990an dan setelahnya.
[9] dalam “Kata Pengantar” Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria, 2006-2007: Bunga Rampai Perdebatan, 2012, Yogyakarta: STPN Press bekerja sama dengan Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, hlm. vii.
[10] Lih. Notonegoro (1984, dalam Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara) dan Iman Soetiknja (1987, dalam Proses Terjadinya UUPA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
[11] Lih. Gunawan Wiradi, 2009, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. KPA, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan AKATIGA.
[12] Gunawan Wiradi (2009, dalam Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. KPA, Sajogyo Institute (SAINS) Bogor, dan AKATIGA) memaparkan permasalahan yang dihadapi adalah adanya dua agresi militer oleh Belanda, pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah, perjanjian-perjanjian diplomatis antara Indonesia dan Belanda yang berdampak di dalam negeri, berganti-gantinya bentuk pemerintahan dan bongkar pasang kabinet, bahkan konstitusi negara.
[13] Djarek (Djalannja Revolusi Kita), tanpa tahun, Departemen Penerangan RI.
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan