KETIKA BERBICARA arsitektur nusantara, sebagian orang akan menunjuk rumah adat. Sebagian besar orang akan dengan mudah menunjuk joglo, rumah gadang, mbaru niang atau gendang di Manggarai dan ratusan rumah adat pada masing-masing suku di Indonesia. Ada pula yang menyebutnya sebagai bentuk bangunan di wilayah Indonesia pada masa silam.
Namun apakah arsitektur nusantara masih bisa bertahan ditengah perkembangan arsitektur modern?. Tentu akan jadi diskusi yang menarik. “ Matinya Arsitektur Nusantara” jadi judul diskusi yang diselenggarakan dalam rangka Hari Arsitektur Indonesia (16/03/17) oleh Lesnika (Lembaga Studi Etnika) di Kampus UKDC Surabaya
Josephin S. Psi., MT, narasumber dalam diskusi ini mengatakan bahwa gaya arsitektur nusantara masih bisa dipertahankan dalam arsitektur modern. “Bisa jadi hanya tampilan luar dan stylenya saja yang diambil dari bangunan khas nusantara, namun fungsinya sudah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern” jelas Josephin.

Diskusi “ Matinya Arsitektur Nusantara” yang diselenggarakan oleh Lesnika (Lembaga Studi Etnika) di Kampus UKDC Surabaya dalam rangka Hari Arsitektur Indonesia (16/03/17). Foto : Andre Yuris
Dosen Fakultas Arsitektur Unika Darma Cendika Surabaya ini menjelaskan, bahwa saat ini masih banyak bangunan yang mau menampilkan gaya arsitektur nusantara. Walaupun tidak sepenuhnya sesuai dengan bentuk aslinya, paling tidak ada bagian-bagian tertentu yang ditonjolkan. Hal itu juga tampak pada pilihan material seperti bambu, kayu, rotan, ijuk dan bahan asli nusantara lainnya untuk ornamen luar maupun dalam ruangan.
Harus diakui bahwa perkembangan arsitektur nusantara tidak secepat arsitektur Eropa. Arsitektur Eropa yang fungsional dan efisien dengan cepat menyebar hampir keseluruh dunia. Gaya kubisme jadi seragam wajib apertemen, hotel dan pusat perbelanjaan di kota-kota besar Indonesia. Bangunan kotak kubus yang semula hanya ada di Eropa dan Amerika, dengan cepat mengisi lahan-lahan di kota bahkan sampai ke desa-desa.
Walaupun demikian, kehadiran arsitektur modern tidak semerta-merta menyebabkan arsitektur nusantara mati atau terhenti perkembanganya. Disaat orang Eropa tidak lagi bisa membangun tanpa paku, baut atau besi; masyarakat adat di Wae Rebo masih bisa membangun rumah adat yang kokoh dan tinggi tanpa paku.
Hal ini disampaikan oleh Anas Hidayat, seorang arsitek dan dosen Fakultas Arsitektur UKDC Surabaya. Lebih lanjut Anas menjelaskan bahwa pemunculan identitas nusantara pada rancangan modern tentu bukan persolan yang mudah. Terkadang gaya nusantara sama sekali tidak cocok dan tidak bisa lekatkan pada bangunan modern karena fungsi, nilai dan estetikanya berlawanan.
“Namun bukan berarti tidak bisa. Paling tidak ada usaha memunculkannya sedikit demi sedikit dalam fasad atau ornamen. Dan itu mungkin jadi satu dari banyak cara untuk menghidupi gaya arsitektur nusantara” kata Anas.
Menurut Anas, yang paradoks justru pendidikan arsitektur di Indonesia. Disatu sisi ingin melestarikan arsitektur nusantara, namun kurikulumnya didominasi mata kuliah tentang arsitektur Barat
“ Mata kuliah arsitektur nusantara paling pool (bah.Jawa: banyak), hanya dua SKS (Satuan Kredit Semester) dari ratusan SKS. Ya, gimana ga mati? Dan yang pasti matinya akan pelan-pelan“ imbuhnya.
Tinggalkan Balasan