Melihat Keragaman Gender Dalam Tradisi Lengger Lanang

251 0

Setiap hari orang meluruskan hati rambut, mengapa tidak hati? – Che Guevara

Banyak di antara masyarakat Indonesia hari ini beranggapan bahwa LGBT ((Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual)  bukan dari budaya Indonesia. Ini nyata dalam stigma negative hingga tindak kekerasan fisik maupun simbolik terhadap kawan-kawan LGBT.

 

Kekerasan dan stigma  yang  terus menerus reproduksi dan  mendapatkan legimitasi  politikus, aparatus negara, dan ormas-ormas bigot konservatif.

Seperti pernyataan dari ketua komisi VII DPR Sodik Muhajid sekaligus politikus Gerindra yang mengatakan bahwa LGBT datang dari budaya Asing. Tidak hanya itu atas nama purifikasi agama, beberapa media menulis berita yang menyudutkan kawan- kawan LGBT yang tengah berbahagia dengan dihapuskannya LGBT dari daftar penyakit mental  diagnosis and statistical manual of mental disorders  oleh World Health Organization (WHO). Hal disebut  beberapa kalangan sebagai konspirasi global untuk membahayakan keluarga di Indonesia.

Pernyataan Sodik Muhajid bisa dikatakan ahistoris. Ia sepertinya mengabaikan fakta bahwa LGBT sudah sejak lama ada dan keberadaannya diterima oleh masyarakat tradisional Indonesia. Sebelumnya saya  juga menemukan counter attack terhadap wacana ahistoris  diatas dari pernyataan beberapa akademisi  khsusnya dalam riset tentang masyarakat Bugis di Sulawesi yang lebih dahulu mengenal lebih dari dua jenis kelamin.  Tiap jenis kelamin memiliki perannya masing-masing didalam struktur masyarakat Bugis.

Saya menemukan hal baru yang membuat saya kaget.

“ Anjir aku kaget cuk, dunia memang luas yah, sangat luas. Tidak seperti pola pikir ormas reaksioner yang rajin berteriak kafir, PKI atheis, dan bantai syiah. Mentolo tak ajak diskusi kafir untuk pemula wong koyok ngunu” (Saya akan tega mengajak mereka diskusi kafir untuk pemula”. Red).

Apa hal baru itu ? Heem mau tau ? ya udah deh tak kasih tau.

Hal baru tersebut adalah keberagaman gender di masyarakat Jawa tepatnya dalam sejarah kesenian di Banyumas, Jawa Tengah. Kesenian itu adalah Lengger Lanang. Saya mendapatkan wacana keberagaman gender tersebut dari media Vice Indonesia.  Bisa cek di channel youtube Vice Indonesia dengan judul Lelaki Ayu Primadona Jawa : Lengger Lanang .

Salah satu penari lengger veteran  bernama Mbok Dariah. Mbok Dariah bercerita tentang tradisi lengger lanang  yang muncul dari mistisisme. Tarian ini dimainkan oleh laki-laki yang mengubah dirinya menjadi perempuan secara utuh dalam keseharian. Para penari ini berubah karena dirasuki oleh sesosok roh penari lengger . Kata lengger sendiri merupakan akronim dari leng dan ngger . Leng ( lubang/vagina/wanita ) dan ngger diambil dari jengger ( Ayam Jago ). Diperkirakan melalui catatan sejarah, tradisi  lenger lanang ini sejak abad 18.

Salah satu naskah sejarah yang mendukung kisah Lengger Lanang ini adalah Serat Chentini. Serat Centhini  dianggap sebagai karya terbesar dan terindah dalam kesusastraan Jawa, ditulis pada abad ke-19. Serat ini lahir dari rahim keraton Solo. Pangeran Adipati Anom, seorang putra Susuhunan Pakubuwana IV, menginginkan pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa dikumpulkan. Tiga pujangga keraton ditunjuk untuk membantunya.

Tiga sastrawan yang diperintahkan oleh Susuhunan Pakubuwana IV kemudian berkeliling Jawa. Mereka sampai juga di Banyumas, tempat tradisi Lengger Lanang itu tumbuh dan dihidupi masyarakat.  Pada era awal kolonial Belanda hingga masa awal-awal berdirinya Republik Indonesia, para Jengger Lanang mendapatkan tempat istimewa di masyarakat Banyumas. Mereka jadi primadona dan  dipuja-puja.

Semuanya berubah saat awal rezim Soeharto.  Bersamaan dengan pemberantasan ideologi komunisme dan peristiwa politik tahun 1965. Kejayaan Lengger Lanang pun hilang dari panggung rakyat, karena kala itu seni dan seniman tradisional dianggap dekat PKI (Partai Komunis Indonesia).  Seniman Lengger banyak yang ditangkap pemerintah orde baru. Hingga saat ini Lengger Lanang  masih sering dilarang untuk tampil dalam pentas rakyat. Mereka tergusur oleh nilai-nilai konservatif agama yang mulai bangkit dan menguat.

Walau sempat lama vakum, tradisi Lengger Lanang tengah dibangkitkan kembali oleh para penggiat seni tradisional. Perjuangan yang berat, melawan raksasa konservatisme agama dan globalisasi.  Namun diantara mereka ada yang sangat yang sangat bersemangat mengembalikan tradisi warisan leluhur ini.

Menjadi penari Lengger Lanang itu juga tidak mudah. Banyak ritual yang harus dijalani,  seperti tiap malam selasa kliwon dan jumat kliwon harus tidur di depan pintu, puasa mutih (tidak memakan apapun kecuali nasi putih, sekepal dalam sehari ) dan harus melakukan tirakat agar menjiwai peran dan bisa diterima khalayak atau penonton.

Disana saya melihat ternyata ada sejarah keberagaman gender di Jawa.  Selama ini saya mengira keberagaman gender hanya ada diluar Jawa saja. Namun tradisi tersebut tidak otomatis merubah padangan masyarakat Jawa tentang kanca wingking yang biasa disematkan kepada perempuan. Kanca “ yang berarti teman dan wingking “ berarti belakang. Ungkapan yang menggambarkan kehidupan perempuan Jawa yang tidak dipisahkan dari urusan “belakang”. Belakang itu berarti dapur, kasur dan sumur. Budaya patriarki ini masih dipertahankan hingga kini.

Namun bila melihat tradisi Lengger Lanang, lelaki Lengger mengakui dan meyakini bahwa dia adalah seorang kepala keluarga,  ia adalah seorang bapak dalam keluarga yang memegang peran utama menafkahi keluarganya. Disana juga bisa kita lihat bahwa gender dan orientasi seksual itu tak selamanya sama. Kenyataan ya, walau penari lengger lanang setiap harinya hidup mirip perempuan mereka tetap berkeluarga dan memiliki istri dan anak.

Apa yang saya tulis ini adalah realitas dan perlu jujur diakui itu ada dan hidup ditengah masyarakat Jawa.  Tulisan ini adalah upaya saya agar kita sadar bahwa LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual) memang memiliki tempat  dalam sejarah budaya Indonesia.  Bukan berasal dari budaya asing, seperti yang dituduhkan.  Dan walaupun kita tahu dalam beberapa masyarakat (adat),  gender  itu lebih variatif, namun  eksistensinya tidak serta-merta  menghapuskan struktur patriarki. Maka baiknya kita harus terus belajar dan tentunya berjuang untuk membangkitkan kesadaran bersama  agar bisa menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya dan melawan segala bentuk opresi yang menciptakan ketimpangan  dan ketidakadilan gender.

Oleh : Rezza Sadewo (email : rezzasadewo@gmail.com). Mahasiswa Arsitektur  ITATS (Institut Teknologi Adhi Thama) Surabaya. Peserta Sekolah Analisa Sosial (ANSOS) III 2018  yang diadakan oleh Nera Academia di Surabaya. Tulisan ini merupakan bagian dari proses Sekolah Ansos di mana tiap partisipan mengekspresikan keprihatinannya pada isu gender, pendidikan dan lingkungan.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
idenera

IDENERA, membuka kesempatan bagi siapapun menjadi kontributor. Tulisan dikirim ke : editor@idenera.com dan dapatkan 1 buku tiap bulannya bila terpilih oleh editor.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *