Suroboyo Bus Belum Ramah Disabilitas Netra

361 0
IDENERA – Di bawah langit yang mendung, Tutus Setiawan (42) berjalan menyusuri pedestrian Kaliasin, Surabaya. Ia meraba aspal jalan menggunakan tongkat tunanetra sepanjang 110-120 sentimeter. Raut wajahnya tampak serius menerka di mana ia bisa duduk.

Sampai di Halte Kaliasin, Tutus duduk termangu di kursi berkelir oranye sambil menunggu kedatangan Suroboyo Bus. “Selama berjalan di pedestrian, tidak ada ‘guiding block‘, sehingga bikin teman-teman disabilitas kesulitan menuju halte,” kata lelaki paruh baya itu, September 2022.

Tutus bersama 19 penyandang disabilitas dari Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) berinisiatif melakukan survei lapangan mengenai aksesibilitas transportasi publik, khususnya Suroboyo Bus. Mereka mengamati ketersediaan fasilitas publik yang ramah untuk penyandang disabilitas.

Tutus Setiawan (paling kanan) bersama aktivis Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) saat soft launching Radio Braille Surabaya. Foto : Idenera

Lelaki kelahiran 1980 itu lantas menceritakan ulang pengalamannya dan 18 penyandang disabilitas lainnya dalam survei yang dilakukan pada 30 September silam.

Selama menunggu bus, itu tidak menemukan lembar jadwal pemberhentian Suroboyo Bus dalam huruf-huruf braille. Jadwal yang ditempel di tembok halte rata tak bertekstur. Ia tak bisa membacanya. “Saya perlu tanya dulu ke orang lain agar tahu jam berapa bus datang di Kaliasin,” ujarnya.

Sepuluh menit berlalu, deru mesin bus terdengar di depan halte. Tutus segera berdiri. Ia memegang tongkat sambil mengayunkan ke depan, ke kiri, dan ke kanan, agar mengetahui letak pintu masuk bus.

Saat itu, tidak ada petugas bus yang membantu teman-teman disabilitas menemukan tempat duduk yang kosong. “Apalagi tempat duduk khusus disabilitas, sering dipakai oleh penumpang umum,” imbuh guru Sekolah Luar Biasa (SLB) di YPAB Jalan Gebang Putih No 5 Surabaya tersebut.

Selama menaiki bus, Tutus melewati 4-5 titik pemberhentian di Kota Surabaya. Mulai dari Halte Kaliasin, Halte Siola, Halte Tunjungan Plaza, Halte Darmo, dan Halte Bungurasih sebagai penutup survei. “Pemberhentian pertama kami di Halte Siola. Kami coba mencari bus lagi yang lewat di tempat tunggu itu,” katanya.

Survei aksesibilitas transportasi publik Suroboyo Bus oleh Lembaga Pemberdayaan Tuna Netra. Sumber : Youtube Radio Braille Surabaya

Setelah Suroboyo Bus lain berhenti di bahu Halte Siola, Tutus masih merasakan hal serupa. Aksesibilitas kendaraan berkelir merah itu belum mencukupi kebutuhan mobilitas penyandang tunanetra. Tidak ada pemberitahuan kedatangan bus, tidak ada petugas yang membantu mencari tempat duduk kosong, dan tidak ada suara rute-rute yang dilewati bis.

Dari temuan itu, Tutus berkata bahwa transportasi publik, khususnya Suroboyo Bus, perlu meningkatkan aksesibilitas untuk penyandang tunanetra. “Justru, kalau anggaran dipakai untuk itu, pemerintah bisa perkuat perekonomian di Surabaya,” ujarnya.

Seharusnya, ongkos mobilitas murah dapat dijangkau penyandang disabilitas, khususnya tunanetra, melalui pemakaian transportasi publik. Ia mengatakan bahwa ada perbedaan harga signifikan, antara memakai Suroboyo Bus dan ojek online.

“Kalau naik Suroboyo Bus bayar Rp 5 ribu bisa keliling selama 2 jam di kota. Tapi, kalau pakai ojek online sekitar Rp 30 ribu. Selisihnya lumayan banyak,” kata lelaki berkemeja batik itu.

Tutus menuturkan, ada potensi untuk mengurangi anggaran pemerintah dalam memberi bantuan uang kepada penyandang tunanetra. Yakni dengan mengupayakan penyandang disabilitas dapat melakukan perjalanan, mencari nafkah, dan menghidupi keluarga.

Ia menggambarkan, jika teman-teman disabilitas tidak bisa mobile dengan ongkos murah, mereka tidak dapat bekerja alias mencari nafkah. Ini akan menjadi beban pemerintah. “Sebenarnya dengan penganggaran yang tepat untuk aksesibilitas, dapat mengangkat ekonomi pemerintah,” ujarnya.

Liputan Radio Braille Surabaya tentang aksesibitas Suroboyo Bus. Sumber Youtube : Radio Braille Surabaya

Perhatian untuk menambah aksesibilitas transportasi, imbuh Tutus, tidak hanya diharapkan pada Bus Suroboyo. Masukan itu juga perlu diterapkan oleh penyedia transportasi bus lain yang berjubel di terminal berbagai daerah.

“Kami ngomong aksesibilitas memang tidak hanya untuk disabilitas. Tapi untuk semua orang yang mengalami hambatan seperti wanita hamil dan lansia, itu sangat berguna. Kita semua tidak tahu apa yang akan terjadi pada diri kita ke depannya, tapi yang jelas, kita semua pasti akan menjadi lansia (butuh aksesibilitas),” tuturnya.

Selain itu, Tutus juga menyoroti saat pemerintah membuat fasilitas publik, mulai dari perencanaan, perancangan, sampai implementasi. Ia menegaskan, semua itu perlu melibatkan penyandang disabilitas, termasuk dalam pengadaan transportasi publik seperti Suroboyo Bus.

“Kita tahu kebutuhan sendiri ketimbang orang lain, tapi masalahnya sampai saat ini belum ada pemahaman dari pemerintah untuk melibatkan penyandang disabilitas ketika bangun fasilitas publik yang ada di Kota Surabaya,” pungkasnya.

Sore itu, hujan deras mengguyur Surabaya. Bus yang ia tumpangi berhenti di Halte Bungurasih. Tutus turun dengan hati-hati dan perlahan, sembari mengayunkan tongkat tunanetra yang selalu ia pegang saat ke mana-mana.


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Rangga Prasetya Aji Widodo

Kontributor Idenera.com. Jurnalis lepas di Surabaya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *