Permasalahan lingkungan tidak bisa diatasi hanya memperbaiki hubungan antara manusia dan lingkungannya, tetapi juga dengan melakukan perbaikan-perbaikan nilai, norma, dan etika kehidupan.
Permasalahan lingkungan tidak bisa diatasi hanya memperbaiki hubungan antara manusia dan lingkungannya, tetapi juga dengan melakukan perbaikan-perbaikan nilai, norma, dan etika kehidupan. Perbaikan-perbaikan itu masuk dalam konsep eco-literacy, yaitu tentang kesadaran atas kelestarian lingkungan. Orang yang sudah ter-literasi ekologis adalah orang yang sangat peduli akan pentingnya menjaga lingkungan, merawat bumi, ekosistem dan alam sebagai tempat berkembangnya kehidupan.
Kita mencontoh Budi Pego yang melawan pertambangan emas di Tumpang Pitu Banyuwangi. Ia kemudian ditahan karena diduga memasang spanduk yang mirip simbol komunis. Memasang simbol yang dilarang, kira-kira begitu alasaan ia ditahan. Ada juga kejadian menarik tahun 2013 di Batu, Malang. H. Rudy, Ketua Forum Masyarakat Peduli Mata Air (FMPMA) digugat di Pengadilan Negeri (PN) Kota Malang karena ia dianggap melakukan perbuatan melawan hukum dengan mengirimkan surat bernada ancaman kebeberapa instansi dan kepada warga yang tidak berpartisipasi pada upaya perlindungan sumber air Gemulo di Batu, Malang.
Tentu tidak mudah menjadi sadar atau meliterasi masyarakat khususnya pada bidang ekologi karena akan berhadapan dengan hukum dan modal yang maha besar. Beberapa kasus menunjukan, aktivis ekologi dikriminalisasi dengan dengan dalil yang kadang jauh dari akal sehat apalagi rasa keadilan.
Belajar dari Kisah Rudi di Sumber Air Gemulo
Dua kisah di atas menunjukan bagaimana masyarakat memiliki kesadaran kelestarian lingkungan dengan mempertahankan sebuah sumber air agar tidak rusak oleh pembangunan yang serampangan. Alasannya meraka sederhana, air adalah sumber kehidupan dan tempat bergantungnya banyak aktivitas manusia. Keberadaan air menjadi urusan hidup dan mati. Tidak heran jika air diperebutkan oleh komunitas warga, pengusaha bahkan negara. Tingginya kebutuhan air ditambah regulasi yang tumpang tindih, birokrasi dan politisi korup membawa perebutan ini jadi konflik sosial yang berujung tindak kekerasan.
Kisah kelam di Sumber Gemulo, berawal ketika Hotel The Rayja dibangun pada lokasi yang berdekat dengan sumber air di Kota Batu. Warga sekitar menolak. Mereka merasa “Hutan Beton” ini akan berpotensi merusak sumber air yang hanya berjarak 160 meter dari lokasi pembangunan hotel. Cukup beralasan, karena saat pembangunan berjalan sumber air mulai keruh. Inilah yang jadi kegelisahan warga. Mereka pun bersepakat mempertahankan sumber air tetap alami. Mereka mengorganisir diri dalam Forum Masyarakat Peduli Sumber Mata Air (FMPMA) dan melakukan aksi-aksi penolakan bersama dengan LSM dan Akademisi.
Suara warga ternyata tidak sama dengan pemerintah. Pemerintah dari level Desa, Kecamatan dan Kemerintah Kota Batu satu suara. Pemerintah bersikeras agar pembangunan hotel tetap berjalan. Di sisi lain, investor dalam hal ini pihak hotel tidak bersedia mengikuti tuntutan masyarakat dengan dalih telah mengikuti prosedur yang disyaratkan pemerintah. Tambah menarik karena dalam situasi ini DPRD Kota Batu sebagai wakil rakyat tidak memberikan saluran yang semestinya agar tuntutan masyarakat bisa disampaikan pada pemerintah kota.
Terus menerus melakukan aksi penolakan jadi pilihan gerakan strategis warga. Warga tidak punya daya tawar dan kekuatan lain selain kegelisahan dan masa. Pemerintah dan parlemen tidak bisa diharapkan bila berhadapan dengan kekuatan investor. Pendampingan LSM dan Akademisi membawa warga pada pilihan gerakan strategis lainnya yaitu lobby.
Mereka melobby semua pihak yang berkepetingan, pemangku kebijakan serta jaringan organiasasi masyarakat yang memiliki keprihatinan yang sama. Upaya pengumpulan koin peduli penyelamatan sumber air, diskusi publik, pengumpulan tanda tangan, audiensi dengan wakil rakyat dan aksi masa ke DPRD maupun Pemerintah Kota Batu juga terus menerus dilakukan. Gerakan warga Sumber Gemulo akhirnya membuahkan hasil, Wali Kota Batu mencabut ijin pendirian hotel.
Teori Gerakan Sosial Baru
Teori gerakan sosial baru muncul sebagai kritik terhadap teori lama yang selalu ada dalam wacana ideologi kelas. Gerakan sosial baru adalah gerakan yang lebih berorientasi isu dan tidak tertarik pada gagasan revolusi. Dan tampilan gerakan sosial baru lebih plural karena didalamnya ada kesalingterkaitan isu dan berjejaringnya lintas sektor komunitas warga. Mereka saling berjejaring dengan gerakan anti fasisme, anti rasisme, feminisme, kebebasan sipil dan lain sebagainya.
Gerakan sosial baru beranggapan bahwa pada era kapitalisme mutakhir saat ini perlawanan timbul tidak hanya dari gerakan kaum buruh, melainkan dari mereka yang tidak terlibat secara langsung dalam sistem produksi seperti misalnya mahasiswa, kaum muda perkotaan, dan kelompok ekonomi menengah. Anggapannya adalah sistem kapitalisme juga merugikan masyarakat yang berada di luar sistem produksi.
Gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologis mereka pada ansumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh. Ruang sosialnya telah mengalami penciutan dan digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Dan secara radikal gerakan sosial baru mengubah paradigma marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas dan konflik kelas.
Gerakan sosial baru didefinisikan sebagai gerakan yang non kelas dan non materialistik. Gerakan sosial baru tidak ditentukan oleh latar belakang kelas, maka ada pengabaian pada organisasi buruh dan model politik kepartaian, tetapi lebih melibatkan politik akar rumput dan aksi-aksi warga pada akar rumput. Struktur gerakan sosial baru didefinisikan oleh prulalitas cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi heterogenitas basis sosial mereka. Gerakan sosial baru umumnya merespon isu-isu yang bersumber dari masyarakat sipil dan membidik domain sosial masyarakat sipil ketimbang perekonomian atau negara. Juga membangkitkan isu-isu kehidupan sehari-hari, memusatkan perhatian pada bentuk komunikasi dan identitas kolektif.
Jean Cohen (1985:669) menyatakan gerakan sosial baru membatasi diri dalam empat pengertian yaitu pertama: aktor-aktor gerakan sosial baru tidak berjuang demi kembalinya komunitas-komunitas utopia tak terjangkau dimasa lalu, kedua : aktornya berjuang untuk otonomi, prulalitas, ketiga : para aktornya melakukan upaya sadar untuk belajar dari pengalaman masa lalu, untuk merelatifkan nilai-nilai mereka melalui penalaran, dan keempat : para aktornya mempertimbangkan keadaan formal negara dan ekonomi pasar.
Dengan demikian tujuan dari gerakan sosial baru adalah untuk menata kembali relasi negara dan masyarakat; perekonomian dan an ruang publik yang di dalamnya terdapat wacana demokratisasi, otonomi dan kebebasan individu. Dan dalam isu ekologi, apa yang ditawarkan gerakan sosial baru mampu memberikan ruang strategis dan taktis yang mampu mendorong partisipasi warga dan organisasi masyrakat sipil dalam upaya mendorong perubahan kebijakan politik dan ekonomi yang merugikan masyarakat akar rumput.
Oleh : Miftahul Ulum (email : Miftahul390@gmail.com). Mahasiswa Universitas Surabaya-UBAYA. Aktifis FKNSDA (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam) Surabaya
Ikuti Idenera di Google News.
Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com
Tinggalkan Balasan