Demokrasi Digital, Dari Gen Z To Alpha

576 0
Demokrasi Digital

SEBAGIAN dari kita tentu bisa dengan mudah menjelaskan demokrasi. Kata “demokrasi” sudah ditanamkan sejak dini dalam pendidikan. Tak kurang dari SD hingga perguruan tinggi, “demokrasi” ada dalam satu bahkan lebih mata pelajaran dan mata kuliah.

 

Buku mata pelajaran IPS, PKN, dan Kewarganegaraan selalu menyebutkan demokrasi dan peristiwa yang mengikutinya. Bila demikian, rasa-rasanya dapat dipastikan orang Indonesia cukup mengerti tentang demokrasi.

Beberapa dari kita juga sering mengucapkan hal ini “Pemilihannya tidak demokratis!. PILKADA[1]-nya berlangsung demokratis”. Pernyataan tersebut kadang terlontar begitu saja saat kita melihat dan mengalami peristiwa dalam organisasi, komunitas dan masyarakat. Kita sangat mudah menilai, demokratis dan tidak demokratis. Hal ini menyiratkan pengetahuan, pemahaman dan cara pandang kita terhadap demokrasi.

Terlepas dari seberapa dalam pemahaman kita terhadap demokrasi, ia jadi tidak terpisahkan dari keseharian.  Pengertian dan imajinasi demokrasi-pun berkembang sejauh perjumpaan, pengalaman dan bahan bacaan. Saat ini, nyaris sebagian besar dari orang Indonesia mampu menjelaskan demokrasi menurut nalar masing-masing.

Membicarakan Demokrasi

Menilai demokratis dan tidak demokratis saat ini semudah menilai barang ori(ginal) atau palsu (kw),  asli atau bajakan dan sebagainya. Kemampuan kita menilai dan membicarakan demokrasi tidak bisa lepas dari pengajaran di sekolah dan kampus. Hal lain yang juga secara masif menyemai ide demokrasi adalah media massa. Demokrasi sudah jadi komoditas rating bagi televisi, koran dan media online. Terlepas apa setting berita, opini dan talkshow yang ditayangkan; paling tidak demokrasi jadi obyek berita yang tak pernah selesai diulas.

Dalam kurun waktu  1965-1998, diskusi tentang demokrasi terbatas pada pelajaran sekolah/kuliah dan wacana eksklusif para peneliti dan aktivis sosial politik.  Sejak bergulirnya reformasi tahun 2008 sampai sekarang, diskusi demokrasi tidak lagi tabu.  Tidak hanya itu, banyak organisasi rakyat me-label diri dengan “demokrasi” walau dalam praktiknya  mobokrasi dan oligarkis.

Perkembangan teknologi, khususnya internet dan smartphone membawa angin baru bagi diskusi demokrasi. Bila sebelumnya, televisi, koran, majalah dan radio mendominasi; saat ini media online dan media sosial (facebook, twitter, dll) mengambil alih peran itu. Alih peran dari media lama (konvensional) ke media online, tentu tidak pada kedalaman wacana namun pada kemasan dan sebaran pesan, wacana dan interaksi.

Media konvensional dan media online berbeda dalam kemasan pesan dan model  interaksi. Keduanya juga beda segmentasi generasi audiens/penggunanya. Pengguna media konvensional, didominasi Baby Boomer dan Gen X. Walaupun generasi sebelumnya  mampu beradaptasi dengan media online, namun pengguna terbesarnya adalah Gen-Z dan Alpha. Sebagai informasi, teori generasi membagi generasi dalam lima periode; 1. Baby Boomer ( lahir 1946-1964), 2. Gen- X (lahir 1965-1980), 3. Gen- Y (lahir 1981-1994), 4.Gen- Z ( lahir 1995-2010) dan 5. Gen-Alpha (lahir 2011-2025).[2]

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Pew Project For Excellence in Journalism tahun 2010, sebanyak 31% responden memilih membaca berita melalui surat kabar dan  41% membaca melalui media online. Generasi usia 18 – 29 tahun, sebanyak 65%  menyatakan sumber utama berita mereka adalah internet.[3]

Media massa, entah konvensional maupun online merupakan referensi pengetahuan dan informasi. Materi diskusi, wacana dan laku demokrasi-pun sangat berkaitan dengan referensi tersebut. Referensi itulah yang nantinya jadi inspirasi prilaku demokrasi. Maka, membicarakan wacana dan laku demokrasi orang muda,  sangat relevan bila disandingkan dengan media yang jadi referensi mereka yaitu media online dan media sosial.

Tipikal  Gen Z dan Alpha

Generasi Z disebut juga iGeneration,  Generasi Net, atau Generasi Internet;  lahir dari generasi X dan Generasi Y. Dari Generasi X atau Milenial lahir  anak-anak yang disebut sebagai Generasi Alpha (2011-2020). Penamaan ini dibuat berdasarkan alfabet Yunani, dan sesuai alfabet, Alpha dipilih karena generasi yang lahir sebelumnya telah menggunakan nama Generasi Z (1998-2010). Istilah ini dikampanyekan oleh peneliti sosial Mark Mcrindle.[4]

Kedua generasi ini memiliki tiga kesamaan, pertama : Fasih Teknologi, dengan gawai yang mereka miliki; mereka mampu  mengakses berbagai informasi secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya. Kedua: Aktif berjerjaringMereka intens berkomunikasi dan berinteraksi dan berjejaring di facebook, twitter, atau  whatsapp, blackberry messenger (BBM), telegram dll. Dalam ruang-ruang chat tersebut merka aktif berdiskusi  dan spontan berekspresi.  Ketiga : Multitasking. Terbiasa dengan berbagai aktivitas  dalam satu waktu secara bersamaan. Mereka ingin segala sesuatu serba cepat dan tidak menyukai pembicaraan yang berbelit-belit.

Salah satu yang membedakan generasi Z dan Alpha menurut Dan Schawbel adalah generasi Alpha cenderung jarang berinteraksi langsung dengan orang lain karena sibuk dengan gadget-nya.[5] Dialog, diskusi, pertemuan tatap muka  cenderung mereka hindari. Generasi ini bersikap individualis. Mereka menginginkan hal-hal yang instan dan kurang menghargai proses. Keasikan mereka dengan gadget membuat mereka teralienasi secara sosial. [6] Disatu sisi, Gen-Z dirasa lebih adapatif dan peka terhadap lingkungan karena masih berada dalam zona transisi dari Gen-Y.

Berbicara demokrasi kepada Gen Z dan Alpha tentu berbeda dibandingkan dengan generasi –generasi sebelumnya. Generasi  sebelumnya (X dan Y) dianggap lebih fasih berargumen, berdebat  dan melibatkan diri dalam formalitas dan prosedural demokrasi. Mereka cenderung adaptif dengan model perjumpaan, tatap muka, dan birokrasi yang  rumit (yang jadi ciri umum tata pemerintahan dan sistem politik demokratis). Sebaliknya, Gen Z dan Alpha kurang menyukai diskusi dan birokrasi.

Ide Demokrasi Digital

Demokrasi tidak hanya berkaitan tata pemerintahan (birokrasi) dan sistem politik. Demokrasi juga  dimaknai sebagai sikap hidup (ada juga yang menyebutnya sebagai habitus) dan tata nilai. John Dewey,  berpendapat bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang tercermin melalui partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilai-nilai yang mengatur tata kehidupan.[7] Nilai-nilai itu oleh para penganut  kontak sosial ideal  disebut sebagai keadaan-keadaan ideal. Keadaan ideal mensyaratkan warga berada dalam daulat setara, tidak berada dibawah tekanan atau paksaan dan dilengkapi informasi yang relevan.[8]

Demokrasi digital adalah jalan tengah yang dapat menautkan demokrasi formal-prosedural dengan demokrasi sebagai nilai dan habitus yang ditawarkan kepada generasi Z dan Alpha. Ide dasar demokrasi digital yaitu demokrasi yang tidak terbatas ruang, waktu ataupun batasan formal seperti partai politik. Demokrasi digital mengajukan ide kolaborasi demokrasi perwakilan dengan demokrasi partisipatif. Tujuannya adalah agar demokrasi lebih cepat mengeksplorasi interaksi dunia maya (online) dan dunia nyata (offline) menjadi  esensi kehidupan masyarakat.[9]

Demokrasi dengan sentuhan digital,  diharapkan jadi lebih responsif dan terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru. Jejaring digital menghasilkan konektifitas ide, gagasan dan gerakan. Bila sebelumnya harus melalui perwakilan,  jejaring media sosial dan media online membuatnya lebih singkat. Contohnya, penggalangan petisi melalui  www.change.org dan aplikasi Clue membuat keluhan warga lebih cepat ditindaklanjuti. Melalui media sosial, rakyat secara kolektif bekerja untuk isu tertentu tanpa harus  berjumpa secara fisik atau saling mengenal.

Wasisto Raharjo Jati, Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2p), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan tiga prinsip demokrasi digital : pertama,  Relasi dunia maya (online) dan dunia  nyata (offline) berperan penting dalam konstruksi nalar politik kritis serta membentuk jejaring isu dan kepentingan yang melahirkan gerakan sosial. Kedua : Representasi dan partisipasi adalah prinsip demokrasi digital yang pada intinya menuntut keterbukaan dan akses publik terhadap kerja pemerintah. Ketiga : Publik atau netizen adalah komunikator sekaligus komunikan atas informasi di media sosialnya masing-masing.  Media sosial dikreasikan jadi ruang publik baru, dimana ide dan gagasan bercampur baur, beririsan dan membetuk jejaring gerakannya sendiri. [10]

Kritik terhadap Demokrasi Digital

Akselerasi dan konektifitas jadi salah satu daya tarik sekaligus kelemahan demokrasi digital. Suatu isu bisa dengan cepat viral atau jadi perhatian publik,  namun juga cepat dilupakan dan tidak dibahas mendalam karena ada isu baru yang lebih seksi. Akibatnya banyak isu dan gerakan jadi prematur dan mati muda. Isu yang dibahas bersifat temporatif dan hanya ramai di permukaan. Hal ini karena sebagian besar netizen berciri sockpupet, anonim dan cenderung hit and run. Jadi tidak mengherankan apabila  demokrasi digital  lekat dengan cyber bullying, trolling dan cyber crime.

Euforia demokrasi digital dalam merayakan kebebasan berekspresi juga tidak dibarengi dengan kemampuan memilah informasi (media literacy). Maraknya penyebaran hoax atau berita dan informasi bohong jadi salah satu akibatnya.   Negara sebagai regulator dan netizen  Indonesia belum sampai pada kesadaran bersama bahwa  internet adalah  instrumen aspirasi, artikulasi kepentingan, dan advokasi. Rasanya penting bagi netizen dan pemerintah untuk membuat regulasi afirmatif yang didiskusikan bersama agar demokrasi dan ruang publik digital  memberikan kontribusi positif bagi kebaikan bersama.

Referensi :

[1] PILKADA: Pemilihan Kepala Daerah, merupakan wujud demokrasi di Indonesia.

[2] http://www.tandapagar.com/12168-2/

[3] http://dsi.unissula.ac.id/artikel/konvergensi-media-dan-masa-depan-media-cetak/

[4] http://jambi.tribunnews.com/2017/01/08/mama-harus-tahu-tentang-generasi-alpha-1

[5] “ Kami meyakini bahwa adopsi mereka terhadap teknologi, dan kemajuan teknologi akan membuat mereka kesepian, terpisah, dan jarang melakukan kontak langsung dengan orang lain,” Dan Schawbel, Direktur Riset Future Workplace dan penulis buku Promote Yourself.

[6] Bdk. http://www.tandapagar.com/12168-2/

[7] http://www.edukasippkn.com/2016/05/3-makna-demokrasi-demokrasi-sebagai.html

[8] Richer, Nicholas (1995), Pluralism: Against the Demand for Consensus, dalam Budiarto Danujaya (2012), Demokrasi Disensus : Politik dalam Paradoks, Gramedia, hal.xv.

[9] http://bit.ly/gadgets_cheaphttps://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170311/282080571637075

[10] Bdk. https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170311/282080571637075


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Andre Yuris

Jurnalis Idenera.com, Photojournalist, dan Fact Checker

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *