Histeria dan Neurosis Obsesional Dalam Diskursus Politik Kontemporer Indonesia

261 0

Pilpres2019 usai sudah, menyisakan berbagai karnaval matinya akal sehat (irasionalitas) atau apa yang kami sebut sebagai neurosisisme yang kental mewarnai diskursus politik kontemporer Indonesia.

Hal ini tampak pekat melekat pada kubu 02 (Prabowo-Sandi) yang sejak awal—bahkan jauh sebelum mereka ditetapkan sebagai capres-cawapres resmi—mendapat dukungan dari kalangan yang kerap mengatasnamakan kalangan “Islam.” Gerakan politik keagamaan mereka, tak terpungkiri lagi, telah distrukturisasi oleh histeria dan neurosis obsesional.

“Islam” dalam langgam politik kubu Prabowo-Sandi bukanlah Islam sebagai the way of life, tapi sejenis “Islam” di mana pada tataran diskursus kerap dikemas sedemikian rupa demi meraih agenda yang jauh lebih besar (Islam politik). Menjelang perhelatan pilkada Jakarta pada 2017 lalu, secara diskursif gerakan-gerakan ini sebenarnya sudah terbentuk dan terarah alurnya. Pesta-pesta demokrasi semacam pilkada ataupun pilpres semata momentum untuk mengekspresikan aspirasi mereka secara ekstrim.

Banyak kita saksikan di dunia maya berbagai tokoh yang secara terang-terangan mendukung pasangan Prabowo-Sandi berucap dan bersikap yang sampai melewati batas kewarasan, menciderai akal sehat, di mana logika dan kesadaran yang selama ini mampu memilah mana yang benar dan salah (hukum positif), mana yang baik dan buruk (etiket), tak lagi diindahkan. Narasi yang selalu dibangun adalah bahwa mendukung pasangan Prabowo-Sandi kongruen dengan mendukung (aspirasi) “Islam.”

Patut diseksamai bahwa pada tataran diskursus istilah “Islam” selalu merujuk ke satu figur kunci: Rizieq Shihab. Nama lelaki yang berstatus buron ini selalu mencuat ketika diskursus “Islam” politik marak menyesaki ruang publik. Secara simbolik, ia merupakan figur kunci dalam keberlangsungan narası “Islam” politik kontemporer di Indonesia. Pada tahun 2017 lalu, imam besar Front Pembela Islam (FPI) ini ditahbiskan oleh para pendukung “Islam” politik sebagai imam besar umat Islam. Pada momen pilkada Jakarta lalu dan pilpres hari ini perannya sedemikianlah istimewa. Ia seperti “orang suci” di mana setiap kandidat pemimpin negeri ini perlu beroleh restu darinya. Maka dapat dikatakan, pada aras diskursif, istilah “Islam” yang selama ini kerap mencuat dalam diskursus politik kontemporer Indonesia adalah sejenis “Islam” yang sebangun dan seturut dengan kemauan Rizieq Shihab (Heru Harjo Hutomo, https://geotimes.co.id/kolom/politik/neo-khawarij-habib-rizieq-dan-masyarakat-sipil/). Dengan kata lain, secara diskursif, gerakan politik-keagamaan para pendukung pasangan Prabowo-Sandi pun mengerucut pada satu figur kunci: Rizieq Shihab.

Dalam mengusung diskursus “Islam” politik tersebut, Rizieq tak sendirian. Ia di dukung pula oleh beberapa intelektual “Islam” ataupun yang mendadak “Islam” yang masih meyakini ilusi bahwa politik sektarian merupakan sebuah keniscayaan untuk meraih kemenangan. Untuk menyebut beberapa nama di antaranya, baik yang sudah diproses secara hukum maupun yang tengah ramai dipergunjingkan netizen, Bahar bin Smith, Sugik Nur Hardja, Egi Sudjana, Bachtiar Nasir, Ratna Sarumpaet, Amin Rais, Neno Warisman, Emha Ainun Nadjib, dst. Secara politik, baik eksplisit maupun implisit, mereka adalah para pendukung Prabowo-Sandi. Adapun pada tataran diskursus ke-“Islam”-an—seperti lelaron yang rindu terangnya cahaya—mereka cenderung merayap dan berkitar di seputar figur Rizieq Shihab.

Berbagai narasi perendahan, cacian, ujaran kebencian, bullying, dan fitnah pada pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien yang mereka pertontonkan di ruang publik cukup mudah dijumpai di dunia maya. Narasi tersebut terekam dan tersebar melalui berbagai media sosial: Youtube, Facebook, dan Twitter. Di samping itu, narasi yang sarat kebencian dan perendahan itu juga tersebar melalui lontaran-lontaran verbal di dunia nyata (Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/hikayat-kebohongan.html). Entah sadar atau tidak, narasi perendahan yang dibangun oleh para tokoh pendukung Prabowo-Sandi yang terekam di ruang publik ditirukan pula oleh para simpatisannya di dunia nyata, dianggap selaiknya “titah” atau kata-kata “suci” yang mengandung kebenaran dan ditunggu-tunggu kehadirannya untuk kemudian diviralkan di dunia nyata melalui lontaran-lontaran verbal.

Taruhlah Bahar Bin Smith dan Sugik Nur Hardja yang namanya mendadak tenar  karena keberaniannya dalam menghina rezim Jokowi dan GP Anshor sekaligus NU yang saat ini sudah di proses secara hukum. Di ruang publik, mereka dengan mudahnya mengobral ucapan-ucapan yang berkonsekuensi hukum. Seperti tanpa beban, atas nama “Islam” mereka seolah mampu berucap dan bersikap anything goes. Mereka seakan berbicara di depan gelimpangan mayat yang sudah tak lagi berfungsi mata, kuping, nalar, dan hatinya. Celakanya, di tingkat akar rumput, narasi-narasi yang sarat kebencian dan perendahan itu pun kemudian ditiru, dihidupi, dan dijadikan kebiasaan untuk berinteraksi.  Pertanyaannya, kenapa selalu saja Jokowi dan Nahdlatul Ulama yang menjadi objek kebencian dan perendahan mereka? Untuk kasus Nahdliyin, pertarungan antara lingkaran Rizieq Shihab dan NU (Gus Dur)  tampaknya sudah berlangsung sedemikian lama. Bahkan dalam salah satu video yang mudah dijumpai di dunia maya, Rizieq Shihab pernah menantang Gus Dur untuk bersumpah dan siapa yang terbukti bersalah akan mati dalam kehinaan.

Terlepas dari hal itu, adalah komitmen NU dan Jokowi terhadap empati pilar kebangsaan yang rupanya menjadi objek kebencian mereka. Siapa pun tahu rekam jejak kalangan “Islam” yang secara simbolik dan diskursif (lebih daripada ideologis) sebarisan dengan Rizieq Shihab: “Penerapan syariah Islam secara kaffah atau menyeluruh, di bawah naungan Khilafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad” (www.cnnindonesia.com 18/08/2017). Dan NU be serta jajaran Jokowi secara konsisten berada di garda terdepan untuk melawan itu semua demi tegak dan lestarinya empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Pembubaran HTI pada 2017 adalah bukti nyata komitmen kebangsaan NU pada tingkat kultural dan jajaran Jokowi pada tingkat struktural.  


Sebagaimana yang sudah kami singgung di atas, gerakan-gerakan politik keagamaan sejatinya sudah sekian lama bernafas di Indonesia, habitatnya sudah terbentuk, dan mereka mencari momentum yang tepat untuk secara vulgar menyuarakan aspirasinya. Pada tahun 2017, momentum itu adalah pilkada Jakarta, dan pada tahun 2019, adalah pilpres. Maka dapat dikatakan bahwa pilkada Jakarta 2017 merupakan batu loncatan untuk merengkuh teba sekaligus efek yang jauh lebih luas: nasional.

Jauh sebelum perhelatan pilpres mereka sudah terang-terangan membuat gerakan yang secara konstitusional patut dipertanyakan: gerakan #2019GantiPresiden. Gerakan yang sempat mendapatkan sambutan dari generasi milenial ini diinisiasi oleh seorang politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, yang konon bertujuan untuk memberikan pendidikan politik pada masyarakat. Padahal siapa pun tahu bahwa gerakan itu adalah salah satu gerakan politik yang bertujuan untuk mendelegitimasi pemerintahan Jokowi-JK yang secara konsisten menjaga empat pilar kebangsaan. Jadi, pada dasarnya perhelatan pilpres 2019 adalah momentum untuk mengobarkan agenda yang jauh lebih besar daripada sekedar ajang pemilihan presiden. Hal ini dapat kita saksikan bagaimana narasi yang mereka bangun selalu menyudutkan Jokowi dan para pendukungnya secara tak proporsional, lebih pada argumen-argumen ad hominem. Kiprah, kinerja dan karya bukanlah standar penilaian utama atas diri seseorang dalam alur berpikir mereka. Melainkan pribadi, yang layak dikuliti, dikurangi dan ditambahi. Proses penilaian ad hominem semacam ini merupakan salah satu karakteristik dari fenomena budaya populisme kanan. Output dari fenomena budaya ini adalah terbiasakannya sikap untuk mudah merendahkan, mencaci, merundung dan memfitnah.

Kubu Jokowi sejak awal sudah dianggap dan berupaya distigmatisasi sebagai kubu rendahan dan hina yang tak sesuai dengan standar politik ke-“Islam”-an yang selama ini mereka usung. Kubu petahana selalu saja dikambinghitamkan atas terjadinya segala macam kebobrokan. Padahal, fakta berbicara sebaliknya. Apapun yang mereka tuduhkan pada kubu Jokowi-Ma’ruf Amien senyatanya berbalik pada kubu mereka sendiri. Dengan kata lain, pada kasus ini, sebenarnya tak ada yang dipermalukan kecuali diri mereka sendiri. Klejingan atau malu adalah konsekuensi logis-psikologis yang akan dituai ketika mengikuti alur retoris-logis kubu Prabowo-Sandi.

Terdapat banyak bukti yang beredar di dunia maya terkait hal ini, sémisal ketika mereka mencoba menyerang sisi keislaman pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien. Ternyata fakta berbicara sebaliknya. Tak usah kami suguhkan kembali parodi ataupun lelucon seputar keislaman Prabowo-Sandi dan para pendukungnya, banyak dari kita yang sudah tahu. Yang terakhir, dari dunia maya, adalah tersibaknya fakta seorang politisi sekaligus anggota senior BPN yang kerap menampang dengan simbol-simbol keislaman yang tebal yang ternyata adalah seorang Katholik. Fakta ini menunjukkan bahwa, sekali lagi, “Islam” yang hadir dalam diskursus politik kontemporer Indonesia bukanlah Islam sebagai the way of life, persis peristiwa pengeboman dan pemberondongan jamaah sholat Jum’at di sebuah masjid sufi di Mesir yang diawali oleh pekik takbir (Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/kearifan-yang-hilang.html).

Terjebak dalam fantasi, dalam waham, adalah fenomena psikologis khas Prabowo-Sandi dan para pendukungnya.  Belantara diskursus telah melumatkan mereka ke dalam fantasi yang tak berujung, hingga lupa diri dan menampik kenyataan. Sebagaimana sang imam besar umat Islam, mereka pun tersuapi serpihan-serpihan nubuwwah, sebagai makhluk-makhluk luhur, suci dan terpilih, di mana Tuhan—seperti yang sering Amin Rais deraskan—akan senantiasa membela dengan berbagai azab dan laknat kepada musuh-musuhnya.

Kewenangan KPU tak lagi mereka gubris, segala tata perundangan tak lagi mereka indahkan, demi waham kebesaran dan kemenangan diri. Para pendukung Prabowo-Sandi berucap dan berperilaku selayaknya para sufi dadakan yang telah beroleh penyingkapan (kasyaf) bahwa mereka pasti menang, kalau pun kalah adalah tersebab kecurangan. Dan seperti halnya para wali yang konon dapat mengubah takdir (khariq al-‘adah), mereka ingin mengobarkan people power pada 22 Mei 2019 di saat rekapitulasi KPU resmi berakhir—yang bagi sementara pendukungnya dimaknai sebagai sebentuk aksi jihad. Dari berbagai fakta tersebut kita pun dapat berkesimpulan bahwa histeria dan neurosis obsesional telah menstrukturisasi gerakan politik-keagamaan Prabowo-Sandi dan para pengikutnya.

Histeria dan Neurosis Obsesional

Neurosis atau juga disebut psikoneurosis merupakan istilah dalam bidang psikologi yang mengacu pada gangguan kejiwaan. Secara umum, ketidakseimbangan mental ini sering disebut sebagai gejala stress. Kelainan ini dapat dilihat dari berbagai gejala, seperti keadaan cemas yang kronis, gangguan-gangguan pada indera dan motorik, hambatan emosi, kurang perhatian terhadap lingkungan, dan kurang memiliki energi fisik, dst. (Drs. Kuntjojo Mpd., 2009, Psikologi Abnormal, Makalah dari Program Studi Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara PGRI Kediri, hlm.,16.) Sedangkan histeria merupakan bagian dari gejala gangguan ini.

Dalam terminologi Sigmund Freud, histeria adalah kondisi manusia yang pernah memiliki pengalaman traumatis di mana kemudian direpresi ke alam bawah sadar. Tapi represi itu tak selamanya berhasil, sebab suatu ketika pengalaman-pengalaman itu muncul dalam berbagai macam bentuk. Munculnya berbagai pengalaman itu menimbulkan rasa cemas yang berlebihan dalam diri si penderita. Mereka mengalami keadaan emosional yang ekstrim.

Keadaan tersebut memengaruhi fungsi psikis, sensoris, motoris, dan saraf-saraf hingga alat pencernaan. Histeria sendiri dibagi menjadi dua macam. Pertama adalah histeria minor atau reaksi konvensi. Histeria jenis ini lebih cenderung menampakkan faktor psikis yang berpengaruh pada kondisi somamotorik: lumpuh, kejang-kejang, mati rasa, buta atau pun tuli. Kedua adalah histeria mayor atau reaksi disosiasi. Histeria pada kategori ini terjadi jika munculnya kecemasan yang dialami oleh si penderita muncul kembali. Hal ini menyebabkan terpisahnya beberapa fungsi kepribadian antara satu dengan lainnya. Pemisahan fungsi ini pada akhirnya menghadirkan otonomi kepribadian. Kondisi demikian muncul dalam berbagai gejala: amnesia (hilang ingatan), somnabulisme (nglindur dan tidur berjalan), fugue (kelainan identitas), dan kepribadian ganda.

Seandainya diteliti lebih lanjut, gerakan politik-keagamaan kubu Prabowo-Sandi bersendikan kalangan yang notabene “radikal.” Gerakan tersebut nyata distrukturisasi oleh histeria dan neurosis obsesional yang jamak kita saksikan pada perilaku para pendukungnya. Dalam struktur itu, para pendukung Prabowo-Sandi mengalami berbagai tekanan yang menyebabkan perilaku mereka tak lagi normal atau bertentangan dengan akal sehat. Di berbagai media sosial kecenderungan histeria tersebut ditunjukkan melalui munculnya aksi laskar emak-emak dan anak-anak muda, baik lelaki maupun perempuan, yang berperilaku ekstrim. Komposisi emak-emak dan anak-anak muda ini sangat dominan dalam gerakan politik-keagamaan Prabowo-Sandi. Mereka telah terjebak dalam diskursus atau telah menjadi subjek bahasa dari sebuah agenda politik-keagamaan tertentu.

Berbagai ekspresi politik-keagamaan yang ekstrim muncul dalam bentuk video yang bernuansa mengancam, baik secara verbal maupun simbolik-visual. Fenomena-fenomena ini bukanlah isapan jempol belaka, tapi secara faktawi mereka ada dan telah diproses pula secara hukum. Mereka terjebak dalam fantasi yang dianyam dan dinarasikan oleh kalangan yang memiliki agenda politik-keagamaan tertentu melalui berbagai macam cara. Salah satunya, yang paling mudah kita akses, adalah pengajian-pengajian di media Youtube. Berbagai pengajian ini identik dengan tokoh-tokoh yang secara ideologis-politis mendukung Prabowo-Sandi, dan secara diskusif-keagamaan señafas dengan paham sang imam besar umat islam: Rizieq Shihab. Dalam berbagai video pengajian di ruang publik tersebut kita banyak disuguhi bermacam perilaku yang sudah memiliki konsekuensi hukum: ujaran kebencian, perundungan, fitnah, cacian ataupun perendahan-perendahan terhadap kalangan yang tak sejalan dengan mereka.

Selain banyak ucapan dan perilaku yang sudah berkonsekuensi hukum, kubu Prabowo-Sandi menyebarkan pula karnaval tentang matinya akal sehat atau menunjukkan gelagat histeria dan neurosis obsesional. Tentu kita masih ingat Neno Warisman yang secara percaya diri pernah bermunajat dan menghadirkan imaji perang Badar untuk kepentingan politik praktis. Narasi yang mereka coba bangun adalah bahwa mendukung dan membela Prabowo-Sandi sama dengan membela “Islam,” dan berseberangan dengan mereka adalah kafir. Jika melongok visualisasi gestur tubuh dari Neno Warisman sendiri yang kaku dalam mengerakkan tubuh menandakan adanya histeria minor yang memengaruhi psikomotorik sosialnya.

Tak berselang waktu lama kita kembali disuguhi berbagai video dari para pendukung Prabowo-Sandi yang melihat bahwa kepemimpinan pemerintahan terkini tak baik. Taruhlah video tiga perempuan yang berkampanye bahwa andaikata Jokowi menang “Azan tidak akan ada lagi” (www.news.okezone.com 25/02/2019). Tak cukup berhenti di situ, kondisi histeria terus berlanjut semakin parah pasca pilpres. Taruhlah video emak-emak yang berteriak-teriak tentang kecurangan dalam proses rekapitulasi suara yang dilakukan oleh  KPU. Aksi histeris mereka seolah-olah mengindikasikan bahwa lembaga tersebut curang sehingga hanya Allah-lah yang mampu menyelamatkan. Kondisi tersebut juga terjadi pada para pendukung Prabowo-Sandi yang lain. Mereka menggunakan diskursus ke-“Islam”-an sebagai ekspresi ketaksepakatan pada tata aturan yang berlaku. Istilah beserta simbol-simbol keagamaan dipakai untuk mendefinisikan lawan politik ataupun hal-hal yang mereka pandang sebagai batu sandungan. Selain KPU, batu sandungan itu adalah berbagai lembaga survey yang telah mengumumkan hasil quick count di mana kandidat yang mereka usung ternyata kalah suara dengan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien. 

Sisi histeria para pendukung Prabowo-Sandi tampak pula dari terpecahnya (split) kepribadian mereka dari dunia nyata. Kita bisa tengok kasus video ancaman pemengalan kepala presiden yang dilakukan oleh Hermawan Susanto (HS), seorang muda berusia 25 tahun. Ia kehilangan kontrol atas apa yang ia ucapkan dan perbuat dan ia juga lupa terhadap identitasnya. Dengan kata lain, ia telah terjebak pada sebuah waham di mana apa yang ia ucapkan dan perbuat berkonsekuensi hukum. Kasus serupa juga terjadi pada seorang guru honorer sekolah dasar dari Jember yang menghina dan mengancam mati Jokowi.

Histeria dan neurosis obsesional tersebut muncul dikarenakan adannya kastrasi hasrat dari fantasi yang dihidupi oleh para pedukung Prabowo-Sandi. Mereka terjebak pada fantasi bahwa kepemimpinan Prabowo-Sandi seturut dengan keinginan mereka atau sesuai dengan  standar politik-keagamaan mereka. Kedua orang tersebut dinilai dapat mewujudkan agenda politik-keagamaan mereka meskipun tak pernah jelas alternatif yang mereka tawarkan kecuali “Islam” versi Rizieq Shihab. Atau dengan kata lain, politik-keagamaan mereka berbeda dengan, misalnya, visi dan misi NU yang sangat terang membela empati pilar kebangsaan.

Kastrasi yang dialamikubu pedukung Prabowo-Sandi mengambarkan kondisi subjek yang gagal meraih hasratnya pada sesuatu (lack of being). Hasrat tentang dunia ideal yang mengendap dalam fantasi mereka adalah bahwa apabila Prabowo-Sandi terpilih, maka dengan sendirinya agenda besar mereka terwujud.: “Penerapan syariah Islam secara kaffah atau menyeluruh, di bawah naungan Khilafah Islamiyyah menurut Manhaj Nubuwah, melalui pelaksanaan dakwah penegakan hisbah dan pengamalan jihad.” Akan terapi hal tersebut tak semudah membalikkan telapak tangan. Ternyata, mayoritas masyarakat Indonesia lebih memilih  pasangan Jokowi-Ma’ruf Amien.

Gerakan politik-keagamaan Prabowo-Sandi sejak awal distrukturisasi oleh histeria dan neurosis obsesional. Kedua hal ini mengemuka karena mereka terjangkiti waham kebesaran yang memandang dirinya sendiri lebih luhur dan suci daripada lawan politiknya. Waham itulah yang menyebabkan irasionalitas pada gerakan politik-keagamaan mereka. Histeria dan neurosis obsesional yang kental menstrukturisasi gerakan politik-keagamaan kubu Prabowo-Sandi cukup berbahaya bagi perjalanan bangsa Indonesia ke depan.  Andaikata diterjemahkan dalam praktik, politik-keagamaan yang bersendikan waham dan berstrukturkan histeria dan neurosis obsesional dapat menjelma menjadi gerakan fasisme yang berpotensi menciderai demokrasi dan mengoyak kebhinekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian, apabila mereka masih ingin hidup di Indonesia, maka mereka harus mampu berdamai dengan realitas, untuk—sekali lagi—terkastrasi.

Oleh : Heru Harjo Hutomo/ penulis, peneliti, dan perupa, dan Silvia Ajeng Dewanthi/ peneliti sosial dan sejarah)


Ikuti Idenera di  Google News: Google will europäische Nachrichtenplattform starten - und ... Google News.


Terimakasih telah mengunjungi IDENERA.com. Dukung kami dengan subscribe Youtube: @idenera, X :@idenera, IG: @idenera_com


 

Please share,
Heru Hutomo

Penulis, peneliti lepas, mengembangkan cross-cultural journalism, menggambar dan bermusik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *